Search
Close this search box.

[Puisi] Ingin Bermalam Minggu Bersama

night-5Oleh: Peri Andrian Al Qudus

Suarakita.org – Di pesisir pantai kami meragu, mengaduh, pun mengeluh pada merdu laut ketujuh. Aku berkaca bercerita pada lautan biru yang sedang senduh. Ombak bergulung malu-malu di senja minggu, malu mengusik kamu-kamu yang malas tahu. Aku, kekasihku, dan anak-anakku—ribuan pasir putih—tersenyum piluh ingin bertamu di malam minggu.

Kenapa kamu tak berhenti bergerak Laut biru? “Aku terharu mendengar perpisahan rembulan dan mentari, dua burung yang dulu cinta” Lautan makin terharu biru, tumpah ruah air laut ketujuh.

Lalu laut biru pun mulai berkisah,

“ Dulu..,

Di malam Minggu ribuan malaikat menjamu dengan lantuan syair syahdu. Rembulan indah adalah saksi bisu, bumi adalah panggung, dan cinta adalah syurgaku.

Tapi Mentari berkata : “Kuingin menjadi pemain!”

Rembulan membalas: “Jangan peluk aku di depan Bumi!” Rembulan sembunyi piluh, Awan ikut menangis di malam minggu.

Bumi bertutur: “Mentari, Pergilah ke lain malam karena kalian tak bisa dimasa yang sama.”

Mentari nestapa di pagi hari, awan hitam menangis letih, hingga mentari tak lagi di horison. Mentari berlari tanpa peduli, rembulan tak pun sedih dan mengejar sang mentari.

“ Esok malamnya rembulan menunggu di kiri horison, Berdiri tegak di atasnya, berbaring sedih ke sampingnya, pun tak nampak mentari lagi. Aku ingin bermalam minggu dengan Mentari—rintih sang rembulan.  Aku ingin dipeluk mentari setiap hari, bukan hanya malam minggu.

“Tapi tiada guna, bumi telah membangun tabir diantaranya, dan mentari dan rembulan terus berkeliling di horison saling mencari hingga kini.”

Terpukul uluh hatiku, Jadi mereka tidak pernah bertemu lagi di malam minggu? Laut biru bertolak pergi, melirik sedih. “Itulah kenapa aku asin. Bumi masih menangis karena memisahkan keduanya.”

Aku hancur terbentur.

—– —– —- —– —— —— —— ——-

“Aku ingin ber-malam minggu di luar ruang bersamamu.” lirih  laki-laki itu berkata.

“Boleh, tapi aku tidak bisa mengecup bibirmu, aku tidak bisa memegang tanganmu, dan aku tidak bisa memeluk ragamu?”  Ia tersenyum ragu, “Apa artinya malam minggu tanpa semua itu?” Ia merajuk.

“Sayang, kita berbeda, tak ada lelaki dan lelaki di taman kota bergandengan tangan.”

“Ada kok.”

“Dimana?”

“Di tempat gelap.”

“lho, mau di tempat gelap? Kenapa tidak disini aja”  Ia menggoda lagi.

Lampu dimatikan.

 

Doa Sembuh

Sebelum datang damai ada masa ‘ku bersujud lima waktu kepada Yang Maha Penyembuh Berdoa  khusyu’ penuh sungguh-merdu
Ya Rabb, Ya qudus, Ya Khalil
Aku ingin sembuh
Aku ingin sembuh
Tolong hambamu—sampai tetes air mataku berlinangan jatuh.
Penuh asa, kala subuh merekah, aku jleb! (Berharap) Sembuh! Bangun dari tidur suka lagi.
Esoknya, biasa saja! Tetap sama! Asu!

—– —– —- —– —— —— —— ——-

“Dia sakit juga ternyata!” celetuknya.
“Maksudmu sakit?”
“Suka lelaki juga, tidak normal, seperti kita. Kapan sembuhnya ya?” Ia tertawa tanpa bersalah.
“Aku merasa normal dan aku tidak sakit.”
“Memangnya kamu tak ingin sembuh?”
“Kalau tidak sakit kenapa harus sembuh!” aku pergi meninggalkan si otak sempit.

Bagikan

Puisi Lainnya