Oleh: Wide Puspitosari
SuaraKita.org – Merdeka. Terminologi ini pada dasarnya memiliki tradisi pemaknaknaan yang universal. Ada yang memaknai sebagai hilangnya tali penyekat absolutisme, ada pula yang mendebatkannya sebagai kebebasan yang kebablasan. Merdeka adalah something in between. Yang abu-abu dan yang relatif. Lalu bagaimana bila tiba-tiba merdeka diejawantahkan sebagai kebebasan yang membikin orang malas jadi abai dan terlena? Contohnya, seperti mereka yang tengah meminta mahmakah konstitusi menguji ulang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 284 ayat (1) sampai (5) perihal perzinahan, pemerkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis bersama ormas-ormas yang menepuk dada sebagai pengusung misi keluarga beradab. Dunia yang banyak berubah konteks rupanya gagal memberikan kaca mata baru bagi deretan manusia yang bergelar master, doktor dan profesional ini.
Berita yang dilansir oleh Mahkamah Konstitusi pada 2 Agustus 2016 lalu setidaknya menunjukkan pada kita opera sabun yang diulang ribuan kali itu. Kita, generasi abad 21, seperti kembali ditegaskan bahwa negara ini sudah tidak layak diisi dengan ide-ide usang dan primitif, apalagi diusung oleh generasi pemalas yang abai terhadap data-data yang dibelalakkan tepat di wajahnya. Primitivisme ini ditegaskan melalui argumentasi bahwa pendidikan di Indonesia selayaknya menciptakan generasi yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, sehat, mandiri namun pura-pura melupa bahwa sistem pendidikan kita juga mensyaratkan lahirnya generasi yang melek perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika global. Keganasan primitivisme tersebut kemudian dilanjutkan oleh anggapan salah kaprah mengenai Hak Asasi Manusia; bahwasannya mereka yang diberikan kebebasan “menganut” orientasi seksual sejenis berpotensi menualrkan virus HIV/AIDS dan penyakit kelamin berbahaya lainnya. Hal ini bagi si pemberi argumentasi, akan membebani anggaran belanja negara terkait pengobatan gratis yang menjadi hak asasi semua warga negara. Dari sini, kesalahan berlogika terletak pada bagaimana peliyanan HIV/AIDS sebagai penyakit yang menjijikkan patut dihapuskan dari pagu kementerian kesehatan. Secara jelas, ia sebetulnya telah memproduksi makna yang silang sengkarut terkait konsepsi HAM. Bagaimana mungkin seseorang mengatakan bahwa berobat adalah hak asasi semua warga negara sementara menegasi LGBT yang mengidap HIV/AIDS, yang juga warga negara?
Argumen yang salah kaprah ini semakin memperkukuh fondasi kemalasan mereka dalam mengakses data Kementerian Kesehatan tentang laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan IV tahun 2015 (laporan terakhir) yang secara gamblang mendedahkan jika pengidap terbesar virus HIV ialah heteroseksual dengan jumlah sebesar 47% dari keseluruhan 6.144 orang yang pada umumnya adalah ibu rumah tangga – sementara lelaki seks lekaki (LSL) berkisar 22%. Untuk kasus AIDS sendiri dilaporkan terdapat 80% dari 2954 pengidap tercatat sebagai heteroseksual (ibu rumah tangga), sementara LSL tercatat hanya 8%. Lalu apa pandangan mereka terhadap jumlah besar tersebut? Apakah orang-orang ini akan pula menegasi hak asasi mereka dalam mengakses pengobatan gratis karena mengidap HIV/AIDS? Orang-orang yang malas berpikir memang cenderung melakukan victim blaming dan penyederhanaan-penyederhanaan tak masuk akal.
Sejalan dengan kasus di atas, sebuah pesan yang beredar di jejaring komunikasi juga tak kalah bersaing dalam memamerkan pemahaman yang mengharu biru. Pesan itu berisi himbauan yang ditujukan kepada ormas-ormas di seluruh Indonesia agar ikut mendukung dan mengawal permohonan Uji Materil terkait pasal-pasal di atas lalu mengakhirinya dengan kalimat “selain itu, masyarakat Indonesia dapat terlindungi hak-hak konstitusional dan hak dasar kemanusiaannya”. Arah wacana kalimat terakhir seolah lahir dari seseorang yang sedang mengalami konstipasi. Bagaimana tidak? Pertama, mereka ingin agar semua warga negara mendapatkan hak konstitusionalnya. Kedua, salah satu pasal KUHP yang mengkriminalisasikan LGBT justru diajukan untuk perlunya dilakukan penegasan dan larangan. Lantas, apakah LGBT bukan warga negara? Apakah LGBT tidak boleh mendapatkan hak dasar dan hak konstitusinya? Apakah mereka sadar bahwa mereka telah melakukan pemerkosaan terhadap hak asasi hingga taraf diskursus, taraf yang paling kognitif?
Kemerdekaan kita sebagai manusia untuk mendapatkan hak dasar dan mengutarakan argumentasi adalah perihal yang semua akal sehat sudah menyetujuinya. Tapi sayangnya, sebagian dari kita justru memilih untuk tidak mau bersusah payah dalam mengoperasikan akal sehat, apalagi mengakses data. Padahal, seseorang yang menganggap dirinya profesional sepatutnya mengerti jika data harus mendahului argumentasi dan argumentasi mengaharuskan upaya berpikit logis sebagai prasyaratnya. Namun sayang, mereka semua kehilangan suasana itu. Mereka lebih memilih untuk malas dan gagu di dalam iklim dunia yang telah jauh melangkah menuju masyarakat global yang sensitif terhadap isu penindasan. Ini kemerdekaan. Dan kita semua juga merdeka untuk bersorak bila mereka tidak pantas bicara HAM, apalagi membangun peradaban.