Search
Close this search box.
enid
Damhuri Muhammad dalam kegiatan Bincang Buku "Saiban" di Suara Kita. (Foto, Yatna Pelangi/Suara Kita)
Damhuri Muhammad dalam kegiatan Bincang Buku “Saiban” di Suara Kita. (Foto, Yatna Pelangi/Suara Kita)

Oleh: Damhuri Muhammad*

Suarakita.org- Di usia delapan tahun, saya  memiliki  kegemaran ganjil. Setiap kali paman saya hendak menancapkan bibit pohon kelapa di lubang yang telah ia gali, saya selalu dilanda kegirangan, yang di masa dewasa tidak lagi dapat saya nikmati. Di hadapan lubang yang tak terlalu dalam itu, paman merundukkan tubuhnya, lalu mempersilahkan saya lekas naik ke pundaknya. Setelah memastikan sepasang kaki mungil saya menjuntai di lingkar lehernya, barulah ia membenamkan tunas kelapa, dibubuhinya dengan sedikit pupuk kandang, lalu perlahan-lahan ditimbunnya dengan tanah yang sudah tersedia. Sepanjang peristiwa itu, tubuh kecil saya tetap berada di pundaknya, dan  itu terjadi berkali-kali. “Kelak, tunas ini akan besar dan meninggi, lalu mendedahkan buah yang bakal dinikmati anak-cucu kita,” selalu begitu kata paman selepas peristiwa penanaman, sebelum ia menyuruh saya meloncat turun dari pundak kekarnya.

Di masa itu, saya hanya menikmati pengembaraan imajiner saat berada di pundak paman. Kadang saya membayangkan sedang mengendarai naga terbang guna membasmi kejahatan di kampung-kampung yang sedang diserang oleh komplotan pendekar dari dunia hitam. Sesekali saya mengandaikan sedang bepergian menuju sidratul muntaha, sebagaimana perjalanan Mi’raj baginda Nabi Muhammad, yang kerap dikisahkan oleh guru mengaji saya. Dan, saya sama sekali tidak tahu apa hubungan antara kesuburan tunas kelapa dengan bocah laki-laki yang bertengger di pundak orang yang menanamnya.

Seiring perjalanan waktu, setelah paman yang baik itu tiada, dan setelah bertahun-tahun saya meninggalkan kampung halaman, setiap kali berkesempatan pulang, saya begitu gandrung menengok, bahkan duduk berlama-lama tak jauh dari pohon-pohon kelapa itu. Paman telah berpulang, ayah saya yang kemudian merawat pohon-pohon masa silam itu pun sudah berpulang, tapi ingatan saya pada peristiwa ganjil saat penanamannya bersama paman, tidak pernah bisa saya lupakan. Pohon-pohon kelapa yang menghasilkan buah melimpah dan telah menghidupi keluarga kami itu telah menjadi bagian dari hidup saya. Kadang saya membandingkan usia saya dengan usia pohon-pohon itu. Saya mulai ringkih dan akan terus bergerak menuju renta, sementara pohon-pohon itu makin liat, makin cadas, makin menjulang tinggi. Satu per satu anggota keluarga besar kami telah pergi, namun pohon-pohon kelapa tetap kokoh berdiri, daunnya melambai saban hari, berbuah sepanjang waktu, seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, seolah-olah akan kekal selamanya, sebagaimana kekalnya ingatan saya pada peristiwa penanaman bersama paman di masa lalu.

Kini saya mulai menyadari bahwa pada masa tunas-tunas tersebut ditancapkan, jangan-jangan pada saat yang bersamaan, paman juga menancapkan jiwa saya di sana. Jangan-jangan paman menyekutukan sukma saya dengan setiap tunas kelapa yang ditanamnya, hingga sejauh apapun saya pergi dari kampung halaman, diri saya tetap tertinggal di rumpun-rumpun pohon itu, dan itu pula sebabnya saya tidak bisa sungguh-sungguh berpisah dari pohon-pohon itu. Demikianlah saya pernah merasakan kekariban yang padu dengan tumbuh-tumbuhan, alam masa kecil yang membesarkan saya.

Ini pula yang saya rasakan selepas membaca lika-liku pengembaraan puitik Oka Rusmini dalam antologi puisi terkininya, Saiban (2014). Oka sedang menyingkap semacam “tarekat” (jalan) menuju persekutuan dengan alam, dengan diksi-diksi seperti kulitnya pandan berduri, perempuan-perempuan bertubuh batu, kekasihku hidup di balik kulit rambutan, pisang yang kau tanam di otakku, dan semacamnya. Bersekutu dalam hal ini, bukan sekadar hidup bersama alam, tapi menyatu, menjadi satu, atau bersenyawa. Sebab, manusia pada hakikatnya adalah mikrokosmos (jagad cilik), yang bukan hanya miniatur semesta jagad raya (makrokosmos), tapi juga alam itu sendiri.

Maka, bagi Oka, jurang yang memisahkan antara semesta dan subjek manusia mesti ditebas-diterabas, dan seyogyanya ditembus hingga pohon pisang bisa tumbuh dalam otak, dan berkembang-biak, beranak-pinak dalam aliran darah di tubuh manusia. Demikianlah yang terjadi pada puisi-puisi dengan kalimat-kalimat semacam; kabut menggenangi mataku (hal.6), matamu penuh pandan berduri (hal.14), siapa menabur badai di kulitmu? Remahannya menyakiti kulitku (hal.15), Kadang-kadang cairan lava gunung api membakar tubuhku  (hal.15).

Sepintas lalu, mungkin tertangkap sebagai ungkapan metaforik atau mungkin semacam pengamsalam. Mata yang penuh pandan berduri boleh jadi dimengerti sebagai tatap yang tajam dan menyakitkan, tapi Oka tidak sedang membangun analogi, karena ia sedang berusaha melampaui metafora dan pengamsalan. Kabut yang menggenangi mata bisa jadi dimaklumi sebagai kerabunan yang tak terselamatkan, atau kebutaan yang menyedihkan, tapi lagi-lagi Oka tidak sedang bermain-main dengan perkakas-perkakas metaforik. Bagi Oka, tampaknya, pandan berduri benar-benar menjalar di sekujur bola mata, dan kabut sungguh-sungguh menggenang di sana. Tak perlu repot menemukan makna konotatifnya,karena penyair benar-benar menginginkan situasi faktual sebagaimana yang dinukilkannya.

Pendakian literer semacam ini barangkali tidak akan terwujud dalam keseharian penyair, begitupun dengan keseharian kita yang begitu nyaman dalam realitas profan. Tapi, di dunia lain, khususnya dalam tradisi sufisme, ungkapan-ungkapan yang berbau metafora, pengamsalan, analogi, dapat benar-benar terjadi secara kasat mata.Dalam keseharian seorang pelaku sufi, saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bermula dari perbincangan ringan perihal “ada air ada ikan” di saat sufi itu sedang mengupas buah kelapa. Begitu tempurung kelapa terbelah dua, seekor ikan meloncat keluar bersama cipratan air. Ikannya benar-benar nyata. Kelapanya benar-benar kelapa. Airnya bahkan saya reguk sempurna, dan rasanya sama saja dengan air kelapa pada lazimnya. Tarekat Oka lewat ungkapan-ungkapan puitiknya, lebih kurang sama dengan peristiwa ganjil yang saya saksikan itu.

Hujan di sel-sel darahmu/mendung di otakmu/kilat di bibirmu/angin puyuh di jantungmu/badai di hatimu (hal 26), adalah upaya Oka menjembatani mata rantai yang genting atau boleh jadi sudah terputus, antara semesta jagad raya dan subjek bernama manusia. Alam yang selama berkurun-kurun menjadi sasaran empuk dari objetivikasi ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan yang  menakutkan; Kilat, angin puyuh, badai. Gejala-gejala alam yang hingga kini teknologi buatan manusia secanggih apapun belum sanggup membendungnya. Sementara itu, manusia direpresentasikan dengan darah, bibir, jantung, dan hati. Yang paling tangguh dari manusia tentulah otaknya, yang paling berbahaya barangkali bibirnya (mulutnya), dan paling istimewa tentulah jantung dan hatinya. Dua entitas itu dipertemukan, dipersekutukan, dipersenyawakan, hingga  kedahsyatan dan ketakjuban terhadap keduanya berada dalam timbangan yang sama, tidak saling melampaui, apalagi saling membinasakan.

Di kurun mutakhir ini, masih banyak rahasia alam yang tak tersingkap, bahkan oleh pencapaian sains modern paling maju sekalipun. Rasionalisme modern yang terlanjur hendak memastikan penemuan kebenaran dalam wujud yang utuh, telah bertekuk lutut di hadapan kemahaluasan rahasia semesta jagad raya. Sains hanya dapat menjelaskan gejala-gejala alam semesta kurang dari sepertiganya. Selebihnya masih tanda tanya besar yang entah kapan bakal terkuak ke permukaan. Maka, alih-alih terus-menerus menguras pikiran guna membongkar rahasia semesta, sejak lama leluhur kita telah hidup bersama dan menyatu dengan alam. Mereka menghormatinya, menghargainya, bahkan memperlakukan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan benda-benda kasat mata yang tergeletak di permukaan bumi sebagai entitas yang berjiwa, sebagai makhluk-makhluk yang memiliki sukma¾sebagaimana kita, kaum manusia.

Sekali lagi di masa kanak-kanak. Saya pernah menanam tebu. Saban petang saya siangi, dan kelak setelah tumbuh besar dan memanjang, akan saya tebang. Akan saya jadikan bekal penyangga dahaga bersama teman-teman penggembala kambing. Setelah cukup matang dan siap untuk ditebang, ternyata yang tersisa dari tebu milik saya hanya akar dan tunggul-tunggulnya. Tiga orang anak¾dua laki-laki, satu perempuan¾dari saudara perempuan Emak saya yang sedang pulang kampung, telah mendahuluinya. Mereka menyantap potongan-potongan tebu itu sambil berjingkrak-jingkrak dengan segenap kegirangan anak-anak kota yang tengah piknik. Saya kesal bukan main. Bukan soal manisnya rasa tebu yang memang saya dambakan, tapi perihal sukma saya yang juga tertanam bersama tertanamnya rumpun tebu itu.  Saya merasa jiwa saya direnggut secara paksa, dirampas secara rakus. Bujukan Emak segera tiba. Masih ada banyak rumpun tebu. Tak usah risaukan tebu-tebu yang sudah ditebang. Baiklah. Saya memadamkan nyala kemarahan. Tak ada protes, tak ada keributan, apalagi perseteruan. Tapi saya, pemilik paling absah dari rumpun tebu, jujur saja, tidak bisa mengikhlaskan perilaku sewenang-wenang itu, bahkan hingga saya tumbuh dewasa.

Beberapa hari kemudian ada makan malam bersama. Keluarga besar saudara perempuan Emak tampak begitu lahap. Suami dan tiga anaknya yang rakus alang-kepalang¾seperti orang yang tidak makan tiga hari¾sampai berkeringat saking lezatnya hidangan di meja makan. Lalu, tibalah giliran saya menyentuh piring lauk, dan ternyata di situlah rahasia besar kelahapan mereka. Betapa kenduri makan malam mereka tidak akan semarak, betapa mereka tidak akan bersemangat? Lauk utama yang tersuguh di atas meja adalah daging ayam jago muda kesayangan saya. Si Kurik Bulu andalan yang berbulan-bulan saya rawat dengan segenap kelembutan dan sukacita telah disembelih tanpa sepengetahuan saya.

Selera makan saya musnah dalam hitungan detik. Manalah mungkin saya tega mengunyah-ngunyah daging ayam jago yang saya belai-belai dan saya mandikan saban pagi. Piring di hadapan saya melayang dan bersarang tepat di kening salah satu anak saudara perempuan Emak. Pecah berkeping lima. Beling dan butiran-butiran nasi bergelimang, lalu berserak di atas meja dan lantai. Prahara tak terelakkan. “Sudah, Nak, Sudah! Anak ayam jantan kita masih banyak. Kau bisa miliki semuanya,” bujuk Emak sambil menangis terisak-isak.

“Meski semua ayam jantan di kampung ini disedekahkan padaku, kematian Kurik Bulu tetaplah kematian. Dan, kalian semua adalah pembunuhnya,” balas saya dengan sorot mata yang buas.

Sejak itulah saya makin gandrung menyendiri. Saya lebih bersukaria bercengkrama dengan kambing-kambing piaraan, dengan ayam-ayam jago generasi baru, yang tak akan pernah bisa menggantikan posisi almarhum Kurik Bulu¾semoga arwahnya diridhai Tuhan. Saya merasa lebih pantas bersaudara dengan kawanan binatang ketimbang berbasa-basi dengan sanak-sanak dan handai-taulan yang sedang di berkumpul di rumah saya sendiri, hanya untuk mengharapkan uang recehan. Saya tak pernah lagi tertarik untuk bergaul apalagi berbaur dengan anak-anak kota dengan segala kemewahan dan keangkuhan yang dibawanya pulang.

Saya percaya, kambing-kambing itu mendengar dan mengerti obrolan saya. Pohon-pohon yang saya tanam, merekam semua keluhan saya, menyimak kegelisahan saya, bahkan mengamini segala bentuk cita-cita saya. Begitulah akhirnya saya mempercayai bahwa diri saya dan alam di sekitar saya, adalah entitas-entitas yang di masa purbanya tak terpisahkan. Sejumlah puisi dalam Saiban, kembali mengingatkan saya pada persaudaraan dengan binatang, tumbuhan, dan batu-batu.

Saiban ditulis dengan cara tak biasa. Duapuluh sembilan puisi hanya dibuhul dengan satu judul, itupun dengan satu kata; Saiban, yang menurut catatan epilog penulis berarti sesaji kecil selepas memasak dalam ritual umat Hindu di Bali. Oka memang menggunakan kata hujan, mendung, kabut, daun-daun, namun ia tidak memperlakukan ungkapan-ungkapan tersebut untuk merancang puisi-puisi yang sekadar bersolek dengan kata-kata, sekadar merias muka dengan kefasihan berbahasa, sebagaimana kelaziman lirisisme dalam puisi Indonesia sejak beberapa tahun belakangan.

Sudah lama saya mendambakan munculnya pola-pola baru dalam penulisan puisi, yang melampaui pola-pola akrobatik, pola-pola lirik semisal embun yang jatuh di atas sehelai daun, dan tak sekadar menjadi cacatan kaki dari puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono¾dua pewaris lirisisme yang telah menjadi berhala dalam tarikh puisi Indonesia. Lompatan menuju bentuk dan cara berpuisi baru, sedikit-banyaknya saya rasakan dalam sejumlah puisi di kumpulan Saiban ini. Demikianlah semestinya penyair-penyair masa kini mendobrak kebekuan, menerabas kebuntuan tradisi lirik yang sudah lapuk, agar selekasnya dapat dipersiapkan pemakamannya…

Depok, 2015

*Damhuri Muhammad adalah seorang sastrawan dan penulis Indonesia menyelesaikan studi Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, Padang pada tahun 1997 dan Pasca Sarjana Filsafat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 2001 ini aktif menulis cerita pendek (cerpen), esai sastra serta tinjauan buku di berbagai media cetak nasional.

Damhuri bersama E.S. Ito, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, Indrian Koto, Dewi Sartika, dan beberapa sastrawan muda lainnya merupakan generasi muda sastrawan Indonesia asal Minangkabau setelah generasi Gus tf Sakai dan kawan-kawan yang tumbuh besar di luar Sumatera Barat. Karya tulis: Laras, tubuhku bukan milikku (2005), Lidah Sembilu (2006). Cinta di Atas Perahu Cadik (2008). Juru Masak (2009). (Sumber wikipedia)