Oleh: Wida Puspitosari
Seorang perempuan muda melihat batinnya dirajang sinis
Purnalah ia, menuju nirwana yang kancap akan duri Euphorbia
Bersama sunyi, ia berdekap mesra, menuju penghabisan
Tiada kawan, apalagi kesayangan
Mati sia-sia
Diam-diam, darahnya muncrat dari mata rahim
Cairannya akan jadi komposisi api neraka, seperti maumu
Marilah kesana, akan ia cabik jantinamu dengan siungnya
Agar dirimu fasih berseru: ini semua salah minuman keras!
Kata yang begitu fana,
Tapi inilah rasanya hidup di dunia yang lalai merasa
Yang fana jadi makin fana
Kau tahu?
Ada sebuah jagat, mendung dan berkabut
Atmosfernya redup, sedikit oksigen tersisa
Mendorong luluh-lulunya tuk merintik, jadi ratusan cemooh yang abai nuraga
Cederanya tak lagi berarti
Seorang nayaka dan mantan nayaka berujar satiris bukan kepalang
Menjerit kencang jika darah yang muncrat dari mata rahim itu disebabkan oleh arak,
bukan otak yang retak
Ia sedih
Semuanya jadi gulita
Siapa nyana, orang bergelar sarjana sungguh ulung bersulap kata?
Terkadang perempuan muda itu berpikir,
Bahwa hidup di tanah ini tak perlu dipikir-pikir,
agar kecewa tak menjelma getir
Tidak ada minuman keras hari ini
Yang ada hanya indeks kejalangan manusia yang fasis sejak dalam akalnya
Tak warga negara, tak nayaka, sekalipun mereka saleh
Semuanya sama
Adalah selayang pandang,
ketika perempuan muda ini pernah mendapati untaian garib dalam gelap bentalanya:
Inga*, sekotor-kotornya hati setan, masihlah kotor hati manusia.
*Sapaan untuk kakak perempuan di Bengkulu