SuaraKita.org – Sikap penerimaan LGBT yang semakin besar terlihat di Olimpiade Rio. Dimana hal tersebut dimulai dengan pecahnya rekor atlit LGBT yang melela sebagai peserta. Human Rights Campaign memperkirakan setidaknya 41 atlit telah melela sebagai LGBT, bertambah dua kali lipat dibandingkan dengan olimpiade London 2012 yang hanya 23 orang – walaupun outsports.com menulis 49 orang. Selain itu dengan diperlonggarnya ketentuan tentang atlet transgender dalam olimpiade, dimana sebuah ketentuan yang mengharuskan atlet transgender untuk menjalani operasi penyesuaian jenis kelamin agar dapat ikut berkompetisi sesusai dengan identitas gendernya dihapuskan, ikut menandai sebuah sejarah dalam dunia olah raga. (baca: IOC: Atlet Transgender Dapat Mengambil Bagian dalam Olimpiade Tanpa Operasi)
Sikap penerimaan terhadap LGBT di Olimpiade Rio juga ditandai dengan pertamakalinya Lea T, seorang supermodel transgender ikut berpartisipasi mewakili negaranya dalam upacara pembukaan. (baca: Supermodel Transgender Ikut di Acara Pembukaan Olimpiade). Selain itu pembawa plakat nama negara 5 orang diantaranya adalah transeksual.
Charley Walters, seorang analis olimpiade dan pemerhati LGBT mengatakan bahwa dia melihat perubahan yang signifikan dalah hal LGBT dalam olimpiade. Menurut Charley, melelanya seorang atlit memberi pengaruh besar dalam menghadapi tekanan dalam sebuah kompetisi. Akan tetapi itu adalah tetap sebagai keputusan pribadi, Charley mengatakan ia berharap suatu hari atlet LGBT akan kehilangan label “atlet LGBT” dan hanya menjadi “seorang atlet .”
Meskipun benar bahwa Olimpiade Rio jauh lebih progresif, masih ada kasus diskriminasi. Outsports.com melaporkan bahwa penggemar sepak bola di pertandingan pembukaan turnamen sepak bola wanita Olimpiade meneriakkan hinaan homofobik kepada beberapa pemain. Padahal dalam Piagam Olimpiade (Olympic Charter) tertulis bahwa “hak dan kebebasan yang tercantum di dalam Olympic Charter dilindungi dari berbagai bentuk diskriminasi seperti ras, warna, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. “
Carlos Tufvesson, Sekretaris dari Rio de Janeiro’s Sexual Diversity berpendapat bahwa memang ada sedikit pergeseran perilaku. Dia ingat ketika Michael do Santos, pemain voli untuk Vôlei Futuro yang baru saja melela menderita trauma intens ketika ribuan penggemar tim lawan meneriakkan penghinaan homofobik kepadanya selama pertandingan, dimana kasus tersebut menarik perhatian nasional. Tapi fakta bahwa ada dua pasangan sesama jenis dalam olimpiade yang banyak menerima dukungan di media sosial untuk menunjukkan cinta mereka adalah sebuah alasan untuk merayakan keberagaman. “Saya melihat banyak fakta-fakta dukungan yang telah memberikan kontribusi untuk LGBT. Pertama, ini pasca-Sochi. Saat pemerintah Rusia mengeluarkan undang-undang anti-gay menjelang berlangsungnya olimpiade musim dingin di Rusia. Kedua, ini semua terjadi setelah serangan mengerikan di Orlando, yang membuat orang mulai berpikir bahwa harus ada sesuatu yang perlu dilakukan untuk melawan homofobia” katanya. (R.A.W)
Sumber