Suarakita.org – Dalam presentasinya di Koentjaraningrat Memorial Lectures XII/2015 (15/10), pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum memaparkan bahwa di dalam tubuh manusia tersimpan kekuasaan negara. Menurutnya hal ini merupakan teknologi kekuasaan baru yang muncul dalam pelbagai level dan skala, serta situs-lokus tertentu, dengan memakai tubuh sebagai instrumen kekuasaan. Peradaban berarti disiplin, dan disiplin pada gilirannya menyatakan control atas inner drives – karena control yang efektif mesti berakar dari dalam. Atas nama peradaban pula, negara mendisplinkan tubuh-tubuh manusia. “Tubuh dilihat, secara lebih parah, sebagai tak hanya instrumen kekuasaan tetapi bahkan mekanisme disiplin sebuah Negara, misalnya: rasio kelahiran-kematian, rasio kesuburan, reproduksi dan populasi, dan lain-lain—yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para feminis kontemporer sebagai politisasi kesehatan reproduksi perempuan untuk tujuan-tujuan demografis tertentu sebuah negara,” ungkapnya.
Senada dengan paparan di atas, konsep pengibuan pada konteks Indonesia dalam kacamata Dewi masih bertumpu pada narasi agung yang disematkan dalam berbagai kebijakan dan politik identitas – dimana ibu adalah perempuan, ibu adalah pencari nafkah ‘tambahan’ keluarga, ibu adalah seorang istri dan ibu adalah objek. Tentu saja hal ini sangat tidak kompatibel dengan unit keluarga dengan keluarga tunggal (single-mom & single-dad) atau keluarga LGBT. Konsep ibu oleh negara telah direduksi habis dan cenderung meliyankan peranan ibu dalam konteks yang lebih kompleks . “Kami di Solo menangani kasus pedofilia terduga raja Solo, pada bulan Desember 2014 korban melahirkan bayinya di usia yang sangat remaja, 16 tahun. Sebagai remaja yang masih berusia belia, tentu ia belum paham bagaimana menjadi ibu. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak menyusui dan mengasuh anaknya yang masih bayi. Kemudian, siapa yang mengasuh terduga bayi raja Solo ini? Kakak si korban yang seorang waria, ia mengasuh anak tersebut dengan kasih sayang hingga saya menitikkan air mata: betapa indahnya seorang waria yang mengasuh anaknya. Nah ini kan tidak kompatibel dengan narasi agung ibu di negara ini. Ternyata seorang waria juga bisa menjadi ibu,” tuturnya terharu.
Menurut Dewi, disadari atau tidak disadari, sebetulnya setiap dari kita telah berperan sebagai seorang ibu, dimana proses pengibuan tidak hanya bersifat horizontal (lintas gender) tetapi juga vertikal (lintas generasi). Sebagai sebuah definisi, ibu secara etimologis telah mengalami pembajakan besar-besaran. “Manusia lupa atas sumber. Manusia lupa atas kecacatan. Alpa atas ketakidealan. Dan bahwasanya karya perempuan adalah anak terindah yang terlahir dari rahim-rahim peradaban. Tak hanya dimiliki makhluk berkelamin perempuan, tetapi juga laki-laki,” tutupnya. (Wida Puspitosari)