Suarakita.org – Hari Sabtu, 16 April 2016, Suara Kita mengadakan acara diskusi dan bedah buku “Para Penyintas dari Pamulang hingga Papua”. Dalam acara kali ini, Suara Kita juga mengundang teman-teman dari Perempuan Berbagi yang mana mereka adalah penggagas buku “Para Penyintas dari Pamulang hingga Papua” ini. Acara dibuka oleh Jane Maryam selaku moderator acara, dan kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dengan seluruh peserta yang hadir.
Acara berdurasi dua jam ini kemudian berlanjut membahas latar belakang pemilihan judul buku, dalam hal ini Dian dari Perempuan Berbagi menjelaskannya secara terperinci. “Mengapa kami mengambil kata Penyintas untuk judul buku ini karena buku ini sebenarnya adalah suara-suara korban yang berusaha atau sudah berhasil keluar dari situasi kekerasan-kekerasan yang dialaminya.”
Dian juga menjelaskan sedikit tentang dua hal yang dialami oleh penyintas atau pendamping kekerasan ketika mendampingi korban kekerasan, “Meskipun buku ini tidak sepenuhnya penyintas, tapi kita tau bahwa dalam buku ini juga ada suara dari korban dan ada juga suara dari pendamping atau pekerja kemanusiaan yang mana dia sebagai pekerja kemanusiaan mengalami dua hal dalam dirinya. Di satu sisi dia dituntut untuk membagi energinya kepada korban yang ia dampingi, dan di satu sisi dia juga mengalami kekerasan yang sama.”
Kemudian Dian menjelaskan judul bukunya lebih lanjut, “Dari Pamulang hingga Papua ini sebagai jalinan kasih, jalinan kerja sama. Dari Pamulang, karena Perempuan Berbagi asalnya dari Pamulang dan juga buku ini lahir di Pamulang. Hingga Papua ini untuk menggambarkan kenusantaraan.”
“Buku ini berangkat dari 3 tujuan,” lanjut Dian, “Pemulihan, Penyuaraan, dan Penerimaan. Pemulihan adalah fokus kami yaitu di penyintas, menulis sebagai terapi bagi penulis untuk bisa pintas, keluar dari suatu kekerasan atau situasi sakit yang dialaminya. Penyuaraan maksudnya adalah menyuarakan nilai, nilai apa? Yaitu nilai anti diskriminasi, nilai yang nir kekerasan, karena tema buku ini juga memang bertema anti kekerasan. Tujuan yang terakhir yaitu Penerimaan, bagaimana buku ini, nilai-nilai yang kami bawa di dalamnya, itu bisa diterima oleh masyarakat sampai ke negara.”
Penulis-penulis dalam buku ini adalah mereka-mereka yang pernah mengikuti kelas menulis yang diadakan oleh Perempuan Berbagi, “Sebelum kelas, kami melakukan penjalinan melalui tulisan, semacam publikasi bahwa akan diadakan kelas menulis yang bertemakan nir kekerasan. Kemudian peserta yang ikut harus menghasilkan sebuah tulisan berupa cerpen. Dikarenakan banyak tulisan yang masuk, maka diutamakan tulisan-tulisan dari para penyintas, buruh, pekerja kemanusiaan, pekerja rumah tangga, kemudian mahasiswa juga ada.”
Salah satu penulis di buku ini, Pudji, juga menceritakan pengalamannya sekaligus sebagai perwakilan dari tim pemulih, “Teman-teman dan saya adalah orang-orang yang gelisah, lalu punya perasaan berlebih terhadap berbagai situasi, kemudian kami mulai membuat catatan untuk belajar sendiri dan lain-lain. Lalu kemudian muncul gerakan-gerakan untuk berbuat sesuatu, bagaiamana, dan apa yang bisa dibuat. Yang entah bagaiamana perasaan itu sepertinya ditangkap oleh Semesta, muncul lah undangan kelas menulis dari Perempuan Berbagi.”
“Kelas ini menurut saya adalah kelas yang empatik dan rendah hati. Selain pesertanya yang rendah hati, mau belajar, mau menjadi guru dan murid, mau mendengarkan dan mau belajar, juga ada komunitas yang sangat mendukung.” Lanjutnya. Penulis lain yang kebetulan hadir adalah Kaivin yang menulis tentang perempuan pekerja seks. Kaivin terinspirasi membuat cerita ini dari lingkungan rumahnya yang dekat dengan pusat prostitusi atau yang disebut Odong-odong. “Saya sempat mencari di internet asal mula kata Odong-odong. Yaitu singa-singaan yang ditunggangi oleh anak-anak sehabis sunat. Nah, di tempat saya arti Odong-odong itu berarti lain.”
Langit semakin sore, acara mencapai pada penghujungnya. Pada akhir acara, Siska Sriyanti, Membacakan sebuah cerpen karya Febry Eva Lovina yang berjudul “Sembuhkan Lukaku Tuhan” yang bercerita tentang Lesbian yang mengalami kekerasan oleh dukun karena sang dukun dipercaya bisa “menyembuhkan” Lesbian. Cerpen tersebut juga ada dalam buku “Para Penyintas dari Pamulang hingga Papua.” (Esa)