SuaraKita.org – Sebuah Organisasi LGBT di Uganda memiliki cara lain untuk mengumpulkan dana. Mereka memproduksi minuman anggur dan bertani. Rainbow Mirrors, yang beroperasi di Uganda tengah, diresmikan pada musim panas 2015 lalu. Direktur eksekutif organisasi tersebut, Abdul Jamal, alias Hajjati, mengatakan bahwa sebagian besar anggota dalam organisasi tersebut mengidentifikasi diri mereka sebagai transgender. Rainbow Mirrors berusaha untuk membantu orang-orang dengan HIV+ yang juga merupakan sebuah masalah yang signifikan di banyak negara di Sub-Sahara Afrika. Selain menjadi kelompok suportif, Rainbow Mirrors juga mengadakan pertunjukan kesenian untuk menghimpun dana dukungan bagi kegiatan organisasi mereka.
Uganda memiliki undang-undang diskriminatif yang keras bagi LGBT. Aktivitas seksual sesama jenis dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup. Sebuah usaha telah dilakukan pada tahun 2013 untuk memperkenalkan hukuman mati bagi LGBT. Walaupun undang-undang tersebut gagal dilegalisasi, namun hubungan sesama jenis diganjar dengan hukuman penjara seumur hidup.
Awal tahun ini, Minoritas Seksual Uganda (SMUG) merilis sebuah laporan yang mendokumentasikan 264 insiden penganiayaan LGBT dalam setahun lebih terakhir. Ini termasuk serangan kekerasan, penyiksaan, penangkapan, pemerasan, PHK, pelecehan, penggusuran dan termasuk mafia peradilan.
Abdul mengatakan bahwa situasi bagi LGBT di Uganda sangat ‘rumit’ karena kurangnya pengakuan hukum. Banyak dari mereka menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan dan dunia sosial. Dia mengatakan bahwa banyak orang gay memilih untuk menjalani kehidupan mereka dengan tertutup yang membuat proses pencarian nafkah yang berkelanjutan sulit. Banyak yang terpaksa untuk beralih menjadi pekerja seks.
Orang-orang inilah yang dibantu oleh Rainbow Mirrors. Mereka telah melatih beberapa dari anggota mereka dalam memproduksi minuman anggur. Bulan Juni lalu mereka memproduksi botol pertama minuman anggur mereka. Untuk sekarang usaha tersebut masih dalam skala kecil kata Abdul. Mereka hanya memproduksi sekitar 50 botol dan dijual di even-even LGBT disekitar Kampala.
Organisasi ini juga mengelola sebidang tanah pertanian, dimana mereka menanam anggur untuk diproduksi sebagai minuman. Selain anggur, mereka juga menanam kopi untuk menambah pemasukan. “Lahan seluas 6 hektar tersebut kami dapat dari keluarga saya yang mengerti dan menerima identitas gender saya” ujar Abdul. Saat ini sekitar 25 orang mengerjakan lahan tersebut bersama-sama tambahnya.
Abdul juga mengatakan bahwa pekerjaan di pertanian sangat terbatas pada saat ini. Karena kekeringan melanda kawasan itu. Saat ini mereka sedang berusaha mengumpulkan dana untuk lubang bor dan mendapatkan sistem irigasi yang tepat agar pertanian dapat sepenuhnya berjalan. Mencoba untuk bertani di lahan kering terdengar seperti cara yang hampir mustahil dan menakutkan untuk sebuah pemberdayaan, namun keberadaan pertanian tersebut menunjukkan masyarakat bersatu menghadapi penindasan. (R.A.W)
Sumber: