Search
Close this search box.

[Kisah] Aku Seorang Asexual

 

Oleh: Yuni A.

Suarakita.org – Namaku Yuni. Tahun ini aku menginjak umur 31. Banyak yang bilang bahwa di umur ini aku ‘sepantasnya’ sudah menikah dan memiliki berapa orang anak. Tapi jangankan menikah dan memiliki anak, keinginan untuk memiliki pasangan atau tertarik secara ‘lebih’ pada seseorang saja tidak pernah. Aneh, kah? Sebelumnya aku juga sempat berfikir seperti itu tapi sekarang aku sudah menemukan nama untuk menyebut apa yang aku rasakan ini. Aku adalah seorang Asexual.

Sejak kecil aku tumbuh seperti seorang gadis pada umumnya. Saat kelas 5 SD teman-teman perempuan sekampungku sudah mulai ‘mengenal’ anak laki-laki. Karena sebagian besar dari mereka lebih tua 1-2 tahun dan aku juga bisa membedakan mana laki-laki yang tampan dan mana yang biasa saja jadi aku kira itu adalah hal yang lumrah. Saat banyak dari mereka bercerita tentang siapa yang mereka taksir, aku pun ikut-ikutan bilang bahwa aku juga punya. Padahal aku hanya menganggap laki-laki itu sedap dipandang, dan aku pikir itu sama seperti yang dirasakan teman-temanku.

Saat libur kenaikan kelas 2 SMP ada laki-laki yang menyatakan cinta padaku. Bisa dibilang dia pemuda yang sangat menarik di kampung. Sebelum dia ‘nembak’ aku, dia baru putus dengan teman sekaligus tetanggaku. Dulu aku sering menyebutnya “piala bergilir” karena sepertinya semua gadis di kampung sudah pernah dipacarinya.

Aku pun menerima dia karena aku anggap dia cukup menyenangkan. Tapi aku memintanya untuk merahasiakan hubungan kami. Selama dua tahun kami berhubungan, aku sama sekali tidak merasakan apapun untuknya. Aku tidak perduli kalau kami jarang bertemu, atau saat aku mendengar cerita perselingkuhannya, dan yang pasti dia tidak membuatku merasakan apa-apa saat kami berdekatan. Detak jantungku tetap biasa, tidak ada perasaan aneh di dalam perutku seperti yang tertulis di cerita-cerita pendek majalah remaja bekas yang sering aku beli. Sampai akhirnya aku memutuskan hubungan kami saat aku akan pindah ke Bekasi.

Masa-masa SMA yang katanya paling berkesan juga berlalu cepat. Agar punya bahan obrolan aku pun bilang bahwa aku naksir dengan laki-laki kelas sebelah. Seperti sebelumnya, aku tidak ada rasa apapun pada laki-laki itu. Yang pasti dia sedap dipandang, sama seperti pemandangan indah yang membuat kita senang melihatnya.

Setelah SMA tidak banyak yang berubah. Tapi aku sempat berfikir, apa mungkin aku ini seorang Pansexual (orang yang tidak perduli jenis kelamin pasangannya yang penting hati/cintanya). Tapi aku juga tidak pernah merasakan yang lebih saat melihat perempuan cantik selain gumaman “wah cantiknya…”.

Di awal tahun 2015 ini baru aku menemukan label dengan definisi yang terdekat dari apa yang aku rasakan. Asexual, saat dimana seseorang tidak merasakan ketertarikan secara seksual terhadap SIAPAPUN. Bukan hanya pria dan wanita saja, karena gender manusia tidak hanya ada dua.

Sedangkan ketertarikan seksual itu sendiri ada yang bilang adalah timbulnya keinginan untuk melakukan hal-hal yang bersifat seksual yang disebabkan atau ditujukan pada orang/gender tertentu tanpa orang tersebut melakukan sesuatu yang bersifat seksual.

Jangankan buatku yang tidak pernah merasakannya, aku yakin tidak banyak dari non-Asexual yang bisa dengan jelas mendeskripsikan seperti apa rasanya tertarik secara seksual terhadap seseorang atau suatu gender tertentu. Hal itu seperti sudah terprogram di diri mereka. Bagaimana yang heteroseksual hanya tertarik secara seksual terhadap yang berlainan jenis kelamin, ataupun yang gay/lesbian terhadap sesamanya.

Selain banyak yang belum tau, banyak juga dari mereka yang sudah tau tentang Asexual tapi memilih untuk tidak mempercayai, atau tidak menerima Aseksualitas sebagai orientasi seksual yang ‘resmi’ seperti halnya heteroseksual dan homoseksual. Beberapa kelompok LGBTIQ yang menganggap Asexual (terutama yang heteromantic Asexual) tidak berhak menjadi bagian dari komunitas mereka. Atau para Aces (sebutan untuk seorang Asexual) hanya ingin merasa spesial atau berbeda dari yang lain. Padahal mereka bisa menerima bahwa para heteroseksual tidak tertarik secara seksual pada gender yang sama dan sebaliknya bagi kelompok homoseksual tapi kenapa susah sekali menerima kalau ada sebagian kecil dari 7 milyar penduduk di dunia yang tidak tertarik secara seksual pada siapapun?

Ada juga yang bisa menerima Asexual tapi masih percaya pada stereotip yang salah tentang Asexual. Ada yang menganggap Asexual itu sama seperti orang celibate yang MEMILIH untuk tidak melakukan hal-hal seksual. Atau bahwa semua Aces tidak mau menikah, berhubungan seksual, ataupun memiliki anak. Bahwa Aces itu beruntung tidak perlu menghabiskan waktu atau perasaan mereka dengan berpacaran.

Walaupun banyak Aces yang tidak-suka/peduli/takut/jijik untuk berhubungan seksual, banyak juga dari mereka yang mau atau bahkan suka melakukan hal tersebut. Sebabnya pun beragam. Dari yang ingin mempererat hubungan atau membahagiakan pasangan, untuk memuaskan libido (gairah seksual) yang tinggi dan semacamnya.

Seksualitas itu hanya berhubungan dengan ketertarikan secara seksual, bukan apa yang kita lakukan secara seksual. Seperti seorang bisexual yang tidak akan berubah menjadi heteroseksual atau homoseksual mengikuti gender pasangannya saat itu. Dan kita tidak perlu tau atau paham dengan label yang digunakan seseorang untuk bisa menerima dan menghormati keputusan orang tersebut.

Tanggal 19 sampai 25 Oktober lalu adalah Asexual Awareness Week atau satu minggu yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang Aseksualitas. Memang belum banyak situs atau blog yang membahas tentang Asexual dalam bahasa Indonesia, tapi situs dan blog dari luar negeri juga menggunakan bahasa Inggris yang cukup mudah dipahami seperti www.TheAsexualityBlog.com/resources-and-articles.html. Tidak banyak yang diinginkan para Aces selain penerimaan masyarakat dan meningkatnya kesadaran dan pengetahuan tentang Asexual sehingga tidak ada lagi orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak utuh, cacat atau rusak karena tidak bisa merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang di sekitar mereka.

Saat ini kedua orangtuaku cukup bisa ‘mengerti’ bahwa aku ‘belum’ ingin menikah dan tidak tertarik pada siapapun. Walaupun kadang Ibu masih menyindir aku tentang kapan akan memberi beliau cucu. Mungkin bila suatu waktu nanti ada laki-laki yang bisa benar-benar mau dan bisa menerima ‘kondisi’ku (yang Asexual plusvsex-indifferent) aku akan mempertimbangkan lagi keputusanku untuk tidak menikah.