Suarakita.org- Sebagai Antropologis, Álvaro Laiz berkesempatan menjumpai penduduk di Caracas sebuah tepian timur terpencil dari kota Venezuela, dimana masyarakat adat yang dikenal dengan sebutan Warao telah tinggal selama abad Milenium ini.
Laiz hendak mencari tahu apa yang ia dengar tentang “Tida Wena” atau perempuan berpilin, sebuah sebutan yang diperuntukkan bagi transgender dalam suku Warao, karena Laiz sendiri telah bekerja untuk proyek global yang berkaitan dengan identitas transgender pada masyarakat adat dan nomaden.
“Bagiku semua ini tentang identitas,” ujar Laiz. “sebagaimana hal itu pula yang menjadikan apa adanya dirimu.”
Seperti pada perempuan lainnya, seorang tida wena cenderung bekerja dirumah, memasak, merawat anak-anak dan orangtua. Para tida wena juga berpartisipasi pada perayaan musim panen, seperti panen “ocumo chino – talas” atau mengolah tepung dari umbi-umbian. Menurut sejarah, tida wena dulunya kadang menjadi istri kedua atau ketiga dari laki-laki yang berpoligami. Mereka juga pada situasi tertentu memainkan peran sebagai dukun – tradisi perdukunan sendiri telah sangat mengakar dalam budaya suku Warao – dan tida wena secara khusus dianggap memiliki dua sukma, dimana membawa mereka lebih dekat kepada roh-roh leluhur yang mengembara dihutan.
Dua identitas jiwa dari transgender tersebut sangatlah umum ditemukan pada komunitas masyarakat adat – Will Roscoe, seorang antropologis dan aktivis, mengidentifikasi sekitar 130 contoh serupa terdapat pada suku Indian Amerika. Meskipun secara tradisional ada integritas dan penghormatan diantara komunitas mereka, pelanggaran norma sosial yang berasal dari luar Venezuela dan menyalahkan atas merebaknya penyakit HIV telah mengancam keterhubungan pada kesejahteraan tida wena yang telah dinikmati selama berabad-abad.
Meskipun Laiz sendiri sudah terbiasa bekerja di lingkungan asing dan terpencil, namun bekerja diantara desa-desa yang terisolir jauh tertimbun diantara hutan-hutan bakau sangat menantang.
“Pada waktu itu sangat sulit,” ujar Laiz. “Suku Warao benar-benar terasing dari wilayah bagian Venezuela. Semacam pergi ke luar angkasa, karna anda tidak bisa menjejakkan kaki ditanah yang padat.”
Hari pertama perjalanan Laiz didaerah itu, dia menghabiskan dua minggu di komunitas Warao menyerap semua apa yang ia bisa mengenai kehidupan suku Warao. Semakin dia belajar mengenai orang-orangnya, semakin dia menyadari bahwa lingkungan sekitar mereka begitu penting untuk dipahami tentang siapa mereka, dan semakin efektif pula pekerjaannya dalam merepresentasikan lanskap daerah itu.
Bagi suku Warao, setiap hari kehidupan mereka yang telah berkisar 8500 tahun berinteraksi ditengah rerimbunan dan lahan yang liar dari delta Orinoco, dimana kini modernitas berusaha menganggu. Suku Warao memiliki mitra dagang yang cukup lama dengan suku tetangga dan para penyeludup di masa kolonial, seperti Spanyol dan Belanda, meskipun begitu pengasingan secara geografis berpengaruh besar untuk melindungi suku mereka. Dan masa itu telah jauh berlalu, beberapa tahun terakhir tradisi suku Warao justru dikacaukan oleh endemik kemiskinan, prevalansi penyakit yang tinggi seperti HIV dan TBC, dan bahkan kedatangan misionaris Roma Katolik yang dimulai pada awal abad 20.
Diakhir tahun 1990-an, sebuah penemuan cadangan minyak bawah tanah dari delta Orinoco selanjutnya mengancam penghidupan suku Warao, dan meningkatnya transportasi dan komunikasi mengawali rutinitas kunjungan dari turis kaya. Menurut Laiz hal tersebut menimbulkan masalah unik, karena suku Warao menjadi terbiasa meminta bayaran untuk berfoto didepan kamera.
“Situasi itu menyulitkan untuk diubah diantara relasi mereka yang rapuh dan saya,” kata Laiz. Jadi ketika itu Laiz akhirnya membawa sebuah alat cetak dan memberikan setiap foto kepada tiap subjeknya. “Kejadian itu cukup berhasil. Segera sesudah satu dari mereka memperoleh fotonya, yang lain jadi ikutan mau difoto oleh saya.”
Tahun depannya, Laiz melakukan perjalanan keduanya selama 10 minggu. Setelah digunakan untuk tugas majalah cepat, Laiz mengatakan bahwa proyeknya mengenai komunitas transgender dan grup-grup sensitif lainnya secara mendalam memengaruhi bagaimana dan apa yang Laiz foto.
“Saya paham saya butuh banyak waktu untuk mengerti orang-orang yang saya foto,” ujar Laiz. “Mencoba untuk tidak merasakan apa yang mereka rasakan, karena hal itu tidak selalu memungkinkan, tetapi paling tidak mengerti sebagaimana apa adanya mereka. Hal ini adalah sebuah proses.”
Bagi Laiz, proses tersebut bertujuan untuk mendorong penonton supaya “mengubah pola pikir mereka” terhadap bagaimana mereka merasakan kehidupan dari grup-grup itu.
“Kita terbiasa menyaksikan kelompok minoritas seperti transgender dan homoseksual,” ujar Laiz. “Mereka tidak diterima oleh masyarakat, tapi diantara mereka adapula yang diterima pada kelompok sosial tertentu – kehidupan malam, prostitusi – karena mereka tidak diizinkan menjadi bagian dari kehidupan sosial atau gaya hidup yang biasa.”(Jane Maryam)
Sumber: The New York Times