Search
Close this search box.
2016_06_05_5822_1465108641._large
dok. thejakartapost

SuaraKita.org – Rintangan yang dihadapi oleh masyarakat LGBT Indonesia untuk mengekspresikan pendapat mereka ditengah memuncaknya perlawanan terhadap LGBT dapat memunculkan kembali bahasa rahasia antar LGBT.

Menurut Profesor Yoshimi Miyake, dari Universitas Akita, Jepang, istilah-istilah rahasia mereka mulai muncul untuk mengungkapkan topik yang berhubungan dengan aktifitas dan orientasi seksual mereka yang berbeda. Namun istilah tersebut terbawa ke ranah publik karena publik mulai terbuka pada mereka.

“Penindasan adalah salah satu faktor kecil dibalik terbentuknya bahasa rahasia. Akan tetapi akan menjadi lebih besar jikala penindasan semakin hebat,” katanya dalam sebuah simposium internasional di Universitas Darma Persada (Unsada) di Jakarta, Minggu kemarin.

Profesor Yoshimi Miyake telah meneliti bahasa tersebut pada LGBT di Jepang, yang biasa disebut Onee-kotoba, dan pada LGBT Indonesia beberapa tahun terakhir. Dia mengambil kesimpulan bahwa bahasa yang digunakan para transgender Indonesia membentuk bahasa rahasia menggunakan karakter kreatif

Mengutip Tom Boellstrof, antropolog Amerika yang melakukan penelitian serupa di Indonesia pada tahun 2005, Profesor Yoshimi Miyake menggarisbawahi bahwa LGBT Indonesia menyerap ekspresi dari LGBT di seluruh dunia dan menggabungkan dengan bahasa mereka sendiri.

Bahasa rahasia seperti ini masuk ke indonesia sekitar tahun 1970an dan digunakan juga secara luas oleh heteroseksual bersama dengan pengakuan atas keberadaan mereka (LGBT) di tengah masyarakat umum. “Sangat mengejutkan ketika sekarang LGBT Indonesia dilarang untuk mengekspresikan gaya mereka di Televisi Indonesia, itu melanggar hak-hak mereka,” kata Profesor Yoshimi Miyake

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberlakukan aturan diskriminatif kepada LGBT Indonesia. Dan menyebabkan kekecewaan pada pelaksana penyiaran, stasiun televisi dan radio yang mempromosikan kegiatan yang dilakukan oleh  komunitas LGBT.  KPI beralasan aturan tersebut digunakan untuk melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh gaya hidup LGBT.

Padahal di Jepang, Kata Profesor Yoshimi Miyake, transgender dan orientasi seksual tidak pernah menjadi problem dan masuk ke dalam kebudayaan negara sejak lama . “pemain Kabuki mengeksplorasi kedua seksualitas agar kinerja mereka dalam pementasan semakin hidup. Tidak ada penindasan karena itu adalah tindakan yang melawan hukum.”

Sumber

thejakartapost