Oleh: Yulianti Muthmainnah*
Suarakita.org- Pada tahun 1994, saya menamatkan sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) Labuhan Ratu, Tanjung Karang, Lampung. Setidaknya hingga kini, ada tiga kenangan saya akan SDM itu. Pertama, pelajaran fiqh ibadah, utamanya bab shalat. Saat di SDM doa qunut tidak dipakai ketika shalat subuh. Oleh guru agama, kami diberitahu bahwa Muhammadiyah tidak memakai qunut ketika shalat subuh dengan alasan untuk menyegerakan mencari ma’isyah atau penghidupan. Itu sebabnya pula selepas shalat subuh tidak ada shalat sunnah ba’diyah.
Kedua, tanpa harus menyalahkan pemahaman fiqh orang lain, guru di SDM senantiasa mengingatkan agar setiap hari jum’at, murid laki-laki dan perempuan diharapkan menjaga kebersihan diri (thaharah) termasuk memotong kuku dan mencuci rambut serta tidak bermain kotor untuk menjaga pakaian tetap bersih dan suci sebagai persiapan shalat jum’at. Termasuk tidak ada larangan bagi anak perempuan memotong kuku atau mencukur rambut ketika sedang haid. Tanpa harus mengumpulkannya dan mengikutsertakan ketika mandi junub.
Dan terakhir ketiga, setiap hari sabtu pada akhir jam sekolah, kami selalu diingatkan agar tidak mengajak bermain teman-teman yang non muslim di minggu pagi tetapi menunggu mereka sampai selesai ibadah di gereja. Kami diajari pentingnya bertoleransi dengan pemeluk agama yang berbeda dengan cara-cara yang sederhana.
Muhammadiyah Hari Ini
Pengalaman ber-Muhammadiyah yang dulu saya dapatkan ketika SD pada tahun 1990-an tersebut terasa terkikis pada saat kini. Menurut hemat saya, Muhammadiyah pada saat ini telah kehilangan semangat pembaharuan dan toleransinya. Padahal, Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan adalah sebagai gerakan pembaharuan Islam yang menjunjung semangat toleransi.
Apa contohnya? Saya pernah menghadiri pertemuan Muballighat se-DKI Jakarta yang diinisiasi oleh salah satu organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yakni Aisyiyah. Salah satu bahasan dalam pertemuan tersebut adalah isu perempuan. Oleh panitia, saya sempat ditegur karena dinilai tidak mencerminkan pakaian muslimah yang Islami lantaran jilbab yang saya kenakan tidak saya ulurkan melewati dada tetapi saya ikat di belakang leher.
Salah satu narasumber yang hadir juga masih menganggap kekalahan umat Islam ketika UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) disahkan DPR. Menurut sang ibu narasumber tersebut, UU PKDRT justru keluar dari semangat Islam. Sebab, Islam menekankan pentingnya menjaga aib keluarga supaya tidak diketahui orang lain serta menjaga sikap hormat dan taat pada suami. Sementara UU PKDRT dianggap akan membuka aib keluarga dan menjadikan perempuan berani dengan suami.
Saat mendapat kesempatan bicara di forum, saya mencoba mengingatkan kembali tentang gagasan awal pendirian Muhammadiyah, termasuk pada masa itu para perempuannya tidak memakai jilbab layaknya saat ini, cukup selendang dengan rambut yang masih terlihat dan kebaya yang juga tidak tertutup rapat. Apakah ini juga tidak islami? Saya juga memberikan tanggapan tentang keteladanan Nabi Muhammad yang tidak pernah memukul isteri juga khadim (pekerja rumah tangganya), jadi bagaimana mungkin UU PKDRT bertentangan dengan Islam. Namun, tanggapan saya diabaikan.
Padahal bila menengok sejarah Aisyiyah, maka ia tercatat sebagai organisasi keagamaan perempuan yang sangat progresif pada masa itu. Selain menjadi tempat bagi perempuan belajar ilmu-ilmu agama dan pendidikan, Aisyiyah juga tercatat sebagai salah satu peserta Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 yang membahas tentang penolakan terhadap isu perdagangan orang, upah buruh, hak-hak perempuan di bidang politik, perkawinan, serta hak pendidikan bagi perempuan. Bahkan, dalam buku yang berjudul Adabul Mar’ah waktu itu, Aisyiyah sudah membolehkan perempuan sebagai pemimpin.
Kemunduran Muhammadiyah juga tercermin di tingkat nasional, Muhammadiyah termasuk kelompok yang mendukung usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun tidak perlu berubah atau dinaikkan pada saat Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan menghindari perzinahan. Bagi saya, dukungan Muhammadiyah ini adalah sebuah kemunduran dan sama sekali tidak mencitrakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan.
Usia 16 tahun bagi perempuan tentulah alat-alat reproduksi biologisnya belum cukup siap dan matang untuk menerima janin, meskipun ia telah mengalami menstruasi (haid). Kalaupun biologisnya sudah siap, di usia tersebut, kemungkinan besar kesiapan emosional, kecakapan finansial belum memadai. Inilah mengapa dalam al-Qu’an juga disyaratkan adanya ba’ah bagi orang yang hendak menikah. Secara bahasa, ba’ah artinya adalah lingkungan. Maksudnya adalah bagi yang ingin menikah disyaratkan mampu menciptakan lingkungan yang akan menjadi fondasi dan dasar bagi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Jadi, dalam Islam, menikah tidak hanya menyangkut persyaratan kemampuan, kematang fisik dan biologis semata. Lebih dari itu, justru kesiapan fisik, mental, intelektual, ekonomi dan sebagainya. Sebab, bila hanya menekankan kematangan biologis saja dan menghiraukan kematangan aspek lainnya, tentulah cita-cita sebuah pernikahan sulit untuk digapai.
Maka bila saat kecil, saya mengenal Muhammadiyah toleran tidak menghakimi golongan lain. Tapi mengapa akhir-akhir ini, sikap Aisyiyah dan Muhammadiyah di atas menunjukkan pergeseran nilai-nilai Muhammadiyah yang cukup signifikan.
Lantas, apakah Muhammadiyah tidak pernah mengeluarkan fatwa progresif? Pernah. Misalnya saja putusan Majelis Tarjih XXII di Malang tahun 1989 yang membolehkan aborsi dalam keadaan darurat; perceraian di luar sidang pengadilan tidak sah sehingga ikrar talak harus dihadapan hakim pengadilan tahun 2007; pelarangan nikah sirri dan kewajiban mencatatkan pernikahan untuk kemaslahan rumah tangga dan menjaga hak-hak isteri dan anak tahun 2007; serta sunat perempuan tidak dianjurkan karena mengurangi hak-hak reproduksi perempuan pada Munas Tarjih Muhammadiyah ke-27 tahun 2010 adalah contoh-contoh bahwa sikap Muhammadiyah yang progresif dan menjawab isu-isu kekinian.
Maka tantangan dan peluang yang justru harus dijawab Muhammadiyah adalah menjawab dan memberikan solusi pada isu-isu kontemporer misalnya saja pada isu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual (LGBT). Kehadiran kelompok LGBT ditengah-tengah kita adalah sebuah keniscayaan. Mereka sering kali, atas nama agama dan moral, mendapatkan berbagai diskriminasi dan kekerasan. Untuk itulah, mereka membutuhkan rangkulan para agamawan baik dari internal organisasi maupun eksternal bukan pengucilan. Muhammadiyah sejatinya harus menjadi tenda kultural bagi semua pihak. Muhammadiyah selayaknya bisa menjadi tempat yang nyaman bagi kelompok manapun untuk belajar agama dan berorganisasi.
Nampaknya, Muhammadiyah, Aisyiyah, dan mungkin juga Ortom lainnya harus belajar dari guru di SDM yang benar-benar menerapkan dakwah kultural, menjadikan Muhammadiyah sebagai tenda yang nyaman buat siapapun sebagaimana cita-cita ia dilahirkan. Jika tidak, maka harapan sebagian besar tokoh dan pejabat negeri ini yang hadir dalam silaturahim dan buka puasa 5 Juli 2015 bahwa Muhammadiyah harus memastikan identitas dirinya menjadi gerakan modernis, pembaharu, pembebasan dan anti kejumudan tidak akan tercapai. Maka, saya berdoa dan berharap agar Muktamar yang telah dilaksanakan pada 3-7 Agustus lalu dan telah menghasilkan 13 pimpinan, kelak, dapat menghasilkan putusan-putusan yang progresif dan jauh dari sifat jumud.
Apalagi Siti Noordjannah Djohantini sebagai Ketua Aisyiyah adalah isteri dari Haedar Nashir sebagai Ketua Muhammadiyah. Harapannya, suami isteri ini dapat memimpin dengan hati, tidak serta merta menghukumi orang lain dengan kafir, sesat. Merangkul semua golongan dan kelompok, termasuk LGBT. Amin.
*Penulis adalah Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah.