Search
Close this search box.

Resensi Buku: Politik, Gender, & Ruang Publik, Narasi Kritik Pemikiran Jurgen Habermas

Cover Buku  (Sumber : Komnas Perempuan)
Cover Buku
(Sumber : Komnas Perempuan)

Oleh: Elwi Gito

Suarakita.org- Membaca buku ini memaksa kita untuk berpikir kembali apa itu ruang publik, siapa yang mendominasi ruang publik dan apakah ruang publik yang dideskripsikan oleh Jurgen Habermas sudah terealisasi?

Jurgen Habermas di tahun 1962 mengajukan konsep Strukturwandel der Offentlichkeit yang menekankan bahwa negara demokrasi yang sehat dipengaruhi oleh ruang publik yang sehat. Ruang Publik oleh Habermas didefinisikan sebagai berkumpulnya orang-orang untuk berdiskusi berdasarkan rasionalitas. Mula-mula, ruang publik muncul ketika orang-orang borjuis berdiskusi tentang sastra, politik di kedai-kedai kopi di Prancis.

Dewi Candraningrum dengan kerangka teori feminisnya mengkritik konsep Habermas tersebut. Bagi Dewi, Habermas adalah seorang filsuf yang buta gender. Habermas lupa memikirkan tentang yang liyan di ruang publik. Ruang publik tidak menyediakan keadilan dan kesetaraan yang sama bagi perempuan, dan kelompok gender ketiga untuk ikut berpartisipasi aktif dalam ruang publik tersebut.

Narasi kritik tersebut ditulis dengan begitu lugas, tanpa keragu-raguan. Diksi yang dipakai mencerminkan pemikiran Dewi Candraningrum yang selalu curiga atas ketidakadilan yang terjadi yang mungkin saja tidak banyak disadari oleh publik. Dewi mengajukan begitu banyak pertanyaan pada konsep ruang publik ala Habermas ini. Ia lebih lanjut, menarik konsep Habermas dari Prancis ke Indonesia dengan mencontohkan tentang Hik-Hik dan Omah-Omah Wedangan di Solo.

Di sisi lain, Dewi Candraningrum juga mengkritisi tidak adanya budaya membaca yang kuat di dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat nir-literasi semakin membuat konsep ruang publik Habermas terasa utopis!  Masyarakat Indonesia terbiasa mencari informasi lewat kotak televisi. Kotak televisi digambarkan oleh Dewi sebagai kotak-kotak paling nestapa yang mengalami modus-modus eksploitasinya.

“Keruntuhan ruang publik biasanya dimanipulasi oleh dogma, teror, bias, yang merekatkan Negara dan manusia sipil secara semu dan dipenuhi dengan muslihat. Tatkala Negara terlalu mengangkangi sipil, maka ruang publik menjadi terciderai” (Hal 15)

Yang menarik juga dari buku ini adalah fakta bahwa kita tidak hanya akan membaca pemikiran Dewi Candraningrum seorang. Buku ini juga menyajikan 3 tulisan lagi dari 3 penulis yang berbeda, yang masing-masing berangkat dari pemikirannya sendiri-sendiri dalam melihat ruang publik ala Habermas ini. Angelika Riyandari, misalnya, Ia menitikberatkan tulisannya pada majalah wanita. Angelika mengkritisi majalah wanita yang isinya lebih banyak tentang peran-peran domestik seorang perempuan. Konsep masyarakat literasi yang mengharuskan masyarakatnya memiliki budaya membaca yang kuat sebagai pra syarat dari ruang publik yang sehat akan semakin sulit terwujud bila majalah wanita yang segmentasi utamanya adalah wanita tidak menyajikan isu-isu kritis.

Secara umum, buku ini mengajak kita untuk selalu mencurigai ketidakadilan-ketidakadilan yang dialami oleh yang liyan yang sering kali tersamar. Walau pada akhirnya, Dewi Candraningrum juga mungkin lupa mencurigai tentang motif pengajuan konsep ruang publik ala Habermas ini. Jangan-jangan Habermas tidak sedang lagi menggambarkan realita, tetapi ingin menggambarkan tentang cita-cita. Para penulis juga pada akhirnya tidak memasukkan unsur entitas sebagai yang liyan. Penulis membatasi diri pada unsur gender untuk menggambarkan yang liyan.

Akhir kata, selamat membaca, menelaah, dan berpikir apa itu ruang publik? Sudahkah kita menjadi aktor utama di ruang publik, atau kita adalah yang liyan?

 

Tulisan pernah dimuat di Newsletter Komnas Perempuan Agustus 2014