Oleh: Abi Ardianda*
Suarakita.org- Nggak lupa jadwal ngopi denganku, kan? Sabtu ini, di Hilton?
*
Kopi yang ia janjikan hadir dengan warna bening keemasan dalam naungan seloki. “Monbazillac, Perancis meraciknya tahun tiga puluhan. Hampir enam dekade sebelum saya lahir.” Cairan itu meraba dinding dan atap mulut sebelum menikam tenggorok.
“Cita rsasanya persis merepresentasikan kau. Manis.” Lelaki di atas ranjang menimpali. Dalam hubungan dengan label ‘kenalan’ yang naik menjadi ‘teman’, ia tergolong sudah sangat berani dengan rebahan telanjang begitu. Apalagi jumlah pertemuan kami belum melampaui hitungan jari.
“Bukankah itu ironi? Sebab, laki-laki kan, nggak semestinya terlihat manis?”
“Aku nggak peduli. Aku penikmat estetika. Bukan etika.” Dia menjawab sambil menatap langit-langit. Kedua tangannya menyangga kepala.
Saya tertawa. Pertama, karena senang menyambut pujiannya mengenai nilai estetika yang ia temukan dari saya. Kedua, untuk kesedihan yang kemudian menyusul menanggapi omong kosong yang dilontarkannya. “Berapa lama waktu yang mampu dipertahankan mulut laki-laki untuk memproduksi kata berbalutkan gula? Paling hanya sampai otot-otot di tubuh mereka berkontraksi, sementara moncongnya melenguh dan matanya memejam seolah sesuatu membuatnya silau. Orgasme membuat seseorang seolah sedang kesakitan.”
Alih-alih menanggapi pernyataan saya, ia malah makin gencar merayu. “Hei, aku suka cara kau pejamkan mata sembari tersenyum begitu. Sini, biar kufoto kau.” Iphonenya berdecit, krik.
“Saudara kandung saya perempuan semua, mereka yang melakukan itu. Saya hanya meniru.”
Tangannya terjulur ke bagian bawah tubuh yang ditutupi selimut. Bagian itu kemudian mengembung. Bergerak turun naik dalam tempo pelan. “Kemarilah,” ia mendesah, bergantian dengan desis.
Dari dahan jendela, saya berbalik.“Persetubuhan nggak ada dalam perjanjian kita. Maaf. Saya punya pacar.”
“Kau kira bagaimana pacar kau itu akan tahu apa yang kau lakukan sekarang?”
“Membangun komitmen dengan sekaligus dua orang ketika diberi jatah satu orang itu berarti saya serakah. Tuhan dapat sewaktu-waktu melakukan apa pun yang diinginkanNya bagi orang serakah. Melalui kesetiaan ini, saya menjaga diri.”
Sepasang mata telernya membelalak. Tampangnya berubah kaku. Saya bisa memastikan itu meski kamar hotel diatur dalam penerangan yang redup. “Kalau kau setia pada pacar kau, apa yang membawa kau kemari?”
“Kita cuma bakal ngopi, kan?” Saya menggoyangkan seloki saat mengatakan itu. “Kamu tahu, demi secangkir kopi ini saya datang kemari. Saya memerlukan teman bicara.”
Ia bangkit, dan celana khakinya itu ia kenakan kembali. “Banyak hal yang kuketahui lebih banyak ketimbang kau. Ceritakan soal lelaki tidak bertanggung jawab yang membuat kau malah datang kemari.” Ia menghampiri saya di dahan jendela. Juntaian poni yang menjangkau alis saya ia rapikan. Dielusnya pula pipi saya dengan telunjuknya yang gemuk.
Lalu, Monbazillac yang bercerita.
Kami menjalani hubungan jarak jauh.
…kami berhubungan melalui salah satu jejaring sosial persembahan ponsel pintar yang dimiliki oleh nyaris semua orang di Tanah Air. Terbiasa mentransaksikan isi hati dan kepala melalui media digital, pertemuan terakhir kami di latar belakangi gema takbir dari surau-surau dalam perjalanan saya berkereta menuju Surabaya. Macam malam lebaran.
“Ada gerhana matahari,” papar saya dengan harapan penjelasan itu membuat kakek di sebelah berhenti celingukan. “Saya membacanya melalui twitter.”
Kakek itu mungkin tidak mengenal twitter.
“Tenangkan dirimu, Dik.” Namun dia jelas mengenali gelagat panik saya.
Telah menanti Stasiun Wonokromo, sebelum kami tiba di Stasiun Gubeng, Stasiun yang ia janjikan kehadirannya untuk menjemput saya. Terlalu lama berjauhan menjadikan kedekatan ini membikin gentar. Suruhan tenang si kakek justru membuat posisi duduk saya tambah tegang.
Saya menyesali kemeja berbalut blazer yang saya kenakan saat melihatnya muncul hanya dengan jeans dan selembar kaus hitam belel. Kaus itu mengekspos bagian perutnya yang buncit. Sambil mengelus pipi dan dagunya yang tak dicukur, ia bertutur gagu, “kamu rapi banget. Kaya mau melamar kerja.”
“Kan mau ketemu kamu,” setelah saya jawab begitu, ia kedapatan tersipu.
Seperti babaran sepasang janin kembar yang terbiasa membagi bilik rahim bersama, sekian detik pertama kami khusyuk saling mengamati. Sementara masing-masing kulit kami berteriak rindu melalui caranya yang tak dapat kami pergoki. Kenyal bibir kami tak sabar berebut sempat untuk saling pagut.
“Ayahnya melarang kami tidur dalam satu kamar. Awalnya, beliau menduga saya perempuan.”
Ia tergelak, gelak yang pelan-pelan mekar menjadi bahak.
“Kalau kamu masih mau terus tertawa, saya bisa menyumpal mulutmu dengan botol anggur ini.”
“Oke, oke. Lanjutkan.”
…Ayahnya bukan orang pertama yang mempersoalkan kelamin saya. Padahal bentuknya jelas; lonjong, menggantung, mirip jamur. Gara-gara saya berkelakuan anggun seperti perempuan, di Tanah Air ini saya jadi tidak kebagian jatah lahan. Kamu bisa lihat sendiri, jamban, saf musala, fitting room, mereka hanya menyediakan bagian untuk laki-laki dan perempuan. KUA tidak mungkin meng-acc permohonan nikah mempelai yang keduanya laki-laki atau keduanya perempuan. Teknik senggama tidak bisa dijadikan sebab larangan, bukankah selain didorong ke dalam vagina, penis bisa dikulum? Bukankah masih ada anal? Bukankah masih ada jari? Hei, anak laki-laki sudah tahu onani semenjak mereka mulai tidur sendiri, kan? Dalih cinta hanya akan jadi bahan olokan.
Padahal sejak duduk di bangku sekolah dasar negeri yang saya junjung dan sanjung ini, saya sudah diperingatkan untuk tidak melupakan Tanah Air. Melalui sebuah tembang yang diperkenalkan guru pegawai negeri sipil, katanya saya harus mengenangnya selama saya hidup.
Biarpun saya pergi jauh… Tidakkan hilang dari kalbu… Tanahku yang kucintai…
Bisa tolong jelaskan bagaimana kita mampu mencinta tempat di mana keberadaan kita tidak diakui ada?
Tembang itu mengalun otomatis dari suatu kubikel di dalam kepala semenjak saya resmi menjadi buronan moral. Ia mengalun saat saya dilarang berjingkrak dengan sepatu hak ibu. Ia mengalun saat saya digusur ke lapangan sepak bola ketika giliran saya melempar bola bekel tiba. Ia mengalun saya saat dikatai banci oleh guru ngaji.
Setelah insiden pengajian itu, saya memohon pada ibu agar berhenti menyuruh saya ke masjid. Tapi ibu bilang, kalau tidak mengaji, nanti kuburan saya gelap. Tidak ada lampu bagi orang yang tidak pernah mengaji. Saya jadi kasihan pada teman masa kecil saya, Stepahnie. Setiap berkunjung ke rumahnya yang terdapat ukiran kayu besar mirip tanda tambah dalam matematika, dengan Lelaki Berambut Panjang tercancang di atasnya, saya selalu ingin menangis, sebab tak pernah sekalipun saya melihat mereka mengaji. Kedua orang tuanya sering memberi saya agar-agar dingin dan mengizinkan saya main sapintrong[1] dengan Stephanie. Tapi mereka tidak bisa mengaji. Saya bahkan tidak yakin apa mereka memiliki Qur’an. Kelak, saya akan bernegosiasi dengan Tuhan, supaya Ia sepakat membagi lampu milik saya dengan mereka. Mereka pun membagi agar-agar dingin dan membolehkan saya bermain sapintrong dengan Stephanie.
Tembang angker itu terus mengalun. Untuk meredakannya, kadang saya berteriak pura-pura kesurupan. Tapi suara saya masih kalah nyaring. Saya pernah mengorek telinga dengan jari, berharap tuli, tapi itu tak pernah terjadi. Untunglah pacar saya punya cara yang lebih ampuh. Ia mengganti tembang itu dengan beragam cerita. Kadang informatif, lainnya hiburan belaka. Cerita-cerita itu didongengkannya melalui Skype sampai saya jatuh tidur. Saat kami tidur bersama, ceritanya didukung oleh video yang ia putar melalui youtube. Ia menunjukan video seekor kucing yang pasangannya tergeleng mobil. Sesenggukanlah saya dibuatnya. Pelukan saya mengerat. Saya merasa beruntung ketika ia mengecup dan mengelus ubun-ubun, karena itu artinya saya tidak perlu mengendus bangkainya yang dihinggapi lalat. Tapi pada saat yang bersamaan, kesadaran akan keberuntungan itu membuat saya merasa jahat. Bagaimana mungkin kami khusyuk berpelukan menyaksikan seekor kucing di belahan dunia lain yang meratapi bangkai pasangannya?
Dia menyuruh saya tidur sebelum lebih jauh melantur. Malam itu, ia tidak perlu terjaga lebih lama untuk mematikan Skype.
“Dia akan pindah ke Bandung. Segera setelah saya berhasil mendapatkan pekerjaan tetap untuknya di sini.”
“Apa yang dia lakukan di Surabaya?”
“Dia fotografer. Asal kamu tahu saja, yang sedang saya carikan pekerjaan adalah pria di ujung tiga puluh. Di usianya, nilai sarjana nggak lebih dari embel-embel.”
“Aku nggak paham kenapa kau memilih dia. Kau… muda, menarik, dan cukup membuatku harus memutar otak untuk bertahan melayani percakapan kau. Tapi kau memberikan hidup kau pada laki-laki yang bahkan nggak mampu bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.”
“Kalau kamu berpikir saya cari laki-laki beruang, sudah tiga jam yang lalu saya menungging di depanmu. Supaya bisa merengek minta dibelikan semua yang saya butuhkan, atau jalan-jalan ke mana pun yang saya inginkan.”
“Kau pikir dia layak? Kau jatuh bangun mencarikannya pekerjaan sementara kita tidak tahu, barangkali di sana dia mengumbar kelamin.”
“Setidaknya dia akan tahu, siapa yang bisa ditemuinya saat dia bukan cuma butuh orgasme.”
“Kau melindungi harapan kau dengan menyangkal kemungkinan-kemungkinan itu. Kau takut disadarkan olehnya.”
“Semua yang berkaitan dengan cinta memiliki kekuatan melumpuhkan. Ketika satuan hormon itu bersekongkol menyerang otak dan hati saya, saya hanya meyakini satu hal; bila saya mencintai dengan benar, pertemuan dengan orang-orang yang salah pun akan mengantarkan saya pada orang yang benar di kemudian hari.”
“Kau mendatanginya ke Surabaya. Melumat kemaluannya. Bahkan, kau mengaku menelan ludah di sela-sela aktivitas itu. Hal yang kau bilang belum pernah kau lakukan pada mantan pacar kau. Sementara itu, apa yang telah dilakukannya buat kau?”
“Dia kadang menghandle tugas saya sebagai ghost writer di sebuah website. Kamu tahu, sulit membagi waktu sebagai mahasiswa yang juga bekerja di-“
“Ayolah, aku tahu ada sesuatu yang dilakukannya. Lebih dari itu.”
…tengah malam, saya terbangun dan batuk-batuk. Dia meminumkan saya segelas air putih.
Isak pertama saya menyeruak. Pengakuan ini seperti prosesi pengupasan bonggol pisang. Kupasan demi kupasan hanya akan mengantarkan kita pada ketiadaan. Sama seperti pencarian saya selama ini yang rupanya hanya usaha menemukan pembenaran atas tindakan-tindakan konyol yang didasari oleh cinta.
“Sebelumnya, saya tidak tahu bahwa di balik kokohnya benteng proteksi yang susah payah saya bangun selama ini, saya cuma gelambir daging lembek yang memerlukan dongeng tragis sepasang kucing dan segelas air putih untuk menyelaputi diri.“
“Lepaskanlah dia. Hanya dengan cara itu kau bisa membebaskan diri dari penjara romansa yang kau ciptakan sendiri.”
Kerling mata saya beralih dari cincin yang melingkari pangkal jari manisnya. “Kamu bicara mengenai kebebasan saat kamu sendiri terkurung dalam pernikahan?”
Ia tertunduk.
“Setidaknya, kami tidak berencana untuk memenjarakan perempuan mana pun demi keamanan sosial yang mestinya mampu kami upayakan sendiri.”
Sekonyong-konyong, mengalun untaian tembang yang meremangkan bulu kuduk. Dada saya berdentum-dentum. Saya pukul-pukul kepala. Plak. Plak. Saya pukul-pukul kepala dengan seloki. Tok. Tok. Saya bentur-benturkan kepala ke dinding. Duk. Duk. Duk. Tembang yang saya kira telah lama hilang kini mengalun kian lantang.
Tanahku yang kucintai… Engkau kuhargai…
*Penulis adalah seorang produser di radio 99ERS Bandung.
Catatan kaki
[1] Sebuah permainan khas anak perempuan di mana pesertanya harus melompati karet yang dibentangkan antara dua tiang tanpa boleh menyentuhnya. Setiap berhasil naik satu level, tinggi karet pun akan ditingkatkan.