Oleh: Siti Rubaidah
Suarakita.org — Bulan Desember identik dengan perayaan Natal. Bagi pemeluk agama Kristen, Natal diperingati sebagai hari kelahiran Isa, sang raja perdamaian. Seperti yang telah dinyatakan dalam Injil Yesaya 9:6: “Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: . . . Raja Damai” Kegembiraan atas kelahiran si raja damai inilah yang menyemangati jiwa-jiwa pengikutnya dengan menebarkan kasih dan damai natal di muka bumi.
Akan tetapi, semangat menebar kasih dan damai natal kini seringkali berganti dengan perasaan was-was ketika umat kristiani merayakannya di gereja-gereja. Pihak gereja dan para pemuka agama sejak dini sebenarnya telah berkoordinasi bersama pihak kepolisian dan aparat lainnya untuk mengamankan peribadatan mereka. Namun ketakutan masih saja menghinggapi warga dan pihak gereja. Traumatisme muncul setelah serentetan pemboman yang terjadi pada malam natal beberapa tahun lalu – tepatnya, 24 Desember 2000, yang menelan korban jiwa 18 orang. Adapun lokasi pengeboman tersebar di wilayah Medan, Bandung, Ciamis dan Mataram.
Di sisi lain, rupanya masih banyak kasus penistaan agama yang terjadi, diantaranya adalah: tindakan pemerintah kota Bogor bersama aparat kepolisian yang memblokir jalan ke arah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin serta melarang umat melaksanakan ibadah pada Minggu, 13 Maret 2011; amuk massa atas tiga gereja di Temanggung Jawa Tengah menyusul persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Temanggung (8/2/2011); dan pembongkaran 9 gereja di Singkil Aceh karena dianggap tidak mempunyai ijin akhir-akhir ini.
Ironinya, tidak hanya warga Kristen yang merasa takut dan was-was beribadah karena dianggap sebagai warga negara kelas dua di Indonesia. Rasa takut itu, rupanya juga menghinggapi warga jemaah Ahmadiyah dan kelompok Syiah di Sampang Madura.
Pentingnya Menjunjung Tinggi Keberagaman
Munculnya aliran-aliran baru di dalam suatu agama, baik yang berbeda dalam hal prinsip maupun berbeda dalam detil-detil tertentu, telah terjadi sepanjang perkembangan agama itu sendiri. Sehingga dengan muncul dan berkembangnya aliran-aliran baru, seperti Ahmadiyah dan Syiah, akan terus ada di masa yang akan datang.
Kemunculan aliran-aliran baru tentu saja dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Perkembangan masyarakat dan problematika manusia mau tak mau membentuk sudut pandang baru dalam memahami suatu agama. Apalagi jika pemahaman dan cara pandang konvensional dipandang dan dirasa mandul dalam memberikan kepuasan batin, serta dinilai tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapi oleh masyarakat dan manusianya. Sehingga perlu disadari, bahwa perbedaan itu sebenarnya sangat wajar dan bersifat natural – dan tidak perlu disikapi dengan menggemparkan perbedaan.
Beragama adalah menjadikan suatu ajaran agama sebagai pedoman hidup berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah yang benar, karena bersumber dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan keberagamaan seseorang adalah hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan paling pribadi. Apakah seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara pribadi. Keberagamaan seseorang menjadi tidak bermakna sama sekali jika dilakukan tanpa keyakinan dan semata-mata ditentukan oleh faktor di luar diri sendiri. Islampun secara tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Oleh karena itu beragama adalah Hak Asasi Manusia, yang membawa konsekuensi bahwa siapapun harus menghormati, menghargai dan tidak melanggar hak orang lain dalam beragama dimana negara telah mengatur kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29 (1); negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jika dirunut lebih dalam lagi, fenomena disharmonisasi yang terlihat dalam kasus-kasus di atas sebenarnya juga dipicu oleh sekat-sekat primordial, yaitu keterikatan tradisi, adat istiadat, dan nilai-nilai budaya lokal. Bangsa ini masih terkungkung pada sekat-sekat dan terkotak-kotak satu sama lain. Salah satu sikap yang sejak awal diperingatkan Soekarno dalam pidatonya pada HUT Proklamasi 1948 menyatakan:
“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal . Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan. Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula.”
Persoalan moral dan etik merupakan kesadaran baik buruk yang dihayati oleh hati nurani sebagai kesadaran internal. Akan tetapi yang terjadi sekarang adalah upaya formalisasi hukum Islam dengan membakukan antara pesan moral dan dimensi hukum yang dipengaruhi logika hukum dengan memposisikan otoritas eksternal untuk menekan dan menegakkannya. Hal inilah yang seringkali menimbulkan polemik sosial dan sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung memproduksi kekerasan. Penerapan perda-perda di beberapa daerah terhadap masalah seksualitas, seperti pelacuran dan termasuk homoseksual merupakan sebagian contoh yang gamblang bagaimana hukum menindaki secara hitam-putih.
Manakala agama masuk ke dalam wilayah pelembagaan, maka ia akan mudah membuat kegoyahan tatanan sosial masyarakat yang majemuk. Sebab pandangan agama yang dimasukkan dan menjadi arus utama berkiblat pada pandangan yang tidak memihak pada kemanusiaan dan berpotensi menimbulkan perpecahan, sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung menciptakan konflik horizontal. Alih-alih memberangus segala bentuk penyakit sosial, namun hal ini justru semakin merendahkan Islam di mata masyarakat dan dunia. Karena cita-cita menjadi rahmat bagi semua alam tidak terwujud.