Suarakita.org – Menulis merupakan tindakan politik kecil yang syarat akan nilai-nilai keseharian dan berdaya guna menghidupkan kembali fungsi-fungsi kemanusiaan kita. Apa yang ditangkap oleh indera penglihatan adalah potret yang tak jarang pula menunjukkan pada kita sebuah pertarungan yang serius antara fakta dan fiksi. Hal inilah yang justru menggelitik seorang pejuang Hak Asasi Manusia, feminis, peneliti, pegiat kajian seksualitas dan profesor dari Universitas Amsterdam, Saskia Wieringa untuk menulis novel terbarunya The Crocodile Hole.
Kamis, 27 Oktober 2015 bertempat di sebuah bistro di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, novel ini diluncurkan sebagai media refleksi sekaligus advokasi bagi korban genosida 1965 di Indonesia. The Crocodile Hole mengisahkan seorang peneliti dan feminis (red: Tommy) yang datang ke Indonesia pada tahun 1970 akhir untuk melakukan riset mengenai kegiatan-kegiatan kewanitaan di negeri ini.
Sebagai seorang feminis dan akademisi, data yang kemudian didapatkan oleh Tommy begitu mencengangkan. Tommy mendapati dirinya terkejut. Kegiatan kewanitaan di Indonesia pada masa itu baginya tidak memberi ruang bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Perempuan justru didomestikasi melalui organisasi-organisasi pendamping seperti halnya PKK, Bhayangkari dan lain-lain. Dari sini, Tommy tergerak untuk meneliti lebih lanjut tentang kekuasaan apa yang beroperasi dibalik pendomestikasian perempuan.
Berawal dari pemberangusan organisasi Gerwani sebagai platform gerakan perempuan progresif se-Asia Tenggara pada insiden 1965, peran perempuan seolah didegradasikan sama sekali. Gerwani pada saat itu dituduh mengirimkan kader-kader mudanya (usia 13-18 tahun) untuk melakukan tarian telanjang harum bunga, memotong penis dan mencongkel mata tujuh jenderal yang kemudian mayatnya dibuang di Lubang Buaya, padahal hasil visum pada tujuh jenderal tersebut mengatakan bahwa tidak ada luka penyiksaan sama sekali. Drama fiksional ini kemudian dipropaganda oleh Orde Baru sebagai fakta yang memberinya legalitas untuk melakukan pembumihangusan organisasi-organisasi yang diduga sebagai underbow Partai Komunis Indonesia termasuk Gerwani, sekalipun harus mengangkangi konsensus PBB terkait Hak Asasi Manusia. Banyak anggota Gerwani yang kala itu disiksa, hingga akhirnya menderita dan terluka.
Perjalanan riset Tommy tidak hanya mendorngnya pada pengungkapan kebohongan yang tak manusiawi itu. Proses penelitian membawanya pula pada cinta yang ia temukan pada pasangannya yang sesama jenis. Dengan membaca novel ini, menurut Gadis Arivia, dapat memberikan kita pengetahuan seksualitas yang begitu kompleks. Seksualitas, yang tidak hanya berhenti pada identitas politis, namun juga mampu membawa kita pada babakan sejarah yang patut untuk diklarifikasi sebagai alat untuk mengembalikan martabat kemanusiaan para korban, sekaligus perdamaian. Hal ini sangat penting untuk dijadikan renungan bersama, karena menurut Saskia, bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menciptakan perdamaian diatas kebohongan-kebohongan? (Wida Puspitosari)