Oleh: Yenni Kwok
SuaraKita.org – Dalam perjalanannya ke luar negeri, Presiden Indonesia Joko Widodo memiliki satu topik favorit untuk berdiskusi dengan sesama pemimpin: Islam dan demokrasi di negaranya. Indonesia “adalah negara di mana Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan,” katanya dalam pidato di Parlemen Inggris pada bulan April. Dalam kunjungannya di Gedung Putih Oktober lalu, Jokowi juga mengatakan kepada Presiden Obama bahwa Islam di Indonesia adalah “moderat”, “modern”, dan “toleran”.
Indonesia boleh berbangga diri tidak hanya sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi juga untuk sebutan toleran dalam Islam. Dua organisasi Muslim terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) yang menjunjung tradisi dan modernis Muhammadiyah, yang jika digabungkan memiliki sekitar 80 juta orang disebut-sebut sebagai contoh dari Islam moderat.
Tapi peristiwa baru-baru ini mencoreng citra ideal demokrasi di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Dalam beberapa bulan terakhir telah terlihat kenaikan tentang sentimen anti-LGBT di Indonesia yang mengkhawatirkan. Dimana Human Rights Watch dalam laporan bulan Agustus menyebut “serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya” pada hak-hak minoritas seksual yang dipicu oleh pemerintah. Sejak Januari, orang-orang dari seluruh bagian dari kehidupan Indonesia, mulai dari pejabat pemerintah, politisi, media lokal, para pemimpin Muslim bahkan psikiater, telah bergabung dengan paduan suara homofobia, termasuk tuntutan untuk mengkriminalisasi dan “menyembuhkan” LGBT dari penyakit mental.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kepada UNDP untuk tidak melaksanakan program komunitas LGBT di negara ini. “Program Bela Negara” , sebuah program pelatihan paramiliter yang mengklaim diikuti oleh 1,8 juta peserta, menyatakan homoseksualitas sebagai salah satu musuh bangsa, bersama dengan komunisme dan obat-obatan terlarang . Ada kontroversi emoji gay dalam aplikasi chat. Sebuah pesantren transgender di kota Yogyakarta dipaksa untuk tutup pada bulan Februari setelah bertahun-tahun keberadaannya ditengah masyarakat, diikuti oleh tindakan intimidasi dari Muslim garis keras. Dan organisasi-organisasi Muslim arus utama mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa LGBT “gaya hidup” adalah “tidak sesuai dengan sifat manusia.”
Parlemen dan Mahkamah Konstitusi adalah medan pertempuran terbaru dalam upaya untuk secara hukum menganiaya minoritas seksual. Anggota parlemen Indonesia yang mendorong untuk RUU anti-LGBT, mengatakan bahwa hal itu diperlukan untuk melindungi masyarakat dari apa yang mereka sebut “propaganda LGBT.” Sebuah kelompok Islam pro-keluarga Aliansi Cinta Keluarga telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, meminta hakim untuk merevisi KUHP dan mengkriminalkan seks sesama jenis (serta tindakan heteroseksual konsensual di luar pernikahan). Dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa (23/8), Patrialis Akbar mengisyaratkan kesepakatan dengan saksi ahli yang berpendapat larangan akan sejalan dengan nilai-nilai moral dan agama, mengatakan: “Kami bukan negara sekuler”
Sukarno, bapak proklamator, bagaimanapun juga membayangkan Indonesia sebagai sekuler, bukan negara Islam. Tidak ada hukum yang menghukum tindakan homoseksual – kecuali di Provinsi Aceh, yang mengimplementasikan hukum syariah – tetapi juga tidak ada undang-undang yang melarang diskriminasi terhadap minoritas seksual. Ini berarti komunitas LGBT menghadapi kekhawatiran antara toleransi dan prasangka dalam kesehariannya. Antropolog dan feminis Muslim Lies Marcoes mengatakan bahwa minoritas seksual telah lama ada di seluruh nusantara. “Masalahnya, saya percaya ini bukan masalah budaya, tapi bagaimana LGBT telah menjadi komoditas politik untuk mendiskriminasi,” Lies juga menambahkan bahwa “sejak (era) reformasi ruang publik telah menjadi lebih konservatif.”
Jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 menghasilkan demokrasi dan reformasi di Indonesia, namun perempuan dan minoritas agama telah menjadi rentan terhadap serangan administratif dan massa. Ratusan kebijakan daerah yang diskriminatif telah diberlakukan terhadap kelompok minoritas. Ini termasuk peraturan tentang membangun rumah ibadah, jam malam pada perempuan dan memaksakan kode etik berpakaian secara Islami. Jika ada pelajaran yang bisa dipetik: kebijakan diskriminatif tersebut sangat berani. minoritas agama, seperti Kristen, Ahmadiyah dan Muslim Syiah, telah diusir dari rumah dan rumah ibadah mereka.
Ada harapan yang tinggi ketika Jokowi memenangkan pemilu pada 2014. Sosok yang rendah hati, politisi Muslim moderat yang memiliki rekor bekerja dengan pemeluk agama lain, ia terlihat sebagai sosok yang akan membela pluralisme dan toleransi dalam bangsa yang beragam ini. Dua tahun, bagaimanapun, masalah hak asasi manusia selalu tertunda. Ketika pemerintah mencabut ribuan peraturan daerah “bermasalah” pada bulan Juni, semua peraturan yang dicabut hanya yang mempengaruhi regulasi bisnis – tidak ada satu pun perda yang mendiskriminasikan perempuan dan kelompok minoritas agama dicabut.
Pada 11 Agustus, pada hari HRW merilis laporan “pedas” nya, juru bicara Jokowi, Johan Budi, mengatakan bahwa meskipun hak-hak warga negara LGBT dilindungi, “tidak ada ruang di Indonesia untuk proliferasi gerakan LGBT”. Komentarnya sangat menggelisahkan. Pertama, kebebasan berkumpul adalah hak konstitusional. Kedua, sementara di negara-negara demokrasi lainnya hak LGBT semakin maju, Indonesia tampaknya akan bergerak ke arah lain.
Komentar Johan ditanggapi oleh pihak pemerintahan Amerika Serikat. “Kami mendorong Indonesia, yang membanggakan diri mereka pada keberagaman dan toleransi, untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak dan standar internasional dengan memastikan hak yang sama dan perlindungan bagi semua warganya,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Elizabeth Trudeau.
Sebagai negara demokrasi dalam wilayah asia dan sebagai bagian dari masyarakat Islam dunia Indonesia tampaknya seperti sebuah mercusuar yang langka . Ketika menyangkut tentang komunitas LGBT, bagaimanapun, negara menghadapi dua pilihan: menegakkan mandat demokrasi atau sebagai kakitangan untuk suara-suara intoleran. Negara Asia Tenggara terbesar – dengan motto Bhinneka Tunggal Ika – bisa menjadi model perintis sejati demokrasi jika mencakup dan inklusif untuk kelompok minoritas, termasuk kelompok minoritas seksual. Jika tidak, Indonesia – dan Jokowi – terkesan hanya omong kosong. (R.A.W)
Sumber