Oleh: Dewi Nova[1]
SuaraKita.org – Jakarta, pukul 11 malam, aku dan kekasihku menyelinap di betis gedung-gedung bertingkat, mencari jalan pintas ke Stasiun Tanah Abang. Bertiga dengan supir bajay, berkeliat menuju gang-gang kecil. Rumah-rumah kecil yang padat, lotengnya berjejalan. Setiap jengkal halamannya dijadikan lapak hidup. Aroma sate Madura, goreng-goreng, nasi uduk merangsang hidung. Anak-anak berlomba dengan motor dan bajay mengambil ruang bermain, yang sekaligus jalan pintas menuju stasiun.
Lepas dari gang kecil, bajay yang kami tumpangi melewati saung-saung yang menempel di dinding tembok, yang memisahkan area stasiun dan jalan raya. Lampu yang tak terlalu menyala, warung seadanya, para lelaki dan perempuan dengan pewarna bibir menyala. Lagu dangdut menjadi raja, memekakan pendengaran, tak peduli dengan apa pun. Hingga kami tiba di stasiun, senandungnya parau-parau kudengar. Di gerbong kereta terakhir, aku pun melangut dalam dangdut, dalam lelah. Hilang kesadaran, bersandar pada pundak kekasih yang sama-sama layu. Peluit masinis hampir tak kudengar, kereta bergerak mengantar tidur kami.
***
Bibirnya berpoles warna merah cabe, memberi nuansa kontras pada kulitnya yang bersih. Sebatang kretek ia nyalakan. “Kalau Emak sama orang tua Emak nggak ditipu karyawan, nggak bakal Emak susah-susah jual kacang goreng di Tanah Abang. Ya, lumayan juga sih, lempar lima bungkus kacang di meja minum, dari harga serebuan di warung, bisa jadi lima kali lipat. Sekali-kali Emak juga masih kerja. Biar sudah 60, pelanggan Emak mah pada nempel. Itu, ada rahasianya, kalau Non mau tahu nanti Emak ajari.” Asap rokok mengepul dari mulutnya yang ia monyongkan. Gelang-gelang asap seperti bawang bombay goreng melayang di atas kepala kami.
Mulanya, kukira yang ia maksud ditipu karyawan, semacam cerita buruh terpercaya membawa kabur uang majikan. “Mending kalau uangnya yang dibawa kabur, ini mah anak majikan, ya Emak ini. Zaman itu pan apa (Bapak – Red.) usaha konveksi dekat Pasar Tanah Abang. Nah, si borokokok itu, buruh kepercayaan apa. Kadang-kadang selain kerja jahit, dia juga diminta apa antar jemput Emak ke sekolah. Waktu itu, Emak kan anak cukup berada. Lagian Emak anak satu-satunya. Emak baru kelas satu SMP. Suatu hari si borokokok bilang, kalau apa dan ambu sedang nengokin keluarga yang sakit, jadi katanya, Emak diminta nyusul mereka ke rumah sakit. Eh, bukannya dibawa ke rumah sakit, Emak dibawa ke kontrakannya. Emak nangis tiap hari minta dipulangin. Baru tiga hari kemudian dipulangin. Dia minta segera dinikahkan sama Emak, dari pada keluarga malu katanya, takut Emak keburu hamil. Padahal mens aja belum. Tapi gimana, orang masih kecil, kagak ngarti soal gituan. Ambu sama apa juga nggak ada yang nanya-nanya sama Emak. Semua pada percaya apa yang diomong si borokokok. Lebih-lebih zaman itu mah, namanya anak gadis ilang tiga hari, mau apa lagi.”
“Stasiun Rawa Buntu,” seruan dari pengeras suara membangunkanku. Begitu juga kekasihku, yang segera mengemasi tas kerjanya. Sambil berjejal turun dari gerbong, aku terpukau dengan perbincangan di sepanjang kereta. Perbincangan yang bernas untuk sebuah mimpi. Emak cantik berbibir merah cabe, anak juragan konveksi.
***
Sejak mimpi yang pertama, setiap pulang kerja, aku meminta supir bajay memperlambat lajunya. Terutama, setiap kali kami melewati warung-warung dengan nyala lampu yang ngantuk itu. Dengan sudut mata, kucuri pandang ke setiap warung. Siapa tahu ada Emak di sana. Aku tahu, ini gila. Bagaimana aku terpengaruh oleh mimpi. Tetapi siapa tahu, ia memang ada dan barangkali kami bisa berteman. Entah untuk apa, aku pun tak tahu. Aku hanya mengikuti dorongan-dorongan yang kubiarkan begitu saja.
Aku dan kekasihku masih menjalani malam-malam yang sama di Tanah Abang. Tenaga dan pikiran terkuras jadi buruh seharian. Lalu mengakhiri hari, duduk layu di gerbong kereta terakhir. Tapi rupanya, mimpi yang kutunggu, tak bisa datang semauku. Aku bersabar, menunggu Emak, entah pada perjalanan pulang yang mana.
***
Kali ini, Emak mengenakan rok dan blazers berwarna merah muda, seperti sekertaris yang pulang kemalaman. Pemoles bibirnya berwarna orange kecoklatan. “Enggak ngerokok Mak?” tanyaku. “Lagi sakit, Non. Macem-macem kalau udah tua, dari diabetes sampai jantung. Ini Emak baru beli beras hitam dari teman, katanya bagus untuk mengganti nasi putih,” kata Emak sambil menunjukan tas belanjanya. Lalu, ia melanjutkan ceritanya saat dipaksa kawin sama si borokokok. “Zaman itu mah mana Emak tahu soal perkosaan. Kalau diingat-ingat sakitnya, sampai tiga – lima tahun perkawinan, ya Emak diperkosa sama suami Emak sendiri. Pan Emak belum mau dan belum butuh. Sekolah juga udah nggak dilanjutin, padahal biaya mah ada. Gimana, Emak kan malu, masa udah punya laki masih sekolah. Tapi anehnya, lama-lama Emak sayang juga sama laki, apalagi waktu sudah punya anak tiga. Ya, kira-kira dua puluh tahun lah umur Emak. Waktu itu, apa udah meninggal, usaha diurus Emak ama laki. Kami juga ngurus Ambu, tiga anak, dan beberapa karyawan. Enggak kekurangan lah. Apalagi, karena Emak udah dewasa, mulai ada rasa cinta sama laki.”
Tapi rupanya, kebahagiaannya tak terlalu lama. “Baru Emak mulai nikmati hidup, datang janda muda ke rumah dengan perut buncit. Kabur dah laki Emak sama tuh perempuan. Mana usaha lagi turun, utang ke mana-mana. Itu, Emak yang mesti nanggung jawabi. Lama-lama Emak udah nggak sanggup, ngurusin konveksi yang makin banyak pesaing. Emak jual dah untuk nutupin utang sana sini. Ambu makin tua, makin sakit-sakitan, anak-anak makin besar makin butuh biaya. Gengsi sih Non dari anak juragan konvesi jadi jualan kacang. Tapi gimana lagi. Ya, Emak juga ada satu dua pacar yang sayang, kalau sakit bantu berobat. Tapi mereka kan nggak bisa ngurusin semua kebutuhan keluarga Emak.”
Emak mulai bertutur pengalamannya jadi pekerja seks. “Waktu pertama jual diri mah, rasanya hina, tiap pulang Emak mandi sebersih-bersihnya sambil nangis. Ya Allah, ujian kok kaya gini. Rasanya dari umur Emak yang panjang, sedikit aja tahun-tahun Emak tanpa kesusahan. Tapi lama-lama ya udah, Emak terima, ini jalan hidup. Tinggal gimana kita menjalaninya. Udah nerima keadaan mah, Emak nggak malu lagi ngaku kalau kata orang sekarang mah jadi Pekerja Seks. Emak mulai terus terang sama Pak RT, walaupun mungkin dia sudah tahu sejak awal. Maksudnya, kalau ada apa-apa biar ada yang bantuin. Emak juga tetep ikut pengajian, arisan PKK. Malah kalau ada kebakaran atau gotong-royong lainnya Emak mah di garis depan. Kita mah hidup tinggal jalani. Kalau nggak banyak sabar tersiksa sendiri Non.”
***
Aku senang sekaligus takut, kedatangan mimpi yang kedua. Kali ini, aku mengajak kekasihku menghentikan bajay di dekat warung-warung itu. Lalu kami berjalan kaki menuju stasiun, sambil berharap memiliki peluang lebih besar untuk bertemu Emak. Tapi luput, tak ada perempuan yang mengenakan blazers merah muda dan kacang goreng memang cemilan minum bir di hampir setiap warung.
“Non, bangun, pules amat tidurnya.” Tak kuduga, aku duduk segerbong sama Emak. Rupanya malam itu, Emak mengantar temannya yang tinggal di Serpong. Temannya, seorang waria dengan beberapa luka lebam dan berusaha tertidur. Ia duduk di kursi prioritas, tak jauh dari tempat kami duduk. Malam itu, Emak baru jemput temannya yang kena razia sejak dua hari lalu. “Susah Non, kalau lonte kaya kami nggak saling bantu. Dua juta uang keluar untuk jemput yang kena razia. Untungnya Emak sama beberapa teman diajari sama LBH gimana cara ngeluarin sesama lonte, tanpa keluar uang. Tetep aja, kalau kena hajar, tuh anak mesti ngeluarin biaya buat berobat. Kaya sekarang, Emak juga jadi nggak bisa kerja, tapi nggak tega juga nyuruh anak keadaan kaya gitu, pulang sendiri. Udah lah, yang penting anak ini sampai dulu di tempatnya.”
Selain ngurusin sesama pekerja seks yang kena razia, ternyata Emak juga rajin berteman sama organisasi-organisasi yang memberi perhatian pada orang-orang yang positif HIV. Sesekali Emak mengantar teman-temannya yang mau tes HIV. Atau mengantar mereka yang positif AIDS untuk ambil obat ke puskesmas, sambil minta kondom untuk ia bagikan ke pemilik warung. “Lagian Non, kalau bukan sesama lonte, yang kasih tahu soal gimana ngeseks yang aman, pan susah.”
“Stasiun Serpong,” aku terbangun sama kagetnya dengan kekasihku. Tidur kami terlalu pulas, stasiun tujuan terlewati sudah. Tidak ada Emak di sampingku. Mataku mengerjap ke kursi prioritas, pun tidak ada waria temannya Emak di sana.
***
Aku membujuk kekasihku, untuk menemaniku bertanya ke beberapa warung mencari tahu keberadaan Emak. Mimpi-mimpi ini terlalu bernas, terlalu hadir dalam hidupku, tak bisa lagi kuabaikan.
Pulang kerja selanjutnya, kami memberanikan diri bertanya ke beberapa warung. Barangkali ada yang kenal dengan Emak berkulit bersih, berumur 60an dan barangkali pernah mengenakan baju sekertaris berwarna merah muda. Hanya ciri-ciri itu yang bisa kusampaikan ke mereka. Aku berbohong, mengaku ponakannya Emak. Kubilang nama aslinya Asih, tapi tak ada lonte yang senang menggunakan nama aslinya. Itu alasanku mengapa aku tak tahu namanya di Tanah Abang. “Saya pernah melihatnya tanpa sengaja, sekali, saat Mak Asih kenakan baju merah muda,” begitu kusempurnakan kebohonganku.
Pemilik warung pertama dan kedua tidak memedulikan keperluan kami. Mereka berbasa basi, kurasa mereka tidak terlalu berharap kedatangan orang-orang bertanya yang tak menghasilkan uang. Tetapi informasi warung ke-tiga membuat aku dan kekasihku seperti disengat aliran listrik. Mereka mengenalinya, menurut mereka yang kumaksud pastilah Mak Lilis. Mak Lilis yang mereka sayangi, karena suka membantu sesama lonte yang kesusahan. Mereka minta aku bertabah dan menghiburku dengan mengatakan Mak Lilis meninggalkan kenangan yang menyenangkan, bukan hutang, bukan juga masalah lainnya. Mak Lilis sudah berpulang sejak tiga bulan lalu, setelah bertahan dengan sakit komplikasinya.
Di gerbong kereta, air mataku bercucuran. Kekasihku mengusap air mataku, sambil berbisik, “aneh ya, kita merasakan kesedihan ditinggal pergi orang, yang belum pernah kita jumpai.” Ia menepuk-nepuk bahuku. Aku bersandar di bahunya, mengerami pilu yang menyergap tiba-tiba.
***
Beberapa malam kemudian, Emak datang lagi ke mimpiku. Kali ini tidak hanya bibirnya yang berpoles merah cabe, juga kebaya brokatnya. Kainnya bermotif lereng. Sanggulnya tampak rapi, karembong berwarna kuning menyilang di bahunya. “Mak, mau kemana cantik amat?” Ia cuma tersenyum manis. “Non, mau Emak kasih tahu nggak rahasianya?” tanya Emak dengan muka berseri-seri. Aku mengingat-ngingat rahasia apa yang ia janjinkan padaku.
“Biar kita jaga makan sayur banyak, kalau udah menopause, palawangan kita ya berubah, enggak selembab zaman muda.” Oh… aku ingat, dia ingin berbagi pengalaman bagaimana pelanggannya nempel di usianya yang ke-enam puluh. “Yang penting, tamu tuh disayang-sayang, dingertiin, dibuat senang atinya. Kalau udah senang kan gampang diminta turun ke bawah. Biar dicium-cium dulu Non, jadi kan nggak repot pakai pelumas.” Aku tertawa geli, tapi Emak meyakinkanku kalau ia bersungguh-sungguh. “Jadi cewek harus pinter Non, biar hidup sulit kaya apa juga, mesti pinter bikin tubuh kita seneng, ha…ha…” Kami pun tergelak bersama.
***
Sejak mimpi itu, Emak tak datang lagi. Aku memutuskan untuk menuliskan kisahnya. Siapa tahu, itu maksud kami diperjumpakan.
Pamulang – Banten, 19 Juni 2016
[1] Penulis buku Perempuan Kopi dan Bidang Budaya Perempuan Berbagi, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com