Oleh: Ni Loh Gusti Madewanti
Suarakita.org- Mulai detik ini. Kita semua berada pada suatu zona masa yang baru, tahun 2015. Masih terdapat jejak-jejak kekerasan yang tertinggal di tahun sebelumnya yaitu tahun 2013-2014. Jejak kekerasan itu menjadi pertanda bahwa negara ‘loyo’ dalam pemenuhan perlindungan, keamanan, keselamatan setiap warga negaranya sendiri. Tidak hanya negara, masyarakat luas memilih menjadi bagian terbesar kelompok yang diam dan acuh ketika menimpali kasus kekerasan yang menimpa LGBTI.
Salah satu referensi penelitian yang dikutip, diketahui bahwa sepanjang tahun 2013, data menunjukan 89.3% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dimana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya.
Bentuk kekerasan budaya yang dialami termasuk pengusiran dari rumah atau tempat tinggal sementara, dituntut untuk menikah, dan dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukai. Secara signifikan, pada dasarnya pelaku utama kekerasan adalah orang- orang lingkaran terdekat korban, seperti keluarga keluarga (76.4%) dan teman sepermainan (26.9%). Selain kekerasan budaya, individu dan kelompok LGBTI juga mengalami bentuk kekerasan psikis. Kekerasan psikis yang kerap terjadi adalah ancaman, diusir, diawasi, disakiti, dikirimi pesan gelap, dikuntit, dan dirusak barangnya. Kekerasan psikis ini paling banyak dilakukan oleh orang tidak dikenal (46%), keluarga (41.9%) dan teman (38.5%). Ironisnya, individu dan kelompok Waria paling banyak mengalami kekerasan seksual (49%) disusul dengan Gay (30.5%). Kekerasan seksual dilakukan oleh orang tidak dikenal, tamu, preman, dan teman.
Legalitas apa yang kurang di negara ini? Dengan lantang konstitusi Negara menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Redaksional yang tertulis jelas menyebutkan, ‘setiap orang’. Setiap orang berarti setiap manusia yang nadinya berdetak. Setiap manusia yang darahnya mengalir. Setiap manusia yang makan, hidup, tinggal, mempunyai status hukum sebagai warga negara Indonesia, berhak bebas dari perlakuan diskriminatif. Apakah penerapan undang- undang sudah sesuai dengan apa yang tertulis?
Nyatanya perlindungan hukum masih impoten. Makin banyak pembiaran dan sikap acuh terhadap kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat. Sikap tanpa empati ini membuat kekerasan dan diskriminasi menjadi lumrah dan diterima sebagai hal yang biasa saja. Hal ini diperparah ketika aparat keamanan juga turut melakukan pembenaran terhadap terjadinya kekerasan dan diskriminasi dengan dalih bahwa hukum yang ditegakkan mengikuti arus kuat pemahaman hukum secara normatif.
Tulisan ini dibuat sebagai salah satu upaya pemecah hagemoni yang terjadi di masyarakat luas. Bahwa kekerasan seksual yang kerap terjadi pada waria dan gay adalah sekedar kekerasan yang menimpa organ seksual secara fisik. Padahal kekerasan seksual, melingkupi kekerasan terhadap pilihan orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender dan seksual seorang individu.
Tahun sudah berganti. Namun menjadi waria atau gay masih selalu dipersalahkan. Waria dan gay masih saja didiskriminasikan sebagai manusia tidak bermoral, menyimpang, menyalahi aturan agama. Sikap homophobia menjadikan gay dan waria patut disingkirkan. Lumrah didiskriminasikan bahkan dibenarkan untuk mendapatkan kriminalisasi. Lebih lanjut, penggolongan bahwa gay dan waria merupakan orang- orang dengan ‘Masalah Sosial’ harus di-dekonstruksi. Definisi bahwa gay dan waria merupakan individu menyimpang dan menjadi ‘Masalah Sosial’ merupakan dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Menyebarnya homophobia menjadi sesuatu yang common sense seperti ini merupakan bentuk kekerasan paling luar biasa. Mengutip hipotesa fenomenal Gramsci, bahwa peran negara menggunakan sarana pemaksaan, melalui polisi dan militer. Serta sarana untuk membentuk kepemimpinan hegemoni dalam masyarakat sipil melalui pendidikan, penerbitan, penyiaran dan sinema. Gramsci berusaha memperlihatkan bahwa ‘hubungan sosial dalam masyarakat sipil adalah hubungan kekekuasaan tepat seperti halnya hubungan keorsif dalam negara’. Kekerasan yang diterima oleh gay dan waria adalah kekerasan yang sistemik dalam hubungan koersif dalam negara. Bungkamnya masyarakat dan viktimisasi terhadap korban akibat pilihan orientasi seksual dan identitas gender serta ekspresi yang berbeda dari kebanyakan orang. Kondisi ini menunjukan hubungan sosial dalam masyarakat sosial yang ‘rapuh’.
Meski sudah terdapat payung hukum melalui UU No 39 tahun 1999 tentang HAM terkait dengan perlindungan, keamaan serta pemenuhan hak dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun. Tidak juga mengurangi banyaknya kasus- kasus kekerasan yang menimpa individu LGBTI. Pada penghujung Oktober tahun 2014 yang lampau, kita kembali diingatkan bahwa saudara- saudara kita dengan orientasi seksual dan identitas gender gay dan waria kembali diteror.
Kasus pembunuhan transgender Mayang Prasetyo seperti menguap di udara. Pembunuhan yang menghilangkan nyawa Mayang hanya dilihat sebagai kasus kekerasan domestik dan tindak pidana pembunuhan. Tidak dilihat bahwa pembunuhan ini dilatar-belakangi akibat status Mayang yang berorientasi seksual transgender. Dalam pemberitaan pembunuhan Mayang Prasetyo, media massa menggunakan terminologi ‘she-male’ yang melecehkan. Pemberitaan ini cukup menyakitkan karena menanggap pembunuhan terhadap Mayang Prasetyo memang dibenarkan karena Mayang merupakan individu yang menyimpang. Bahasa jurnalistik yang digunakan dalam pemberitaan seputar gay dan waria cenderung bersifat menghakimi dan menyalahkan serta menganggap mereka kriminal.
Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat menjadikan bentuk kekerasan terhadap Gay atau waria pun bertambah. Istilah cyber-bullying muncul dan hal tersebut dilakukan melalui SMS telepon genggam, pesan broadcast, informasi melalui internet dan berbagai jejaring sosial. Tak pelak, efek dari cyber-bullying seperti virus yang tidak terkontrol. Apalagi bila menyebar melalui jejaring sosial baik Facebook, Twitter, Instagram, ataupun personal message service seperti SMS dan BBM.
Kita mesti tetap bergerak. Tetap berdaulat terhadap hak kedirian yang paling asasi. Tahun sudah berganti. Kekerasan dan diskriminasi tidak diperkenankan bagi siapapun, termasuk kepada gay dan waria. Kenyataaan di lapangan bahwa sampai saat ini belum cukup upaya melakukan pembelaan terhadap gay dan waria karena sistem hukum tidak mengakomodir. Terutama mencegah sikap transphobia menyebar yang cenderung dibudayakan melalui pendidikan dan norma-norma lainnya. Masyarakat yang acuh dan diam harus segera dibangunkan dari tidur panjang dan buaian hagemoni kekuasaan.
Penghilangan serta pencegahan kekerasan dan diskriminasi sebetulnya dapat dimulai dari keluarga dan relasi sosial terdekat. Pendidikan formal dan informal yang bersifat inklusif dan multikultural perlu diperkenalkan kepada siswa secara bertahap sejak dini. Pendidikan seksualitas dan pengetahuan mengenai keberagaman identitas dan ekspresi gender wajib dikampanyekan dalam usaha pencegahan kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender.
Mengutip semangat Gramsci, kita harus terus bergerak. Terus menyalakan obor perjuangan dan terjun untuk membangun pendidikan populer terkait dengan seks, seksualitas dan gender. Kita perlu ‘mencekoki’ dan menghancurkan hagemoni normatif yang mainstream yang diracuni oleh orang- orang yang mengaku tak punya dosa dan berlindung dalam jubah-jubah putih agama selama ini.
Sebagai warga negara, saya menolak negara menjadi loyo dan impoten. Negara memiliki tanggung jawab menghapus segala bentuk diskriminasi dengan dasar apapun. Lebih lanjut, Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional hak-hak asasi manusia, seperti CEDAW dan dan hak-hak sipil politik (ICCPR). Bukankah ratifikasi dan pengakuan terhadap berbagai perjanjian internasional adalah sebuah itikad kebaikan terhadap upaya perlindungan LGBTI dari sikap diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual?
***
Referensi Bacaan
Antonio Gramsci, “Men or machine?”. Notes on The Rusiian Revolution (Grido del Popolo, 29 April), The Revolutin Against ‘Capital’. 1916.
Antonio Gramsci, “ The general confederation of labour” : Socialists and communists, Caporetto and Vittorio Veneto (L’Ordine Nuovo, 28 January), War is war (L’Ordine Nuovo, 31 January). 1921
Laporan Penelitian terhadap diskriminasi LGBTI, dilakukan oleh Arus Pelangi. Didokumentasikan pada hasil penelitian “Studi Kasus Diskriminasi Terhadap LGBTI”. Diunduh melalui laman http://www.oocities.org/arus_pelangi/statement/studsus_diskrim_lgbti.pdf.
“ Yogyakarta Principles”: on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity. Diunduh pada laman http://www.yogyakartaprinciples.org/
Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Sarjana dan Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.