Suarakita.org- Derap pertumbuhan ekonomi berimbas pada keragaman bahasa, kata ilmuwan. Sebuah studi mengungkap, wilayah yang makmur mengalami kepunahan bahasa jauh lebih cepat ketimbang kawasan lain
Kemakmuran ekonomi adalah musuh terbesar bahasa minoritas, begitulah kesimpulan sekelompok ilmuwan Eropa dan Amerika Serikat yang diterbitkan di jurnal ilmiah, Royal Society Journal.
Berbasis pada hitung-hitungan yang dipakai untuk mengungkap risiko kepunahan pada hewan dan tumbuhan, mereka menyimpulkan sepertiga dari sekitar 6900 bahasa di dunia terancam kehilangan penuturnya dalam beberapa tahun ke depan.
Australia dan Amerika Utara saat ini diyakini menyimpan ancaman terbesar buat bahasa minoritas.
Punah Lebih Cepat Ketimbang Flora dan Fauna
“Bahasa menghilang dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat ketimbang kepunahan keragaman hayati,” tulis ilmuwan dalam laporannya. “Bahasa berpopulasi kecil terancam di wilayah yang maju secara ekonomi karena kehilangan penuturnya.”
Contohnya di Alaska, 2009 lalu cuma terdapat 24 penutur bahasa suku Athabaskan. Bahasa ini tidak lagi dipelajari oleh generasi muda. Adapun bahasa Wichita milik suku Indian di Amerika Tengah, 2008 lalu cuma memiliki seorang penutur fasih.
Sementara di Australia, bahasa kaum Aborigin seperti bahasa Margu yang baru punah atau Rembarunga yang terancam, “perlahan tapi pasti mulai menghilang,” tulis tim ilmuwan dalam laporannya.
“Wilayah yang maju secara ekonomi seperti Amerika Utara dan Australia, telah berulangakali mengalami kepunuahan bahasa.” Namun begitu ilmuwan memastikan, bahasa berpopulasi kecil
masih hidup di sejumlah titik Hitspots di wilayah tersebut.
“Bahasa-bahasa itu membutuhkan perhatian karena risiko kepunahannya yang tinggi.”
Risiko Terisolasi
Risiko besar juga muncul dari negara-negara berkembang yang sedang menikmati pertumbuhan ekonomi pesat, seperti Brasil, Indonesia dan Nepal.
Selama penelitiannya ilmuwan memgumpulkan data terkait jumlah penutur, letak dan jangkauan geografis serta tingkat harapan hidup dan pertumbuhan demografi. Mereka kemudian mempertimbangkan pengaruh lain seperti globalisasi atau perubahan lingkungan dan sosio-ekonomi.
Perbandingan data yang mereka ajukan menampilkan “level produk domestik brutto per kepala berkorelasi dengan menyusutnya keragaman bahasa. Semakin sukses sebuah perekonomian, maka semakin cepat pula keragaman bahasa menghilang,” tulis tim ilmuwan dari Universitas Cambridge itu.
“Orang dipaksa beradaptasi pada bahasa yang lebih dominan atau mengambil risiko terisolasi secara ekonomi atau politis,” kata salah satu peneliti Tatsuya Amato.
Sumber: dw.de