Search
Close this search box.

[CERPEN] Perempuan Senja dan Laut

Oleh: Diva*

[dropcap] P [/dropcap]erempuan beraroma senja dan laut. Perempuan dengan rambut terurai panjang diterpa angin laut. Bibir merah merekah selalu tersenyum sendu. Mata sayu memandang begitu jauh. Tubuh langsing berkulit halus berbalutkan gaun pantai berwarna merah, semerah semburat matahari senja.

Dia selalu datang saat senja tiba. Terkadang dia berdiri bersandar di pagar dermaga, memandang laut biru. Terkadang pula dia duduk di tepi dermaga menanti hingga matahari benar terbenam. Hingga bintang mulai bermunculan dan angin terlalu dingin untuk tubuhnya yang ringkih. Lalu barulah dia beranjak pergi, entah kemana. Untuk muncul kembali keesokan harinya.

“Apakah kau menanti seseorang?” Pernah aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Aku menanti ombak kembali padaku.” Jawabnya waktu itu.

“Bagaimana mungkin kau menanti ombak? Bukankah ada ombak di hadapanmu?” tanyaku bingung. Laut tengah menunjukkan kemegahannya senja itu. Ombak menggelepar ganas menghantam papan dermaga. Angin menderu kencang, membuat rambut panjang perempuan itu menari bagaikan lidah api. Petir menggelegar nun jauh di tengah laut. Begitu banyak ombak menghempas pantai. Ombak mana yang dia cari?

“Bukan ombak ini yang kunanti. Aku menanti ombak yang kehilangan pantainya.” Dan dia pun duduk di tepian dermaga itu. Tak gentar pada laut liar yang mengamuk hanya beberapa meter di bawahnya. Terkadang ada ombak menjilat nakal kaki mungilnya yang terjuntai di tepi dermaga. Hujan deras basahi tubuhnya. Dia tak peduli. Dia tetap menunggu.

Di dermaga itu dia selalu menunggu.

Melihatnya di atas dermaga adalah pertanda senja telah tiba. Tak ada yang tahu sejak kapan dia menunggu di dermaga. Dia selalu ada di sana. Mentari senja membalut tubuhnya dengan cahaya jingga. Sementara laut tinggalkan jejak garam pada kulitnya. Hingga aroma senja dan laut lekat di tubuhnya.

Dia nyaris tidak pernah berbincang. Hanya datang dan kemudian menunggu di dermaga. Terkadang dia hanya diam hingga waktunya pulang nanti. Terkadang pula ada nyanyian sendu mengalun dari bibirnya. Bercerita tentang sepi dan cinta. Mungkin itu lagu untuk ombaknya yang tak kunjung datang.

“Seperti apakah ombak yang kehilangan pantainya?” tanyaku pada waktu yang lain.

“Seperti orang tersesat.” Lirih jawabnya.

“Bagaimana kau mengenalinya? Bukankah semua ombak terlihat sama?” Kupandangi buih-buih putih di tepian pantai, sisa dari ombak memecah pantai. Debur ombak menabrak tiang dermaga terdengar begitu keras. Datang begitu cepat menyapa pantai, dan kemudian menghilang kembali, untuk digantikan ombak yang lain.

“Ombak yang kehilangan pantai akan memanggilku.” Dan dia pun menanti panggilan dari ombak miliknya. Tak peduli akan desau angin sore yang hendak memikatnya pergi. Dia bertahan di sana, di dermaga. Memperhatikan ombak yang datang silih berganti. Mencari ombak yang akan memanggil namanya.

Di tepi dermaga itu dia selalu menunggu.

Tak peduli entah berapa ratus senja yang ia habiskan. Hingga putih menyemarakkan hitam rambutnya. Bibirnya masih merekahkan senyum, dengan gurat halus di tepian. Mata sayu dan penuh rindu berkepanjangan masih saja memandang laut. Kulitnya tak lagi halus, termakan oleh tahun yang ia lewati untuk menunggu. Hanya gaun pantainya yang masih tetap sama, merah semerah matahari senja.

Aku kini terbiasa menemaninya duduk di tepi dermaga. Berbincang akan laut dan senja. Terkadang dia bercerita mengenai ombak yang pernah datang ke pantainya. Terkadang pula aku bercerita mengenai senja jauh dari tepi laut. Nyanyiannya masih diliputi lara. Harap yang kunjung usai akan kedatangan sang ombak.

“Sampai kapan kau akan menunggu ombakmu?” tanyaku pada satu saat ketika senja mulai memudar.

“Ombakku pasti datang. Jika tidak, aku yang akan mencarinya.”jawabnya dengan mantap.

“Bagaimana kau bisa tetap bertahan? Bukankah berharap itu melelahkan?” Harap akan hatinya mampu berpaling padaku bagaikan menunggu ombak miliknya yang tak kunjung datang. Di mata beningnya yang sayu tak pernah kutemukan celah untuk ombak yang lain. Matanya hanya mencari ombak yang tidak memiliki pantai.

“Tanpa ada harapan, tidak akan ada kehidupan. “ dan dia pun terus berharap ombak itu akan datang suatu senja nanti. Ombak yang membawa serta harapanku untuk berlabuh di pantainya.

Di tepi dermaga itu dia selalu menunggu.

Tapi senja ini dia tak datang. Pun senja-senja selanjutnya. Ombak masih memecah pantai. Mentari senja masih memandikan laut dengan cahaya jingga. Tapi tak ada perempuan beraroma senja dan laut di tepian dermaga. Mungkinkah dia sudah bertemu dengan ombak yang dicarinya? Ataukah dia memutuskan terjun ke laut untuk mencarinya?

Aku berdiri di sana, di tepian dermaga. Menunggu perempuan yang menjadi pantaiku untuk kembali.

 

*Penulis dapat dihubungi melalui email pribadinya di divagalaksi@gmail.com

Bagikan