Oleh : Nursyafira Salmah*
Suarakita.org- Apakah terapi hormon yang sangat berkaitan dengan penegasan seks dan bahkan ‘penegasan gender’ hanya sekedar masalah medis? Pernahkah anda berpikir seberapa besar tindakan ini mempengaruhi kehidupan anda?
Dokter Agustini Utari, seorang ahli endokrinologi anak dari Rumah Sakit UNDIP Semarang menyatakan bahwa kasus terapi hormon yang mayoritas ditangani oleh kelompok dokter ahli hormon di Indoensia adalah kasus disorder of sex development (gangguan perkembangan organ reproduksi). Sebuah kasus yang kita kenal dalam gerakan LGBTI dengan istilah interseks.
Akan tetapi, sepanjang perjalanannya terapi hormon ini bukan hanya menjadi kebutuhan teman-teman interseks melainkan juga kebutuhan teman-teman transgender untuk yang bukan hanya ingin melakukan migrasi gender tetapi juga migrasi seks. Kebutuhan akan penampilan yang ingin menonjolkan salah satu karakteristik biologis sebagai perempuan atau laki-laki menjadi salah satu tujuan utama terapi hormon, seberapa pentingkah? Menurut Lewins (2002) dalam jurnal penelitiannya mengenai kestabilan hubungan diantara transgender female to male dan male to female,
“… menjadi boy lalu menjadi man secara sosial (transgender female to male) menempatkan banyak hal penting dalam membentuk peran karakteristik fisik seorang laki-laki sosial dan pasangannya dalam sebuah hubungan”.
Dari pernyataan di atas kita bisa melihat salah satu alasan mengapa terapi hormon sangat jelas menjadi kebutuhan teman-teman transgender untuk menunjang gender yang ia hayati. Menurut presentasi dari dokter Agustini Utari, keberdaan hormon yang sangat berfungsi untuk metabolisme atau kerja alat-alat tubuh. juga mempengaruhi mood, sexual drive, desire, formasi tulang, hingga menentukan libido seseorang atau kepada siapa seseorang memiliki orientasi. Dalam pernyataan tersebut mungkin kita dapat menghayati sedikit lebih dalam bahwa keputusan untuk melakukan terapi hormon adalah bentuk kemerdekaan seseorang terhadap tubuhnya untuk bisa terlihat seperti apa atau untuk bisa menunjang gender apa yang mereka hayati.
Walaupun tidak sedikit orang yang meragukan dan melihat hanya dari sisi resiko terapi hormon (terutama di kalangan transgender, karena banyak yang melakukannya tanpa pengawasan dokter), namun lepas dari itu menurut pernyataan dari seorang teman transgender (S, 24 tahun) menyadarkan saya betapa pentingnya terapi hormon.
Seorang transman yang telah dan masih menjalani terapi hormon mengungkapkan “…terapi hormon bisa juga dibilang gitu, jadi salah satu ‘obat’ untuk orang-orang yang mengalami dysphoria karena ga suka sama tubuhnya.” Menurut S, ada beberapa orang transgender yang terlihat tidak percaya diri saat berpenampilan karena tidak nyaman dengan bentuk fisik mereka.
Misal, beberapa transgender male to female tidak nyaman dengan bentuk payudara yang besar, bentuk pinggul seperti perempuan atau bahkan tidak nyaman dengan wajah yang tidak memiliki facial hair. Saat itulah terapi hormon bisa menjadi salah satu “the way out” bagi teman-teman transgender yang tidak percaya diri dengan penampilan mereka. Itu mengapa hormonal treatment sangat mungkin untuk dikatakan sebagai bentuk pencegahan dysphoria seseorang terhadap tubuhnya.
Namun, kembali lagi, pada intinya sepanjang kenyamanan presentasi diri sebagai perempuan dan laki-laki serta faktor-faktor lain yang terlibat secara sukses di dalam “doing gender” termasuk salah satunya memiliki “gender markers” atau karakteristik gender yang cocok seperti ada atau tidaknya rambut-rambut halus di wajah, payudara dan suara yang sesuai bahkan hingga baju yang dipakai (Lewins, 2002).
Terlepas dari terapi hormon yang menjadi kebutuhan atau bahkan keharusan bagi mereka yang mengalami gangguan perkembangan organ reproduksi, kita bisa menengok ke arah advokasi untuk akses terhadap terapi ini. Sempat saya sebutkan bahwa pandangan miring mengenai terapi hormon muncul karena banyak efek samping dari terapi hormon yang dilakukan tanpa pengawasan orang yang ahli di bidang kesehatan.
“Ga jarang karena kita susah buat dapetin akses dokter terapi hormon, dan emang jarang juga nemuin dokter bidang ini yang mau out buat nanganin makanya ada beberapa yang ngelakuin praktek ‘gerakan bawah tanah’,” ungkap seorang transman yang berbagi pengalamannya mengenai kondisi sulitnya akses untuk melakukan terapi hormon. Praktek terapi hormon yang dilakukan secara diam-diam tanpa pengawasan ahli terjadi karena sulitnya untuk mengakses terapi hormon karena keterbatasan ekonomi.
Terapi hormon memang bukan perkara mudah dan murah. Menurut dr. Agustini Utari, bahkan untuk melakukan pengecekan kromosom dalam rangka pengambilan keputusan terapi hormon itu hanya bisa dilakukan di salah satu laboratorium di Amerika. Anda pasti bisa membayangkan betapa mahalnya proses ini. Masalah lain muncul ketika terapi hormon dalam banyak kasus dikategorikan sebagai kosmetik untuk estetika, bukan termasuk kategori medis sehingga tidak masuk dalam tanggungan asuransi ataupun BPJS.
Inilah yang menjadi dilematika untuk mereka yang membutuhkan terapi hormon secara berkala. Oleh karena itu, secara politis dalam gerakan LGBTI kita harus terus bersemangat memperjuangkan advokasi terapi hormon yang menjadi kebutuhan terutama untuk teman-teman transgender. Gerakan LGBTI memang sebaiknya mengadvokasi akses terapi hormon yang aman untuk teman-teman transgender agar tidak ada lagi terapi-terapi beresiko yang dilakukan ‘di bawah tanah’.
Mari kita kembali untuk merefleksi seberapa postifkah terapi hormon. Menurut Lewins (2002) masih dari kutipannya penelitiannya dalam Journal of Sociology, “seks sangat merujuk pada status biologis untuk menjadi perempuan atau laki-laki sedangkan “gender” adalah interpretasi sosial dan pengorganisasian berdasarkan perbedaan seks secara biologis”.
Pilihan untuk terapi hormon mungkin bisa menunjang pengorganisasian seks dan gender bagi teman-teman transgender atau interseks. Terapi hormon memang lebih mengarah kepada visual seseorang, ingin terlihat seperti apa. S, seorang transman, mengungkapkan penilaiannya mengenai sisi positif terapi hormon. “Buat beberapa transgender yang hormonal treatment itu bisa nambahin confidence–nya (percaya diri – red) dia dan ngaruh sih ke psikisnya juga,” ungkapnya.
Akan tetapi jika ingin membentuk fisik dengan karakteristik seks yang diinginkan, pengakuan dengan seks tersebut juga didukung oleh penghayatan mental dan peran. Menurut dokter Agustini Utari pilihan untuk terapi hormon ini memang kembali kepada pilihan individu. Dokter Agustini juga mengungkapkan bahwa orang yang memilih untuk terapi hormon memiliki otoritas untuk menentukan arah kecenderungan pilihan karakteristik seks yang diinginkan.
Kita tidak bisa melihat sisi negatif dari terapi hormon saja, kita juga tidak bisa melupakan pentingnya terapi hormon dari sisi medis, psikis bahkan hingga estetika. Selama masih banyak yang membutuhkan terapi hormon maka advokasi untuk mengakses secara terjangkau, aman dan dengan pengawasan masih harus terus diperjuangkan.
Sumber tertulis:
Explaining Stable Partnership among FTMs and MTFs, Lewins (2002). Journal of Sociology, The Australian Sociological Association, Volume 38 (1), 76-78
*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI yang sedang melakukan penelitian mengenai transgender female to male.