Search
Close this search box.

[Kisah] Mami Yuli: Melawan Diskriminasi dengan Pendidikan

Oleh: Siti Rubaidah*

Suarakita.org – Rasa penasaran tentang sepak terjang seorang aktivis transgender yang pernah mendaftar dan mencalonkan diri sebagai komisioner Komnas HAM periode 2007-2012 membawaku berkenalan dengan Mami Yuli. Demikian orang menyebutnya, karena mempunyai nama lengkap  Yulianus “Mami Yuli” Rettoblaut.

“Halo Mami Yuli, perkenalkan saya Ida dari Suara Kita. Jika berkenan, saya  ingin bincang-bincang dengan Mami Yuli.” Sapaku lewat WhatsApp.

Setelah menunggu beberapa detik dan belum juga ada tanggapan,  akupun memberanikan diri untuk menelpon. ” Halo, siapa ini?” Sapa Mami Yuli lewat pesawat telepon.

“Mbak mau wawancara kapan? Besuk saya ada kuliah, saya ambil Program S3 di Kampus Jayabaya.  Kebetulan besuk ada wawancara juga dengan teman jurnalis dari Italia. Jadi kalau mbak mau, sekalian saja wawancaranya.” Tutur Mami Yuli

Oh my God, Mami Yuli kuliah di Kampus Jayabaya ? Mengambil Program Pasca  Sarjana  Doktor Ilmu Hukum, atau Program S3 pula??! Batinku hampir tak percaya. OMG….!!!

Setelah menelpon, ada sedikit keraguan dalam hati. Berangkat tidak ya? Jadi wawancara tidak ya? Aku belum paham peta Jakarta soalnya. Di mana itu Kampus Jayabaya? Akupun berusaha melawan keraguan hati. Walhasil, rasa penasaran dan ingin tahu yang begitu kuat membawa langkahku menemui Mami Yuli.

Hari Sabtu sebenarnya jalanan di kota Jakarta cukup lengang, berbeda dengan hari-hari kerja, dimana kata macet sudah tak asing di telinga penduduk metropolis ini. Perjalananku yang berkendara motor ke Kampus Jayabaya cukup lancar. Tapi karena tidak paham jalan dan peta, maka nyasarlah aku agak jauh menyusuri fly over yang panjang. “Mana nih belokan ke arah kampus Jayabaya? “ mulutku komat-kamit sambil mata terus jelalatan melihat jalan.

Niat hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Niat hati menepati janji ketemu jam 10 thet, apa daya harus nyasar untuk sampai ke tujuan. Jam sudah menunjukkan pukul 10.11 WIB ketika kudapati SMS dari Mami Yuli yang menginformasikan agar saya bicara dengan Pak Faruk, Sekretaris S3 untuk bisa masuk perkuliahan bersama Elisabat teman dari Italia.

Dengan tergopoh-gopoh aku masuk lift dan memencet tombol 7 agar bisa bertemu. Sejurus kemudian aku melihat ‘si bule’ Elisabet  yang sedang berbicara dengan seorang bapak-bapak. Menurut feelingku dia pasti bernama pak Faruk, orang yang disebutkan Mami Yuli lewat SMS. Setelah berkenalan dan berbincang sebentar, kami dipersilakan masuk ruang perkuliahan Mami Yuli.

Hampir 2 jam kami menunggu proses perkuliahan. Pada kesempatan menunggu, kami pergunakan untuk mengambil gambar dan mendokumentasikan moment Mami Yuli mengikuti sesi perkuliahan. Seorang dosen memandu perkuliahan dan beberapa mahasiswa, termasuk Mami Yuli cukup aktif bertanya dan berdialog dalam perkuliahan. Demikian gambaran yang aku tangkap sebelum akhirnya aku mempunyai kesempatan berbincang-bincang dengan Mami Yuli.

Bak wartawati ulung, pertanyaanpun mulai kulontarkan: “ Apa motivasi Mami Yuli mencalonkan diri sebagai anggota Komnas HAM periode 2007-2012  dan bagaimana prosesnya?

Sejurus kemudian, jawaban demi jawaban Mami Yulipun meluncur dengan sangat lancar.

“Saat itu saya yang berlatar belakang  PSK di pinggir jalan seringkali melihat dan mendengar adanya tindakan brutal yang diterima oleh PSK, bahkan ada yang sampai ditembak mati dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Selama hidup dijalanan sebagai PSK banyak sekali kekerasan yang dialami oleh waria atau transgender. Saya bertanya dalam hati, terus kita harus kemana untuk mendapat keadilan dan pembelaan?

Kebetulan saya membaca sebuah pemberitaan di koran Kompas tentang informasi pendaftaran anggota Komnas HAM, di mana salah satu tugasnya adalah memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Saya kira ini cocok. Terlintas di benakku apakah ini jawaban dari pertanyaan selama ini? Akhirnya saya mendaftar sebagai calon anggota Komnas HAM.

Memang banyak juga orang yang kaget, bagaimana seorang waria bisa masuk dan lolos dalam seleksi? Beruntung saya bisa masuk sampai tahap seleksi di tingkat DPR RI. Memang akhirnya saya tidak lolos sebagai anggota Komnas HAM. Bagiku hal tersebut bukanlah kegagalan, tetapi hanya sukses yang tertunda. Karena secara pribadi saat itu saya belum memahami masalah hukum dan HAM di Indonesia secara menyeluruh. Kedua penerimaan masyarakat terhadap kaum LGBT masih sangat negatif. Ketiga pendidikanku saat itu hanya lulusan SMA. Dengan adanya beberapa kendala tersebut saya menyimpulkan bahwa perjuanganku tidak dapat dikatakan gagal, tetapi hanya sukses yang tertunda.

Saya mendaftar pada tahun 2007 sebagai calon anggota Komnas HAM periode 2007-2012. Menurut saya, dari sinilah masyarakat luas mulai mengetahui adanya perjuangan LGBT dan masalah LGBT juga mulai terangkat kepada publik. Kami sebagai LGBT, lebih khusus lagi seorang waria dengan pencalonan saya sebagai anggota Komnas HAM saat itu membuka mata publik terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi Waria atau LGBT sebagai kelompok minoritas dan termarginal.

Masalahnya kaum LGBT sendiri belum ada yang coming out dan keluar membawa suara kaum LGBT atau khususnya suara waria. Sehingga sangat wajar kalau masyarakat belum tahu dan tak mau tahu masalah LGBT dan waria. Tetapi dengan perjuangan saya masuk ke Komnas HAM saat itu, setidaknya masyarakat mulai mendengar keberadaan kaum LGBT. Nasib para waria  yang berada di jalan dan terpinggirkan sama dengan nasib kaum marginal lainnya, sehingga perlu adanya keberpihakan terhadap nasib mereka.

Selama ini kami tidak mempunyai perwakilan yang memperjuangkan nasib kami sebagai warga negara, yang semestinya ini menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia. Sehingga salah satu motivasi besar saya untuk mendaftar dan mencalonkan diri sebagai anggota Komnas HAM adalah bagaimana negara atau pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab bagi penyelesaian masalah-masalah LGBT  atau Waria. Ke depan, saya mengharap bahwa isu HAM benar-benar  bisa ditegakkan. Ini sangat penting.

Diskriminasi saya kira masih ada, karena dari proses seleksi di DPR RI yang mendukung pencalonan saya (yang transgender atau waria) hanya dari PDI Perjuangan saja, sementara  partai politik lainnya tidak atau kurang memberi perhatian. Diskriminasi yang lain nampak dari proses perwakilan itu sendiri, seharusnya perwakilan dari kelompok masyarakat LGBT itu ada orangnya, tetapi selama ini tempat itu kosong dan kami hanya mewakilkannya kepada kelompok masyarakat yang lain. Jika pemerintah tegas dan berkomitmen terhadap nasib kaum LGBT seharusnya kami diberi perwakilan yang akan membawa masalah dan hak-hak kaum LGBT. Jadi menurut saya, diskriminasi dalam proses seleksi anggota Komnas HAM saat itu masih ada tetapi paling tidak dengan perjuangan ini suara kaum LGBT mulai didengar.

Sebagai kaum LGBT, selama ini kami masih merasa bahwa hak-hak kami sebagai warga negara belum terpenuhi. Misalnya hak untuk bekerja, kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi kami juga dibatasi. Padahal kalau kita melihat di UUD 1945 pasal 27 pasal 2  menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Demikian pula dalam Falsafah Negara kita Pancasila sila 2 berbunyi; Kemanusiaan yang adil dan beradab serta pasal 5 berbunyi; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  

Jika menilik Pancasila dan UUD 1945 seharusnya hak-hak kami sebagai warga negara harus dilindungi dan dipenuhi. Tetapi faktanya selama ini keberadaan kami masih terkungkung, tidak bisa bebas berekspresi dan mendapatkan hak bekerja sebagaimana layaknya masyarakat yang lainnya. Hak-hak asasi kaum LGBT yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) inilah yang harus dilindungi dan ditegakkan oleh pemerintah Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, selama ini pandangan masyarakat kita terhadap LGBT juga masih sangat buruk, di mana seorang ibu yang mempunyai anak seorang LGBT saat ini bisa jadi sangat malu dan tidak memperlakukannya dengan wajar. Sehingga akhirnya anak tersebut harus lari ke jalan dan menjadi PSK dijalanan dan melacur. Dari sinilah Waria atau kaum LGBT sering dilecehkan dan direndahkan sebagai manusia yang tak berpendidikan dan tak bermartabat. Seharusnya pemerintah memberi perhatian agar orang-orang seperti ini didorong untuk bisa sekolah.

Tentang pendidikanku yang sampai S3 ini, saya ingin memberi wacana kepada masyarakat bahwa kita harus berjuang secara intelek, artinya kaum LGBT juga harus bermartabat karena mempunyai pendidikan yang memadai. Saya ingin memotifasi teman-teman LGBT lainnya, bahwa kita akan terhormat dan dipandang dalam pergaulan masyarakat umum jika kita berpendidikan yang layak.

Kami kaum LGBT memang melihat perlunya background pendidikan yang cukup ketika ingin memperjuangkan nasib kaum LGBT, sementara kondisi saya yang berasal dari PSK jalanan secara ekonomi jelas tak mampu apabila membiayai sendiri. Di Indonesia ini banyak kelompok-kelompok yang tertindas dan termarginal yang tidak berpendidikan. Kalaupun mereka mau tapi mereka pasti tak mampu dalam hal biayanya.  

Dari sinilah timbul solidaritas dari beberapa kalangan aktivis untuk membantu dan mencarikan pemecahannya. Dan ternyata ada bantuan yang diberikan oleh beberapa lembaga yang mau mempromosikan pendidikan orang-orang seperti ini. Itulah mengapa Elisabet (Jurnalis Italia) ada di sini melihat dari dekat aktivitas perkuliahan saya karena ingin mempromosikan dan membantu mengajukan beasiswa bagi saya.”

Demikianlah, perbincangan dengan Mami Yuli yang bagiku sangat bermakna. Ada pembelajaran penting yang aku catat.

Pertama, sebuah perjuangan membutuhkan sebuah terobosan. Kondisi ketidakberdayaan karena hanya seorang waria dan PSK di jalanan tidak menyurutkan semangat Mami Yuli dan orang-orang tangguh lainnya berhenti memperjuangkan keyakinannya. Mami Yuli mencari terobosan atas kebuntuannya selama ini dengan mencalonkan diri sebagai anggota Komnas HAM. Lewat Komnas HAM Mami Yuli berharap agar kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum waria, transgender dan kaum LGBT bisa dikikis dan agar Hak Asasi Manusia benar-benar ditegakkan di bumi Indonesia.

Kedua, Mami Yuli menekankan bahwa negara dalam hal ini pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab dalam pemenuhan hak-hak kaum LGBT sebagai warga negara seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, kebebasan berkumpul atau berserikat dan kebebasan berekspresi.

Ketiga, Mami Yuli menekankan tentang pentingnya pendidikan bagi kaum LGBT atau bagi kelompok masyarakat minoritas lainnya. Karena dengan pendidikan yang memadai maka martabat dan derajat kemanusiaan seseorang juga terangkat. Sebagaimana RA. Kartini, Mami Yuli menganggap bahwa pendidikan merupakan senjata untuk melawan kekerasan dan diskriminasi. Demikian pula dengan pendidikan kaum LGBT, kelompok minoritas dan marginal lainnya melawan kebodohan, ketertindasan dan kemiskinan.

Kiranya itulah pembelajaran yang bisa kita petik dari kisah Yulianus “Mami Yuli” Rettoblaut.

 

 

*Penulis adalah seorang pengamat masalah sosial dan kontributor Suara Kita