SuaraKita.org – Tidak ada hal yang mampu membutakan apapun selain cinta. Ketika cinta mulai merasuki hati seseorang, maka tiada ciptaan yang lebih indah selain yang ia cintai. Cinta ibarat kabut yang mengaburkan pandangan, layaknya dosa yang menutupi kebenaran hati, dan ibarat candu yang melumpuhkan kerja otak. Tanpa memedulikan fisik, ras, warna kulit, agama, dan bahkan gender cinta akan membuatmu jatuh ke padanya.
Mungkin inilah yang dialami oleh Leonardo (Ghilherme Lobo).
Leonardo adalah siswa dengan keterbatasan fisik yaitu tuna netra, tapi dia menempuh pendidikan di sekolah untuk orang-orang “normal”. Hal ini lah yang kadang membuatnya mendapat perlakuan yang tidak adil oleh teman-temannya. Misalnya, ketika dia harus mencatat penjelasan guru dengan mesin ketik huruf Braille di kelas, teman-temannya kadang mengejeknya dengan menirukan suara mesin ketik itu.
Keadaan ini lantas tidak membuat Leonardo menyerah, karena di kelas ia mempunyai teman yang sangat baik yaitu Giovana (Tess Amorim) yang bahkan selalu rela mengantarkan Leonardo pulang hingga sampai depan gerbang rumahnya. Keduanya adalah sahabat yang sengat dekat. Hingga suatu hari datanglah murid baru bernama Gabriel (Fabio Audi) yang membuat hubungan persahabatan mereka mulai merenggang. Giovana mulai menjauh karena adanya Gabriel membuat Leonardo tidak punya waktu dengannya lagi. Dia berpikir bahwa Gabriel telah mengalihkan Leonardo darinya.
Dengan judul asli yaitu Hoje Eu Quero Voltar Sozinho (2014), film asal Jerman ini merupakan adaptasi dari film pendeknya dengan judul I Don’t Want to Go Back Alone / Eu Não Quero Voltar Sozinho (2010). Uniknya, pemain dari versi film panjangnya adalah aktor dan aktris yang sama dari versi film pendeknya. Sutradara sekaligus penulis naskah dari film ini yaitu Daniel Ribeiro.
Dengan tokoh utama yang mempunyai keterbatasan fisik berupa kebutaan dari lahir, film ini mampu menghasilkan penokohan yang unik bahkan ketika masih di awal-awal cerita. Keadaan ini justru membuatnya mandiri dan ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia sama dengan orang normal. Di film ini diceritakan bahwa pada akhirnya Leonardo memiliki ketertarikan dengan Gabriel yang sesama jenis dengannya. Awalnya Giovana tidak bisa menerima keadaan itu, namun akhirnya dia juga mengerti bahwa cinta tidak bisa dipaksakan.
Meskipun Leonardo tidak bisa melihat bagaimana bentuk rupa dan kondisi fisik Gabriel, tetapi dia yakin dengan sepenuh hati bahwa ia mencintainya. Inilah cinta yang sejati menurut Leonardo, yaitu datangnya bukan karena baik buruknya fisik orang yang dia cintai, melainkan dari ketulusan hati.
Ketika cinta tidak bisa dilihat dengan mata, maka masih ada hati yang lebih bisa merasakan. Karena cinta tidak pernah buta. Sepertinya inilah pesan yang ingin disampaikan dalam film ini. Saat kita mencintai seseorang, terkadang yang menjadi alasan kita mencintainya adalah penampilan, tanpa kita tahu bahwa penampilan terkadang itu menipu. Banyak terjadi di luar sana yang membuktikan bahwa penampilan yang dilihat ternyata tidak sesuai dengan bagaimana keadaan dalam hatinya.
Ibarat slogan “Don’t judge a book by its cover”, tentunya kita akan sangat kesulitan apabila menilai seseorang bukan dari penampilannya. Tapi, hey, masih banyak tolok ukur lain yang bisa kita gunakan untuk menilai seseorang. Kita bisa tahu seperti apa karakteristiknya dari bagaimana ia melakukan aktivitas, bagaimana ia bersikap kepada teman-temannya, dll. Mungkin inilah yang menarik, ketika penampilan mampu menipu, maka ada hati yang akan menuntunmu menentukan mana yang terbaik. (bgz)