Search
Close this search box.

Menyorot Bullying Berbasis SOGIEB

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Definisi bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Istilah Bullying belum banyak dikenal masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah.

Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).[1]

Bullying terhadap LGBT masih menjadi momok utama bagi remaja-remaja LGBT di dunia, bahkan di Indonesia. Bagaimana tidak, sebuah survei mengatakan bahwa bullying terjadi sekitar 68% di antara lesbian, gay, dan biseksual di Chili, 53% di Guatemala, 61% di Mexico dan 66% di Peru. Di Brazil, sekitar 40% gay melaporkan pernah mengalami penganiyaan fisik saat sekolah mereka.[2] Angka yang menghawatirkan untuk sebuah tindak kekerasan. Meskipun di Indonesia masih belum ada angka pasti akan betapa besarnya angka diskriminasi. Namun sebagai negara yang masih belum bisa menerima keberadaan LGBT, banyak sekali kasus-kasus kekerasan berbasis Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB) yang pernah terjadi.

            Masih mengutip dari survei yang sama, banyak di antara remaja LGBT ini akhirnya memutuskan untuk keluar dari sekolah akibat bullying. Di Amerika Serikat 28% dari LGBT yang menjadi korban bullying  merasa terpaksa keluar dari sekolah. Tercatat bahwa 68% gay dan 42% lesbian pernah merasakan pahitnya hate speech (bullying secara verbal) dari lingkungan sekolah mereka. Bahkan 10% di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Di Irlandia, LGBT bukan hanya diancam oleh teman sebayanya (25%) tapi juga mendapatkan bullying dari guru dan staff sekolah lainnya (34%). Di sekolah-sekolah berbasiskan agama tertentu, bullying terhadap LGBT mencapai angka yang jauh lebih mengkhawatirkan.

Bullying yang paling sering terjadi adalah berupa kata-kata kasar atau hate speech tadi. Melecehkan seseorang dengan ejekan-ejekan yang homofobik seperti “homo”, “gay”, “lezbo” dan “faggot” merupakan contoh bullying verbal. Sementara contoh bullying sosial adalah menyebarkan gosip atau rumor tentang orientasi seksual seseorang. Namun yang saat ini paling sering terjadi adalah bullying yang bersifat maya, contohnya mengirimkan email yang homofobik.[3] Atau juga berupa komentar-komentar kasar di jejaring sosial seperi Facebook, Twitter, dan yang lainnya. Lebih parahnya lagi, bully yang dialami oleh remaja LGBT juga terjadi di lingkungan rumahnya sendiri.

Tidak hanya terhadap remajanya, Bullying juga ternyata masih terjadi terhadap LGBT yang sudah dewasa. Selain hate speech, mereka juga mendapatkan diskriminasi di dunia kerjanya. Hal ini biasanya menimpa pekerja LGBT dari kalangan pendidikan rendah dimana mereka memiliki ruang sempit untuk mengekspresikan diri, di mana urusan mendapat pekerjaan yang bisa mendukung orientasi mereka sulit dicapai. Alhasil, merahasiakan jati diri menjadi satu-satunya pilihan agar bisa mencari nafkah.[4]

Lebih lanjut lagi, survei yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan bahwa belum adanya perlindungan secara hukum untuk melindungi pekerja LGBT. Yang lebih menyedihkannya lagi, terjadinya kekerasan yang sampai merengut nyawa seseorang. Ambilah contoh seorang waria pekerja seks yang dipukuli oleh Satpol PP. Mereka mendapatkan diskriminasi bertingkat, karena mereka waria dan karena mereka pekerja seks. Mereka dianggap menjadi “pengganggu ketenangan” masyarakat.

Namun apa sebenarnya alasan utama pelaku bullying melakukan bully? Jawabannya adalah kekuasaan kelompok tertentu. Menurut Bosworth, Espelage dan Simon (2001) dalam Aluede, Adeleke, Omoike, & Akpaida (2008; 152) para bully biasanya laki-laki, populer, dan memiliki kemampuan sosial yang bagus. Hal ini memudahkannya menarik banyak anggota dalam kelompok dan dengan mudah dapat memanipulasi orang lain.

Selain masalah kekuasaan, pelaku bullying melakukan bully dikarenakan adanya keinginan balas dendam. Banyak artikel mengatakan bahwa pelaku bullying membawa perasaan marah terhadap orang-orang di lingkungan rumahnya, kemudian melampiaskannya terhadap teman-temannya di sekolah atau di lingkungan kerja.

Melihat kondisi bullying dari segala sisi di atas, sudah seharusnya pemerintah melindungi LGBT yang juga bagian dari masyarakat, karena definisi sebuah masyarakat bukanlah sekumpulan orang-orang dengan orientasi heteroseksual. Melindungi anak-anak yang LGBT di sekolah, bukan hanya melindungi anak-anak yang heteroseksual. Memberikan kesempatan yang sama kepada LGBT untuk bekerja tanpa adanya rasa diganggu dan kemudian melihat seseorang berdasarkan kemampuan bekerjanya, bukan orientasi seksualnya.

 

*Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita Bandung

 

Catatan Kaki:

[1] http://www.psychologymania.com/2012/06/definisi-bullying.html

[2] http://guetau.com/informasi/kesehatan-lainnya/homophobic-bullying.html

[3] https://generasiindonesiaantibullying.wordpress.com/2014/03/02/apa-itu-gay-bullying/

[4] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150430211435-20-50420/survei-ugm-pemerintah-belum-lindungi-pekerja-lgbt/