Duka Seratus Cambuk
Oleh: Antok Serean*
1.
Suarakita.org- Ibu, satu-satunya alasan pulang ke Aceh. Saat semua umat menolaknya, Ibu berlapang dada mengalirkan telaga kata-kata,”Manusia beradab, Nak, harus adil pada diri sendiri, sebelum adil pada orang lain. Lelaki atau perempuan adalah makhluk terindah Tuhan. Pilih yang adil bagi diri kamu sendiri. Cinta yang adil, Nak, pembuka pintu gerbang kemanusiaan.”
Tangisnya luruh dalam pelukan Ibu. Itulah air mata terakhir yang tumpah. Ia berjanji pada dirinya sendiri, pada ibunya, tak akan merajuk sedih. Kekuatan ibunya menjadi bara api penguat pilihannya mencintai sesama lelaki. Lalu ia pergi, meninggalkan Aceh, merantau ke Jakarta, mengibarkan panji-panji kemanusiaan. Ia merelakan tulang dan darah asalnya, menjadi pribadi lain, demi menggapai mimpi.
Lima tahun beringsut cepat. Ia tergugah kembali ke Aceh. Kabar air mata menderanya: Ibunya meninggal dunia.
2.
Lafaz doa menguar ke penjuru rumah. Ia duduk di pojok, membaca Yasin, khidmat. Hari ketujuh kematian ibunya, dan ia masih dianggap anak hilang terlantar pulang. Ayah dan saudara laki-lakinya tak mengucap sepatah kata. Orang-orang kampung membara dendam kesumat bertahun lalu. Ia menjadi asing dalam leluhurnya. Hanya Ibu, ya Ibu, alasannya bertahan di sini.
Meskipun telah berkalang tanah, ia dapat merasakan kehadiran ibunya. Perempuan bermata teduh itu mengajarkan mengaji dan mengkaji. Menguraikan makna cinta di kedalaman wahyu Tuhan. “Manusia, Nak, punya penggerak di hati nuraninya. Tak ada yang tahu selain manusia itu sendiri. Hati nurani, Nak, menjadi percuma bila tak diwujudkan dalam lelaku,” petuah ibunya.
Ia percaya ibunya, setelah percaya Tuhan. Maka, ia mengikuti ujarannya, berpijak pada hati nurani. Pertama-tama mencintai dari jenisnya sendiri, lelaki. Kemudian menolak pernikahan lelaki-perempuan, juga perjodohan yang diatur Ayahnya. Ia mendapatkan kekuatan dari cinta teguh nan utuh, yang diwujudkan dalam lelaku hidup.
Tetapi, Ayah, saudara laki-lakinya, dan orang-orang Aceh adalah manusia jenis lain, yang tunduk pada perhitungan-pertimbangan hitam-putih: tak ada tempat bagi liwath. Maka, malam itu, sidang keluarga memutuskan: menikahi perempuan atau keluar dari Aceh. Ia menoleh pada Ibu, menyelami bening matanya, mencari pertanda penguat jiwa. Ia berpaling pada Ayahnya, mendongak tegak, menghadap sejajar sebagai manusia beradab,”Aku memilih pergi dari Aceh.”
Suara-suara menghinakan mendengung kencang menyakitkan batin. Ia tak mengizinkan keyakinannya terusik. Batinnya menggemakan petuah Ibu, yang terus-menerus dirapal laiknya doa. Ia bersujud pada ibunya. Meminta maaf atas segala lalai. Lalu keluar rumah tanpa menengok ke belakang. Teguh pendirian.
Ia tak ingin meninggalkan luka. Namun kekasih lelaki muncul, mengantarkan kepergiannya,”Hati-hati dan jaga diri, Teuku.” Ia memeluknya sangat erat.
3.
“Teuku…”
“Jangan panggil aku ‘Teuku’. Aku bukan orang Aceh lagi. Panggil aku Al.”
“Bagaimanapun ‘Teuku’ berdarah dan bertulang Aceh.”
“Dahulu. Sekarang tidak lagi.”
Keduanya duduk bersisian di tepi tempat tidur. Canggung. Ia menyelami kekasihnya, yang terpaksa takhluk pada adat, budaya, dan peraturan yang dibikin segelintir orang. Kekasihnya menikahi perempuan pilihan orangtuanya, punya dua anak, hidup dalam rumahtangga, laiknya orang lain. Tetapi, ia tahu, hatinya tetap utuh untuknya. Kekasih segala zaman, sejauh apapun ia berpetualang, hatinya terpaut satu padanya.
“Teuku…”
Ia meraba kerinduan tertahan dalam penyebutan namanya. Pengharapan, antara mengulang keindahan dengan menyerah pada kenyataan. Ia menyentuh wajah kekasih yang tertunduk. Mengangkatnya, menghadapkan dengan wajahnya. Keduanya menyatukan mata, selam-menyelam perasaan. Lima tahun terpisah rupanya mengkristalkan rasa. Keras membatu di hati. Sekarang, kesempatan mencairkannya kembali.
Benteng pertahanan rubuh. Keduanya berpelukan erat. Air mata meleleh, membanjir, membasahi pipi. Mata air cinta mengalir deras, menyejukkan hati keduanya. Menit-menit bergulir dalam pemuasan kerinduan. Keduanya tak ingin terpisahkan.
Malam mengendap sunyi. Rindu yang meluber membakar setiap inci kulit. Panas merajuk tubuh. Pelukan berbuah pagutan. Keduanya tak peduli lagi pada dunia di luar sana. Terus meneguk manisnya madu perjumpaan. Menjelajah setiap bagian tubuh tanpa jeda. Cinta mengabaikan segala dari waspada, pertanda luka.
Tanpa sadar, di luar kamar, orang-orang kampung menyaksikan semuanya.
4.
Keduanya diseret orang-orang kampung keluar kamar, bak menyeret hewan buruan. Tak diizinkan berpakaian. Hanya mengenakan celana dalam. Ia berbisik pada kekasihnya,”Jangan biarkan orang-orang ini menjajah cinta kita. Kita harus melawan tanpa tangisan!” Ia menguatkan rahang, menantang ketidakadilan. Sepuluh orang membiak puluhan, lalu ratusan. Keduanya diarak keliling kampung. Dilemparkan ke muka kantor desa.
Sekilas ia menangkap wajah Ayah dan saudara laki-lakinya. Seperti pandangan orang-orang kampung, menatap jijik dan hina. Tak ada tempat berpijak selain dirinya sendiri. Suara-suara di sekelilingnya menyeru keras-keras: haram, dosa, najis, terkutuk!
Ia memekik lantang,”Aku berdarah dan bertulang Aceh seperti kalian. Mengabdi pada cinta suci kemanusiaan. Mengapa kalian perlakukan aku seperti binatang?! Ini tidak adil! Kalian telah mengingkari leluhur sendiri!”
Suaranya tenggelam ditelan teriakan begitu banyak orang, yang kalap mendamba tontonan siksaan. Kepala desa angkat bicara,”Tenang semuanya. Kita selesaikan masalah ini sesuai hukum yang berlaku di Aceh.”
Keduanya diseret masuk ke dalam kantor desa. Dicecar berbagai pertanyaan. Ia menjawab penuh keyakinan,”Ya, aku homoseksual. Mencintai dia, lelaki kekasih hati. Apa salahnya?” Kepala desa geleng-geleng kepala, menggumam,”Liwath terlarang di Aceh. Haram!”
Kekasihnya terus mencengkeram lengannya, mencari kekuatan-keberanian. Orang-orang kampung, saudaranya, tiba-tiba berubah menjadi jagal dalam satu malam. Di mana kasih sepenanggungan? Saling tolong dan membantu? Asing. Orang-orang kampung, saudaranya, putus nadi ibanya, hanya lantaran cinta yang dipilihnya. Pedih-kecewa-luka meradang dada, menjatuhkan dalam ketidaksadaran. Pingsan.
Ia menguatkan diri, tegar menghadapi ketidakadilan.
5.
Di Aceh, peradaban manusia terperosok jatuh ke zaman primitif. Inilah maklumat Qanun Jinayat Pasal 61 perihal Liwath:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Liwath diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir’ paling banyak 100 (seratus) kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
(2) Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir’ cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.
(3) Setiap orang yang melakukan liwath dengan anak, selain diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah dengan cambuk paling banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
Ia merasa dikhianati bangsanya sendiri. Di zaman ketika hak asasi manusia kukuh diperjuangkan, ia menjadi korban ketidakadilan. Ia sedih, bangsanya tak mampu beranjak dari keterpurukan, berdiri sebagai bangsa bermartabat. Terus tergelincir dalam kegelapan.
Ia menghubungi Jakarta. Memohon bantuan hukum. Teman-temannya bergerak, berupaya sebisa mungkin membebaskannya. Surat protes melayang ke berbagai instansi pemerintah. Dunia internasional menyoroti sebagai ketimpangan hukum. Berbagai pendekatan dilakukan untuk membatalkan peraturan diskriminatif itu.
Namun, faktanya…
5.
Ketika cambuk melecut tubuhnya, yang terbayang wajah teduh ibunya, mengalirkan kasih tulus. Kata-kata ibunya kembali terngiang,”Manusia beradab, Nak, harus adil pada diri sendiri.” Senyumnya mengembang. Ia tak menyesali pilihannya. Teguh mengikuti hati nurani, mencintai lelaki. Ia telah berlaku adil, bermartabat bagi dirinya sendiri.
Seratus cambuk melukai tubuhnya, mengalirkan darah merah, berusaha mematahkan keyakinannya. Orang-orang melihatnya kalah. Namun jiwanya terbang sebagai pemenang.
“Ibu, rengkuh aku dalam titahmu…
Madiun, 25.09.2014, 12.09 WIB
*Anto Serean, Penulis dan Cerpenis