Search
Close this search box.

[Opini] Merdeka tanpa Diskriminasi

Oleh: Siti Rubaidah

SuaraKita.org – Bulan Agustus telah tiba. Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia selalu memperingatinya sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia setelah hampir tiga setengah abad di jajah oleh kolonial Belanda. Kemerdekaan hanyalah “jembatan emas” atau pintu gerbang menuju masyarakat adil dan makmur. Pertanyaan kritis yang selalu terngiang sampai sekarang adalah apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka?

Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penindasan dan penguasaan bangsa asing serta bebas menentukan nasib bangsa sendiri. Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, ras, antar golongan, identitas gender, orientasi seksual serta latar belakang sosial yang sangat beragam dan tercermin dalam bhineka tunggal ika. Dengan keberagaman budaya dan latar belakang masyarakatnya, pastilah banyak tantangan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Sangat disayangkan, meski sudah 71 tahun Indonesia merdeka, ternyata masalah bangsa ini belum juga selesai. Banyak  kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya menikmati hak-hak konstitutionalnya. Dalam sebuah siaran persnya baru-baru ini Komnas Perempuan menggambarkan masih banyaknya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas (3/8/2016).

Sementara itu, Imdadun Rahmat, Ketua Komnas HAM menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang tergolong dalam kelompok minoritas belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Isu kelompok minoritas seringkali memicu kontroversi sehingga menghambat upaya penegakan HAM. Masyarakat Indonesia secara umum masih awam dalam melihat kelompok minoritas. Sesuatu yang berbeda dengan mainstream atau kebiasaan umum seringkali dianggap asing, abnormal atau kesalahan.

Konstitusi mengamanatkan bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama sehingga tidak boleh ada diskriminasi atas alasan apapun. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, termasuk perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum. Lebih khusus Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi lewat UU No.12 tahun 2005 yang  menegaskan hak-hak kelompok minoritas meliputi etnis, bahasa atau agama. Melihat keberagaman masyarakat di Indonesia Komnas HAM memasukkan beberapa kelompok dalam golongan minoritas, seperti penyandang disabilitas, aliran politik minoritas dan LGBT.

Walaupun konstitusi dan berbagai instrumen hukum menyatakan persamaan warga negara di depan hukum, tapi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender kerap jadi sasaran persekusi. “Label ‘penyimpangan’ terhadap identitas orientasi seksual menjadi titik awal rangkaian pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas gender dan orientasi seksual.

Dalam catatan Komnas HAM pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT terjadi berlapis-lapis. Misalnya, seorang pekerja yang diketahui gay maka beresiko mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Dalam beberapa kasus pelanggaran HAM terhadap LGBT di masyarakat ditemukan tidak adanya hak kebebasan berpendapat dan berserikat, layanan kesehatan, pendidikan, partisipasi publik, keimigrasian, dan pengungsian serta berbagai hak dasar lainnya.

Komnas HAM juga menemukan beberapa peraturan yang diskriminatif terhadap LGBT, diantaranya: Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat; Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberatasan Pelacuran, Perda Kabupaten Banjar No. 10 Tahun 2007 tentang Ketertiban Masyarakat, Perda Kota Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 dan Perda Kota Padang Panjang No. 9 Tahun 2010.

Senada dengan pendapat tersebut, Musdah Mulia dari ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) menegaskan bahwa sikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas, terutama kepada kelompok LGBT adalah karena masyarakat kita tidak tahu banyak tentang apa itu seksualitas. Selama ini masyarakat memandang  bahwa seksualitas hanya melulu hubungan seksual. Padahal sebenarnya seksualitas itu mencakup aspek yang sangat luas.

Mengapa masyarakat menerima hetero dan menolak homo dan orientasi seksual lainnya? Jawabannya, karena selama berabad-abad masyarakat dihegemoni oleh pandangan yang menganggap bahwa hetero dianggap normal dan alamiah. Sebaliknya, semua jenis orientasi seksual selain hetero, khususnya homo dipandang abnormal dan mental disorder (kelainan jiwa). Pandangan inilah yang kemudian memunculkan sikap homophobia.

Selain itu, konstruksi sosial mengenai seksualitas dipengaruhi oleh relasi gender yang timpang dalam masyarakat. Hal ini karena relasi gender masih didominasi ideologi dan sistem patriarkhi paternalistik. Sistem patriarkhi membenarkan laki-laki menguasai, dan mengontrol kehidupan perempuan dalam semua bidang kehidupan. Sistem membelenggu ini melahirkan pembagian peran gender yang diskriminatif antara laki-laki dan perempuan.

Dalam patriarkhi, seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu menjadi subyek dan perempuan selalu menjadi obyek seksual. Sehingga laki-laki harus dominan, aktif dan agresif. Sebaliknya, perempuan harus mengalah, pasif dan tidak agresif. Pandangan ini akhirnya melegitimasi laki-laki melakukan dominasi, pelecehan, perkosaan, dan kekerasan. Lebih lanjut, seksualitas juga dibangun dalam paradigma orientasi seksual hetero dan sama sekali tidak member ruang bagi paradigma orientasi seksual lainnya seperti homo dan lainnnya. Akibatnya, terjadilah hegemoni heteronormativitas dalam konstruksi seksualitas.

Konstruksi sosial masyarakat selama berabad-abad memaksakan heteronormativitas dan norma-norma orientasi seksual hetero sebagai satu-satunya kebenaran. Tidak mengherankan jika orientasi seksual homo dan lainnya dianggap menyimpang, abnormal dan tidak wajar. Bahkan banyak yang menstigma sebagai pendosa, terlaknat, penderita penyimpangan seksual dan penyakit turunan menular. Namun demikian di sebagian kecil masyarakat kita ada yang memandang homo adalah wajar dan normal, bahkan cenderung dianggap sakral seperti kelompok bissu di Sulawesi Selatan dan kelompok warok dalam tradisi kesenian reog di Ponorogo.

 

Negara Wajib Menjamin Pemenuhan dan Perlindungan Kelompok Minoritas

Pemenuhan hak seksualitas harus didasarkan pada tujuh prinsip utama, yaitu prinsip hak seksual sebagai hak asasi manusia; prinsip perlindungan demi tumbuh kembang anak-anak; prinsip non diskriminasi; prinsip kenikmatan dan kenyamanan; prinsip kebebasan yang bertanggungjawab; prinsip penghargaan dan kebebasan manusia; dan prinsip pemenuhan hak. Pada dasarnya, upaya pemenuhan hak seksualitas berjalan seiring dengan pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi.

Memang tidak mudah mempromosikan hak-hak seksual tersebut. Menurut Musdah ada tiga hambatan yang dihadapi:

Pertama, hambatan kultural dan budaya. Budaya patriarkhi masih memandang perempuan sebagai subyek seksual, sehingga membuat perempuan pada posisi yang pasif dan menerima. Disamping itu, pandangan heteronormativitas yang sangat kuat di masyarakat memandang bahwa orientasi selain  hetero dianggap abnormal dan menyimpang.

Kedua, hambatan struktural yakni berupa kebijakan publik dan undang-undang yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan dan kelompok transgender serta mereka yang memiliki orentasi seksual yang berbeda dengan hetero.

Ketiga, hambatan interpretasi agama. Umumnya interpretasi agama yang berkembang di masyarakat belum ramah terhadap perempuan dan belum mengakomodasi kelompok orientasi seksual di luar hetero. Terlebih, kaum agama memandang bahwa interpretasi agama bersifat mutlak dan tidak dapat diubah atau diganggu gugat. Mereka tidak membedakan mana interpretasi agama yang sifatnya relatif dan nisbi yang tentunya masih bisa diubah dengan wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak dan tidak dapat berubah.

Menegaskan pentingnya pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok minoritas, Komnas HAM merekomendasikan kepada pemerintah untuk menjadikan kelompok minoritas sebagai penyandang hak dan subyek hukum yang memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan agar sejalan dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas.

Sementara bagi Musdah, perjuangan para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) juga menyangkut pemenuhan atas hak seksual manusia. Hak seksual adalah hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan sedikitpun. Setiap manusia, apapun orientasi seksualnya berhak mendapatkan pemenuhan hak tanpa diskriminasi sedikitpun. Berbeda dengan Imdadun Rahmat yang menitik-beratkan tanggung jawab di pundak Negara atau pemerintah saja, Musdah menekankan pentingnya peran masyarakat juga dalam membantu terpenuhinya hak seksual dan mempromosikan prinsip non diskriminasi; atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; serta kelompok transgender; demikian pula antara hetero dan homo.

Dengan pemenuhan hak terhadap warga negara serta jaminan perlindungan dari Negara atas kelompok minoritas ini diharapkan buah manis kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa bisa dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali.  Demikianlah renungan sejenak menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Stop kekerasan dan diskriminasi!

Dirgahayu Republik Indonesia ke-71 tahun. Jayalah Indonesia!

 

Sumber bahan: