Search
Close this search box.

[Cerpen] Pintu Tertutup

Oleh: Wisesa Wirayuda

SuaraKita.org – Dua puluh menit sudah aku menunggu datangnya kereta. “Dikarenakan ada rel yang anjlok…” tutur suara operator yang kaku itu. Jika dua puluh menit lagi aku belum naik kereta, sudah dipastikan aku akan kena marah bosku lagi.

Suruh siapa tidak pergi lebih awal?” sanggahnya pasti nanti. Jika sudah begitu, aku tak punya lagi jawaban untuknya. Seolah salahku lah kereta ini anjlok dari relnya. Hah, hidup terkadang memang tak pernah adil padaku.

Tak lama setelah hembusan nafas panjangku itu, operator mengumumkan serangkaian kereta yang akan memasuki stasiun dimana aku menunggu. “Hati-hati di jalur satu, kereta tujuan Jakarta Kota…” dan ya, itu bukan kereta yang aku inginkan. Beberapa orang segera berdiri dari duduknya, sedangkan aku hanya melongo melihat mereka. Lagi-lagi, ini tak adil. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja datang, langsung mendapatkan kereta tujuannya, sedangkan aku yang sekarang sudah menunggu selama setengah jam, masih harus menunggu sedikit lebih lama lagi.

Perutku berbunyi, tidak sahur adalah penyebabnya kurasa. Padahal ini masih pagi. Payah sekali aku ini. Kulihat di ujung peron, seorang perempuan dengan santainya menyedot minumam kemasan karton. “Ah, segarnya…” pikirku. Pikiran nakalku itu ditangkap lain oleh perempuan itu, matanya agak melotot melihatku. Kutarik pandanganku darinya. Malu setengah mati. “Dia nggak pikir aku liatin dia, kan?” pikirku dalam-dalam.

“Kamu baik-baik saja?” ucap seseorang yang ada di sebelahku.

“Hmm? Ya… “ itu adalah perempuan yang tadi aku perhatikan dari jauh. Mau apa dia kemari?

Suara mirip sirine pertanda kereta akan memasuki stasiun mulai terdengar, namun deretan balok logam itu nampak masih jauh dari pandanganku. Waktu berjalan terasa lambat, apakah hanya perasaanku?

“Kamu puasa? Kamu nampak lemas sekali. Pasti tidak sahur ya?”

“Terlihat ya?” tanyaku sebari mencoba tersenyum.

“Iya, wajahmu pucat. Tidak minum saja?”

“Kamu sendiri sedang tidak puasa ya?” Apakah aku terlihat menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Kebiasaan burukku muncul. Mudah-mudahan dia tidak sadar.

“Apakah kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?” tanyanya. Sial, dia ternyata sadar.

“Hahahaha. Maaf.”

“Tapi ya, aku tidak puasa.” Jawabnya.

“Loh, kenapa? Kamu bahkan santai sekali minum di tempat umum.” Sifat burukku yang lain sepertinya muncul. Terlalu mudah menghakimi orang.

“Jawabannya sederhana. Karena aku bukan muslim.” Katanya dengan tawa yang lepas setelahnya. Tawa yang membuatku merasa tak enak padanya.

“Oh maaf… saya tidak…”

“Santai saja. Tak masalah.”

Angin panas di stasiun ini membuatku semakin berkeringat. Keadaan menjadi hening setelah tawa perempuan ini meledak, sekarang aku merasa dihakimi oleh sekitarku. Namun sesaat kemudian aku merasa udara sejuk di dekat leherku. Dingin sedingin minuman kemasan karton.

“Mau?” tawarnya.

“Saya berpuasa. Kukira saya sudah mengatakannya. Tapi terima kasih untuk tawarannya.”

Perempuan itu mengangkat bahunya. Dalam artian, “Ya sudah kalau tidak mau, kamu yang rugi loh.

Kereta tujuan Jakarta Kota yang sejak tadi dikumandakangkan akan memasuki stasiun, belum juga menunjukkan kehadirannya. “Yah, begini lah kalau kita naik angkutan umum yang bisa dibilang murah. Kita hanya bisa terima apa saja yang terjadi. Tak bisa protes.”

“Kenapa tidak?” tanyaku. “Bukan kah itu hak penumpang?”

“Dengan ongkos yang tak lebih dari lima ribu? Kurasa agak berlebihan jika kita menuntut yang istimewa. Kenapa tidak naik taxi saja jika ingin nyaman dan cepat, ya kan?”

Aku terdiam. Perempuan ini membicarakan sesuatu yang tak perlu dibicarakan.

“Hey! Kamu yakin tidak mau minum? Kamu nampak tidak fokus dan bahkan sepertinya kamu tidak menangkap apapun yang aku ceritakan, ya kan?”

Apakah aku semerana itu? Apakah wajahku sangat menunjukkan bahwa aku sedang menahan dahaga? Ah, sebaiknya aku katakan saja padanya apa adanya, “Yah, aku memang tidak sahur. Aku terlihat sengsara ya?”

“Maksudku, ya tidak apa-apa jika kamu terus ingin puasa hari ini. Hanya saja sekarang kamu sedang di perjalanan. Dan siapa yang jamin kamu tidak akan jatuh sakit di perjalanan?”

“Apakah kamu sedang mengujiku?” aku menyipitkan mataku. Teringat semua perkataan seseorang di atas mimbar tarawih tadi malam yang menyuruh umatnya untuk berhati-hati dengan ‘ajakan kaum kafir’.

What? Oh, maaf… sudah kukatakan jika kau mau tetap berpuasa, kamu bisa menolak tawaranku. Aku hanya khawatir saja.” Kini giliran wajahnya yang menunjukkan wajah menyesal. “Baiklah, sepertinya keretanya sudah datang.”

Apakah aku terlalu kasar? Aku hanya menolak tawarannya. Benar kan? Aku benci sekali berada di posisi seperti ini. Tapi ya, sepertinya aku terlalu kasar. Ah entahlah, perempuan memang sulit untuk dimengerti. Padahal aku juga perempuan!

Kereta dengan dua belas rangkaian itu sedikit demi sedikit melambat. Perempuan yang tak kuketahui namanya itu berdiri sembari masih menyedot minumnya. Sesekali aku melirik kearahnya, lebih tepatnya ke arah minumannya itu. Ternyata aku memang tak bisa melanjutkan puasa lagi. Tapi apa nanti kata orang ketika mereka tahu aku tiak puasa, padahal aku sedang tidak datang bulan. Apakah orang-orang akan tahu apakah aku sedang datang bulan atau tidak? Bagaimana jika mereka tahu?

“Sudah kukatakan berkali-kali. Kau nampak kacau sekali. Kamu yakin tidak mau minum? Sebelum aku naik kereta.”

Pintu kereta langsung terbuka setelah ia mengatakan kalimatnya. Aku hanya mengangguk. Pertanda aku siap menerima minum itu darinya. Dingin menyegarkan sekali ketika kemasannya bersentuhan dengan telapak tanganku. “Bye!” katanya segera pergi dari hadapanku.

“Terima kasih.” Kataku. Dia hanya tersenyum dari atas gerbong.

“Hati-hati pintu akan ditutup…” suara operator dari dalam kereta terdengar sampai ke luar. Kulihat perempuan itu melambaikan tangannya padaku, sembari pintu kereta dengan cepatnya menutup tanpa ampun.

Begitu kereta melau bergerak, aku tatap minuman ini. Dan kudapati hal yang janggal. Ada sebuah selembar kertas putih kecil yang menempel. Agak basah karena terkena tetesan air. Kertas itu tidak kosong. Itu adalah sebuah kartu nama. Aku hanya tersenyum saja. “Sial, bagaimana bisa aku tidak sadar bahwa perempuan tadi sedang mencoba mendekatiku? Ternyata dia benar, aku memang kehilangan fokusku.

Rena, itu nama yang tertulis di kertasnya, dan tak hanya itu, ada nomor telepon, email, bahkan akun facebook-nya. Di bagian belakang kartu, ada sebuah tulisan menggunakan tinta biru yang mengatakan, “Terlepas apakah kamu meminum minuman ini atau tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting adalah, kau menjaga dirimu. Jakarta itu keras, bung! Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan atau berlemas-lemasan. Kau harus siap siaga. Dimana ada kesempatan, kamu harus memaksimalkan kesempatan itu. Ya, kurang lebih itu yang kulakukan sekarang. Hehehe. Berusaha untuk mengenalmu sebelum pintu kereta ini benar-benar tertutup. Hati-hati di perjalanan! –Rena-

Entah apa yang merasuki sekarang, aku hanya bisa membagi senyumku pada angin. Seharusnya aku bisa memberikan respon yang lebih baik padanya tadi, bukan malah menghardiknya dengan tatapan sinisku. Yah, hidup terkadang memang tak adil, ketika cinta datang, justru kita lah yang sedang tak siap.

Bagikan

Cerpen Lainnya