Suarakita.org – Bertepatan dengan Hari Nol Diskriminasi Internasional dan Hari Solidaritas LGBT Nasional, Sekitar 30 hingga 50 orang yang tergabung dalam Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia (Koalisi KPI), mendatangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Selasa, 1 Maret 2016 pukul 11:00 WIB untuk melakukan audiensi terkait dikeluarkannya Surat Edaran KPI No 203/K/KPI/02/16 yang melarang televisi / lembaga penyiaran menampilkan ‘pria berpenampilan kewanitaan’.
Koalisi KPI menegaskan kekecewaan terhadap KPI yang menstereotipkan dan merendahkan perempuan melalui surat edaran tersebut, antara lain larangan bergaya dan berpakaian kewanitaan, riasan kewanitaan, Bahasa tubuh, dan sebagainya. “KPI menggeneralisasi keberagaman identitas dan ekspresi gender dengan stereotip yang merendahkan perempuan” tegas Asep Komarudin, anggota Koalisi KPI.
Audiensi berlangsung di depan pintu masuk dikarenakan tidak adanya ruangan yang cukup untuk menampung semua peserta audiensi. Selain mengkritik komentar – komentar homofobik di televisi, Koalisi KPI menyerukan KPI untuk kembali mengingat visi KPI yaitu terwujudnya system penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
“Apa kewenangan KPI membunuh keberagaman Indonesia? Anda harus mengenali masyarakat dan konstitusi Indonesia. Ibu saya mengenakan gelang yang sama dengan bapak (salah satu komisioner KPI), artinya saya bisa menyebut anda keperempuanan” ujar Ririn Sefsani dari Bumi Kecil. Ia juga menyerukan KPI untuk menempatkan diri yang seharusnya dalam mendukung reformasi, membangun wacana kritis dalam masyarakat.
KPI yang diwakili oleh Bpk. Rahmat Arifin menjelaskan bahwa KPI sebagai lembaga Negara berusaha untuk mengakomodir aspirasi setiap kelompok masyarakat sesuai dengan Konstitusi dan spirit reformasi, tak terkecuali kelompok yang tergolong minoritas. “Kami sepakat untuk menjaga agar lembaga ini tetap dalam koridor konstitusi”. Menurutnya, dalam konteks UUD, dan P3SPS (peraturan KPI), KPI juga mempertimbangkan norma sosial budaya dan agama yang dianut masyarakat, namun KPI juga menjunjung multikulturalisme sesuai UU Penyiaran.
“Di antara dua rentang (poros) ini, KPI harus tetap menjaga keseimbangannya. Suara mayoritas juga harus didengarkan, namun jangan sampai menjadi tirani mayoritas. Kelompok marjinal ini juga harus tetap dijaga. KPI tetap menjamin keberagaman untuk muncul di ruang public kita. Apakah dengan surat edaran itu KPI akan melarang seorang maestro tari Indonesia Didik Nini Thowok, misalnya? Saya rasa tidak.”.
Sedangkan salah satu komisioner KPI yang lain, Bpk. Fajar Isnugroho, menanggapi dengan menyatakan bahwa KPI berusaha untuk berhati – hati terhadap konten tayangan yang berpotensi melanggar hak anak.
Pada akhir audiensi, Koalisi KPI membacakan dan menyerahkan nota keberatan kepada KPI. Audiensi berlangsung aman dan lancar meskipun dijaga ketat oleh Polisi dan TNI. Berdasarkan informasi dari KPI pun mereka juga sedianya akan menerima audiensi tandingan dari pihak atau kelompok masyarakat yang kontra terhadap keberagaman penyiaran. Namun KPI menyatakan akan membahas masalah surat edaran ini dalam rapat pleno mendatang.
Koalisi KPI terdiri dari 46 individu dan 56 organisasi masyarakat sipil dan jaringan Kerja antara lain CEDAW Working Group Indonesia, Bumi Kecil, Arus Pelangi, Kalyana Mitra, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AMAN Indonesia, Ardhanary Institute, ELSAM, GADIS Semarang, Federasi Buruh Lintas Pabrik, JALA PRT, Institut Kapal Perempuan, Remotivi, LBH APIK, LBH Jakarta, Puska Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan Sanggar SWARA.