Tragedi
Oleh: Anto Serean*
Suarakita.org- Lelaki berjaket hitam menyelinap kerumunan aktivis di pusat kota. Liar matanya membidik tulisan di poster yang dibentangkan menghadap jalan raya: TRANSGENDER DAY 2014. Gelegak amarah membakar hatinya. Ia mengedarkan pandangan, menyelidik aktivis yang berdatangan, puluhan. Masing-masing membawa poster, selebaran, brosur, berisi tuntutan penegakan HAM di negeri ini.
Senja merayu malam ke tepian.
Ia berbalik, berjalan terburu-buru ke parkiran, naik motor, lalu meluncur cepat menembus jalanan. Di otaknya terpetik rencana besar. Satu gerakan tunggal penghancuran. Motornya masuk ke dalam gang kecil, berhenti di ujung rumah berpagar hitam, markas. Turun dari motor, ia misuh-misuh,”Anjing! Banci-banci itu berulah lagi!”.
Lima lelaki tegap duduk santai di dalam rumah. Ia menjatuhkan pantatnya di atas sofa. Salah seorang bertanya,”Bagaimana?” Semua mata tertuju padanya. Ia menyalakan sebatang rokok, menghisapnya dalam, lalu berujar,”Sikat saja!”. Semua mengangguk. Paham apa yang akan dilakukan. Lantas, masing-masing beranjak dari duduk, bergerak.
Malam membuai harapan.
Mimpi-mimpi hidup dalam cita-cita. Puisi luka tentang waria terbunuh, menunut rengkuh. Syairnya mengudara ke telinga kota. Menusuk pendengaran orang-orang bebal rutinitas, abai penderitaan di sekitarnya. Orasi meledakkan langit. Kasus-kasus kekerasan kembali dibacakan, menuntut penanganan. Suara-suara disatukan menjadi pernyataan sikap, pada pihak-pihak yang bertanggungjawab dan pengambil keputusan. Demi perbaikan, masa depan lebih baik.
Kerumunan di pusat kota terlihat sebagai lentera pencerahan. Menyalakan pikiran orang-orang tertidur, lelap. Sepercik menggugah kesadaran. Bangunlah bangun para pelamun. Leluka butuh penyembuhan. Bangkitlah bangkit para pejuang. Waktu tak lagi menunda. Sekarang saatnya bergerak, meruntuhkan belenggu diskriminasi.
Lilin-lilin dibakar. Nyalanya menari-nari gemulai.
Doa-doa mengalun khidmat dalam labirin jiwa terdalam. Menumbuhkan kekuatan, menghadapi sejarah berulang tentang tubuh-tubuh terkapar tanpa peradilan, kekerasan tanpa perlindungan, luka tanpa obat, duka berkarat. Doa-doa menyatu, melenting ke semesta, menjelma pertanda semangat tak pupus, kemanusiaan.
Orang-orang berpelukan, berbagi kekuatan.
“Aku nebeng pulang ya.”
“Boleh. Tapi kita mau nongkrong dulu, ngopi-ngopi, sekalian evaluasi.”
“Oke.”
Seluruh perlengkapan dirapikan kembali ke dalam tas. Satu persatu aktivis meninggalkan pusat kota. Kelegaan terpancar dari raut puas. Acara sukses dan berjalan lancar. Tinggal sepuluh aktivis sibuk membersihkan sampah. Yakin semua beres, lalu melangkah ke parkiran. Berboncengan naik lima motor, beriringan, membelah riuhnya jalan raya.
Lampu-lampu menciptakan bayangan malam.
Jalan satu arah. Gerombolan lelaki berjaket hitam siaga di kanan-kiri jalan. Identitas ditutupi dengan helm. Mata-mata di baliknya garang menyisir setiap kendaraan lewat. Masing-masing tangan menggenggam pemukul kayu, pentungan, tongkat besi. Semua siap saat melihat lima sepeda motor melaju pelan, semakin dekat, posisi tepat. Satu kode, gerombolan itu merangsek maju, menghadang jalan, menghentikan sepeda motor aktivis.
Prak! Pentungan kayu menghajar kepala, sepeda motor oleng, aktivis jatuh tersungkur di aspal. Prang! Tongkat besi membentur sepeda motor, aktivis terguncang, lalu diseret turun dari sadel. Buk-buk-buk! Kaki-kaki menendang, kepalan tangan memukul-mukul, babak belur. Sepuluh aktivis terjebak kebrutalan puluhan gerombolan. Masing-masing bertahan, berteriak minta pertolongan, berusaha melepaskan diri.
Setelah menuntaskan aksinya, gerombolan itu berbalik arah, pergi meninggalkan korban. Rintih kesakitan membaui udara. Mengundang orang-orang datang, memberi pertolongan. Suara-suara bergemuruh memecah udara. Sepuluh aktivis terkapar di aspal dengan tanda tanya besar, apa motif di balik penyerangan ini?
Malam jatuh pilu.
Sepuluh aktivis digiring ke kantor polisi. Luka-luka lekas diobati. Petugas yang terkantuk-kantuk segera menyiapkan komputer, prosedur standar penanganan. Lalu, lidah tipisnya mengulang pertanyaan wajib: apa, di mana, kapan, bagaimana, siapa, mengapa. Bibir aktivis bergetar memberikan jawaban. Mengaduh sakit dalam amarah membuncah.
Kantor polisi ramai. Orang-orang jaringan berdatangan. Suara telepon nyaring, mengabarkan perkembangan terakhir. Dan kabar pun menyebar ke jaringan sosial. Pengguna Facebook dan Twitter mengecam pelaku, menuntut tindakan tegas, penyelidikan kasus. Seperti biasa, polisi menjanjikan penanganan secepatnya, membawa kasus ke ranah hukum, pengadilan.
Dini hari senyap meratap.
Sepuluh aktivis menahan luka tubuh dan luka batin, meninggalkan kantor polisi. Pulang ke rumah masing-masing. Benaknya disesaki tanya, akankah tragedi ini hilang tersapu waktu seperti kasus-kasus lain? Sejarah hitam yang terus menghitam tanpa menjadikannya putih. Mimpi buruk terjadi lagi, terbangun, lalu tidur dengan mimpi buruk baru.
Esok harinya, berita tragedi membanjiri media massa. Semua orang tergeragap, mengumpat, marah-marah, tak terima. Menjadikan tragedi sebagai bahan diskusi baru yang hangat dan seru. Berhari-hari orang menaruh simpati, menawarkan jalan penyelesaian. Spekulasi, langkah apa yang mesti ditempuh. Hari-hari pun mencair. Berita perlahan turun. Gaungnya semakin samar-samar, tak terkenali lagi.
Lalu kehebohan baru menarik mata semua orang. Syahrini menampilkan sensasi baru, maju-mundur cantik. Simpati pudar. Berganti tawa-tawa lucu penghibur kalbu. Langkah kaki Syahrini menjadi begitu penting, dibicarakan setiap hari. Oh luka, terbiar kau diejek tawa. Dan tragedi perlahan hilang dari perhatian, mengendap di alam bawah sadar, tak tersentuh.
Sementara itu, di kedalaman jiwa, sepuluh aktivis berjuang menghadapi trauma…
Madiun, 18.12.2014, 21.19 WIB
*Antok Serean, penulis. kunjungi blog Anto di alamat: www.kampunglanang.wordpress.com