Oleh: Rena Asyari
Suarakita.org – Air Susu ini menetes Nak…
Tumpah, mencari mulut kecilmu
Malam terlampau tua untukku menghantarkanmu pada peraduan
Burung malam gelisah mendengar derit pintu yang tak kunjung henti
Ini masih permulaan, kata perempuan bertubuh tambun itu
Sungguh ia adalah malaikat sekaligus iblis yang lahir di bumi
Pada sudut etalase, puluhan perempuan bernomor menunggu antrian.
Kami menjual barang.
Para pembeli mengantri, mengular,
sebagian dari mereka berdasi, sebagian lagi masih remaja
Air Susu ini menetes Nak,..
Sungguh payudaraku kencang pertanda kamu lapar
Malam tak urung selesai
Derit pintu terdengar lagi
Tiga lagi, lekas! Kata perempuan tambun itu
Besok pagi, ibu belikan kamu susu formula Nak…
Asi ini sudah basi, akan dihisap mulut dengan aroma bir
Perih, sakit, marah, hina!
Kita
Oleh: Rena Asyari
Awalnya kita hanya mengenal sebatas nama.
Menyapa dalam diam.
Berbicara sejarang munculnya pelangi.
Lalu masing-masing dari kita merasakan kecanduan.
Awalnya kita hanya berbicara tentang mereka.
Pekerjaan dan hal-hal sepele yang tidak penting.
Tertawa tanpa arti.
Memicing satu sama lain.
Tak berani saling memandang.
Apalagi mengucap mesra.
Lalu kita mulai berjabat tangan.
Berbicara lebih sering dan rutin.
Serutin mentari pagi terbit.
Kita tak lagi malu.
Saling memanggil nama dengan mesra.
Ada ‘aku’ dan ‘kamu’
Lalu kita mencicipi kopi di senja hari
Menanti dengan diam meluruhnya warna jingga
Kita menjadi gagu
Ketika teriakan anak kecil merusak suasana khidmat itu
Mama…
Ya.. dia ada melengkapimu
Kita telah menghabiskan rindu
Menikmati tiap jengkal kulit tanpa kain
Menelusuri lembah dan bukit
Menjalani tiap detik dengan praduga
Angin menerpa wajah kita perlahan
Kita terbangun dengan sadar
Tak ada lagi kecupan halus
Semua usai.
Kita bergegas
Menuju suatu tempat yang tak sama
Langkah-langkah kita menjadi pertanda
Ada cerita dibalik selimut
Tanpa pernah mereka tahu
Dan kita telah begitu hapal menerjemahkan rasa.