Oleh: Ikhsan Adi Raganatha
Suarakita.org – Saya seringkali menemui orang yang bingung dengan ‘orientasi seksual’ saya. Pasalnya, saya kerap mengaku sebagai gay, namun saya pernah berpacaran dengan seorang perempuan di kampus. Beberapa teman di kampus lalu bertanya ketika saya jadian dengan perempuan ini (pun pertanyaan ini masih kerap ditanyakan sampai sekarang!), “Jadi sebenernya lo itu gay, straight, apa biseks sih?”. Beberapa kali saya menjelaskan panjang lebar bahwa bagi saya ketertarikan itu berlapis-lapis. Kisah saya ini akan menceritakan penjelasan saya tersebut. Penjelasan ini akan dilakukan dengan menggunakan pemaparan pengalaman saya sebagai seorang laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada laki-laki, namun dapat memiliki ketertarikan romantis dan platonis (sehingga saya dapat menyukai dan menyayangi) tidak hanya pada laki-laki, namun juga pada perempuan.
Menyukai Laki-laki: Tubuh itu Indah
Pada kelas 2 SD, saya pernah memimpikan seorang tetangga. Ia seorang laki-laki yang telah berpacar. Kami tidak pernah berinteraksi intensif, hanya saling menyapa ketika ia masuk atau keluar rumah dan kami berpapasan. Ia muncul dalam mimpi saya sebagai seseorang yang sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang tak saya kenal (meski yang muncul dalam mimpi saya hanyalah saling tunjuk menunjuk alat kelamin dan memegang alat kelamin satu sama lain). Yang saya ingat setelahnya ialah bentuk tubuh tetangga saya ini dan hal-hal yang ia lakukan.
Pada kelas 4 SD, saya gemar mencium pipi laki-laki yang menurut saya menarik. Saat itu, saya belum tahu apa makna dari mencium. Saya gemar mencium laki-laki karena pernah melihat teman perempuan saya mencium seekor kucing yang ia anggap lucu. Laki-laki itu lucu, makanya dulu saya cium. Ternyata ia melapor. Setelah itu, wali kelas memanggil saya dan saya diceramahi panjang lebar soal kaum Nabi Lut. Selanjutnya, entah pada kelas berapa, saya mulai mengeksplorasi tubuh saya: memainkan penis, pun saya memainkan penis ketika sperma belum diproduksi. Lambat laun saya mulai membayangkan laki-laki karena permainan itu menjadi lebih menarik.
Ketika saya duduk di kelas 1 SMP, saya mulai berselancar di internet dan mencari gambar laki-laki tanpa busana dengan kata kunci ‘naked muscle man’ atau ‘handsome muscle man’. Pada kelas 3 SMP, saya gemar membeli dan menyimpan sejumlah majalah kesehatan untuk pria dewasa, alasannya karena cover majalah itu menarik: laki-laki berbadan atletis tanpa atasan. Ketika akhir SMA, saya baru mengetahui terma ‘homoseksual’ sebagai orientasi seksual, sebelumnya ketika SMP, yang saya tahu tentang homoseksual hanyalah orang-orang ini merupakan orang-orang yang berdosa dan akan dilaknat oleh Tuhan serta seluruh penghuni langit.
Ketika tahun pertama kuliah (bahkan sebelum perkuliahan dimulai), saya sempat dekat dengan seorang laki-laki yang berada di peer-group yang sama dengan saya. Waktu itu, saya dan dia sama-sama tidak mengetahui orientasi seksual satu sama lain. Ketika kami datang ke Gelar Jepang 2012, saya sempat membeli sebuah buku poster yang berisikan gambar-gambar laki-laki dengan tubuh yang berotot. Saat itulah saya coming out ke teman-teman di peer-group saya bahwa saya gay. Setelah Gelar Jepang tersebut, seorang teman di peer yang sama datang ke kosan saya, ia bercerita panjang lebar tentang orientasi seksualnya dan bully yang ia alami di SMA karena ia ‘berbeda’. Setelah itu kami makin dekat, bukan sebagai teman, namun sebagai dua orang yang saling menyukai. Kami sempat berpacaran dan beberapa kali melakukan hubungan seksual.
Ketika kuliah, tepatnya tahun 2013, saya mulai menjalin hubungan afeksi dan seksual dengan seorang laki-laki yang berada di fakultas sebelah. Awalnya karena kami bertemu setelah mengobrol di Twitter, namun ternyata kami cocok karena memiliki ketertarikan yang sama pada buku, sastra, kajian gender, dan sejumlah film. Selanjutnya, beberapa kali saya menjalin hubungan berbasis afeksi dan rasa sayang dengan laki-laki. Akan tetapi, selain berpacaran, saya juga memiliki sejumlah partner laki-laki untuk berhubungan seksual saja, tanpa perlu menumbuhkan rasa sayang.
Menyukai Perempuan: Saya juga Bisa Sayang!
Layaknya anak-anak pada umumnya, saya pernah mengalami ‘suka’ pada orang lain, termasuk pada perempuan. Ketika kelas 2 SD, saya mengalami cinta monyet pertama saya. Awalnya, seorang perempuan menghampiri saya di depan Lab Komputer dan menyodorkan sebuah surat cinta. Isinya hanya aku suka kamu dan yuk kita pacaran. Saya mengiyakan, awalnya karena dia manis dan baik. Cinta itu pupus ketika kami naik kelas dan tidak banyak berinteraksi lagi. Cerita-cerita semacam ini (dekat, berpacaran, dan putus ketika naik kelas) terjadi beberapa kali, setidaknya hingga saya duduk di kelas 3 SMP.
Ketika berada di kelas 3 SMP, saya sempat berpacaran dengan seorang perempuan dari SMP tetangga. Saya bertemu dengannya di satu tempat kursus untuk persiapan UN. Pada titik ini, saya benar-benar merasa bahwa saya ‘menyukai’ dia. Saya dan dia selalu mengontak satu sama lain tiap harinya dan saya merasa kehilangan ketika ia tidak ada. Akan tetapi, saya tidak memiliki ketertarikan sama sekali untuk melakukan kontak fisik, bahkan kami tidak pernah berpelukan. Hal terekstrem yang pernah kami lakukan ialah saling menggenggam tangan. Perasaan-perasaan suka seperti ini muncul beberapa kali dalam fase-fase kehidupan saya, saat lainnya ialah ketika saya duduk di kelas 2 SMA, yakni ketika saya menjalin hubungan saling menyayangi dengan seorang pelajar kelas 3 SMP yang saya temui di komunitas musik yang saya geluti.
Terakhir, saya sempat berpacaran dengan seorang perempuan di kampus, tepatnya seorang perempuan yang berada di jurusan dan angkatan yang sama dengan saya. Seperti dilantunkan Dewa 19, “..biar cinta datang karena telah terbiasa”, perasaan suka dan sayang ini muncul karena kami sering berinteraksi di kampus. Kami awalnya mengobrol tentang urusan kampus, dari obrolan soal bahan kuliah hingga himpunan di jurusan. Lama kelamaan kami makin dekat karena dia sering menginap di kosan saya, obrolan kami pun nyambung karena saat itu kami suka menonton film dengan genre yang sama dan mendengarkan musik dari grup musik yang sama. Setelah dua bulan dekat, kami jadian. Ketika proses pacaran ini berlangsung, saya merasa bahwa saya benar-benar sayang padanya. Yang menarik, kami pernah mencoba melakukan hubungan seksual yang melibatkan penetrasi, meski kami berdua sama-sama tahu bahwa saya tidak memiliki ketertarikan seksual pada perempuan. Hasilnya: gagal. Ereksi saya tidak bertahan lama karena saya tidak suka dengan bentuk tubuh perempuan dan ia juga sangat tidak menikmatinya. Kami berdua saling mengetahui bahwa baik saya dan dia membutuhkan hubungan seksual. Maka jadilah kami melakukan open relationship. Saya dapat berhubungan seksual dengan laki-laki dan dia dapat berhubungan seksual pula dengan laki-laki lain. Syaratnya ada dua kala itu: (1)Hubungan seks dengan orang lain ini tidak boleh dilakukan dengan perasaan sayang; dan (2)Kami harus saling memberitahu satu sama lain kapan saja hubungan seks dengan orang lain itu akan dilakukan dan harus saling bercerita tentang pengalaman masing-masing setelahnya. Terlepas dari bagaimana hubungan ini berakhir, saya dan dia sama-sama merasa bahwa kami tetap dapat menyayangi satu sama lain dan berada di hubungan berpacaran ini tanpa harus mempermasalahkan urusan seksual.
Refleksi: Rasa Suka itu Berlapis
Buat saya, kita sering menerima begitu saja istilah yang digunakan oleh banyak orang. Istilah ‘gay’, misalnya, digunakan untuk merujuk pada laki-laki yang tertarik pada laki-laki. Masalahnya, karena kita menerima istilah tersebut begitu saja, kita seringkali menjadi tidak kritis dan melihat lagi ‘ketertarikan’ ini. Pengalaman saya di atas, saya pikir, dapat menunjukkan bahwa ketertarikan bukanlah hal yang manunggal. Saya dapat tertarik secara seksual pada laki-laki karena saya menyukai bentuk tubuh laki-laki, saya suka dengan lengan laki-laki yang keras, saya suka dengan punggung dan bahu laki-laki yang besar, dan saya suka pada bentuk kaki yang kokoh. Akan tetapi, di sisi lain, saya dapat menyayangi siapapun karena rasa sayang, bagi saya, tidak mengenal gender. Rasa sayang tidak peduli apakah tubuh itu besar atau kecil, gemuk atau kurus, berdada bidang atau berpayudara. Dengan demikian, saya pikir saya tetap menjadi ‘gay’ yang tertarik secara seksual pada laki-laki, namun tetap menjadi ‘bi’ karena saya dapat menyayangi laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, kisah ini tidak saya tujukan hanya untuk sekadar bertutur dan berbagi pengalaman hidup, namun untuk mengajak pembaca agar berpikir lagi tentang ketertarikan dan rasa suka masing-masing. Oleh karena itu, bagi saya sah dan wajar saja jika kita dapat memiliki rasa suka yang berlapis karena ketertarikan itu tidak manunggal.