Oleh: Arief Rahardian*
Suarakita.org- Well, awalnya pagi hari ini nampak seperti pagi-pagi lain yang udah gue lalui. Gue masih jomblo, masih bangun siang, dan masih mengharapkan semangkuk foie grass yang muncul secara ajaib di meja makan alih-alih buncis dan tempe. Namun semua berubah setelah gue nge-check grup line SGRC-UI, tahu ‘kan SGRC-UI? itu-loh perkumpulan orang-orang ganteng dan cantik yang tertarik sama masalah gender dan seksualitas di UI, kalo gak tau cek twitter-nya ya di @SGRCUI (promosi :D).
Oke, balik ke topik. Apa yang gue temukan setelah nge-cek grup line itu adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Lebih mengejutkan dari rambutnya Anne Hathaway yang tetep rapih setelah muter-muter black hole di film Interstellar, kebayang kan?. Inilah yang gue lihat, eng-ing-eng…
(“Saya merasa penderita LGBT masih bisa disembuhkan, dan kita bisa berusaha untuk meminimalisir penganut LGBT”- Taufik.)
Gila cuy! ada yang buka twitter Pemira [1] jam 12 malem, kaya enggak ada kerjaan aja dah. Oke sebenernya bukan itu fokusnya, tapi konten tweet-nya sih. Jadi, bung Taufik yang kalo enggak salah Wakabem UI ini ditanya mengenai “Ada isu Jokowi mendukung LGBT, pendapat kalian bagaimana” dan begitulah responnya. Kalo dibaca-baca lebih lanjut, calon kabem-nya pun ‘kurang setuju’ dengan LGBT, tapi karena itu pribadi hak dia, mari kita abaikan sementara. Sebenernya yang agak unik buat gue adalah statement-nya bung Taufik di atas sih, ada dua poin yang gue bisa garis bawahin, pertama LGBT itu penyakit, dan yang kedua, LGBT itu ideologi. LGBT bisa diderita, dan bisa dianut (gue baru tau kalo ada orang yang menganut penyakit anyway).
Well, pertama-tama, homoseksualitas sendiri udah ga dianggap sebagai penyakit lho bung, coba deh googling atau iseng-iseng baca DSM[2]. Sudah 40 tahun lamanya homoseksualitas dikeluarkan dari jenis gangguan jiwa, jadi ya monggo di update software-nya, sudah windows 10 tapi masih pake DOS[3] ‘kan enggak lucu toh.
Yang kedua, gue sendiri baru tau kalo LGBT itu paham, dan bisa dianut. Mungkin bung salah membedakan antara LGBT dan toleransi? eh kalo salah bedain berarti bung gak setuju dengan toleransi? aduh maaf saya jadi main cocoklogi. Anyway, LGBT itu mengacu pada kategori sosial sih, bukan ideologi atau paham.
Yang ketiga, meminimalisir. Hmm, peneliti aja masih pada bingung menentukan orientasi itu nature atau nurture sifatnya, tapi bung sudah bilang bahwa ini bisa diminimalisir, berarti saya kurang update dengan riset-riset seksualitas terbaru ya, terima kasih atas infonya.
Yang terakhir, gue nulis ginian bukan karena gue homo, enggak punya kerjaan selain tidur-tiduran sambil nangis gara-gara enggak punya pacar atau lagi nungguin donlotan[4] bokep gue. Gue nulis ini buat mancing biar yang baca pada coba riset dulu sebelum ngomong di depan publik, gitu aja sih. Manusia gak seharusnya takut sama hal-hal yang menurut mereka aneh, harusnya mereka ingin tahu. Saat lo ngerasa takut instead of ingin tahu, tandanya ada sesuatu yang menghalangi elo buat kepo, apalagi kalo bukan nilai-nilai yang lo anggap taken for granted itu?.
*Penulis, Rahadian Arief, merupakan mahasiswa sosiologi UI angkatan 2011, kupu-kupu dan hobi main game, tertarik dengan isu seksualitas dan video game studies.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan tanggapan dari penulis mengenai komentar kandidat tersebut. Redaksi sengaja tidak menyunting total tulisan agar tidak hilang kesan otentiknya.
Glosarium:
1. Pemira: Pemilihan Raya, kegiatan untuk memilik Ketua BEM yang baru.
2. DSM : Diagnostic and statistical manual of mental disorder, sistem klasifikasi gangguan-gangguan mental yang paling luas diterima.
3. DOS : Disk Operating System, sistem operasi yang digunakan di komputer pribadi paling tua.
4. donlotan : unduhan