Search
Close this search box.

[CERPEN]: Ibu Saya Lelaki

Ibu Saya Lelaki

Oleh : Anto Serean*

Suarakita.org-Sejak Ibu meninggal dunia; Ayah tak bahagia. Kabut hitam menyelimuti wajahnya. Tak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Saya tak tahu penyebabnya. Yang saya tahu, rumah terasa sepi, kosong, dan mati. Ayah ada, tetapi tak hadir. Seolah hidup dalam dunianya sendiri. Saya juga sedih kehilangan Ibu. Namun bisa mengikhlaskannya. Siapakah yang bisa menolak kematian? Tak ada. Segala yang lahir pasti kembali ke asalnya.

Tiga tahun berlalu, Ayah masih dirundung pilu. Saya mendengar keluhnya,”Seharusnya Ayah yang mati, bukan Ibu.” Ayah, manusia tak bisa memilih kematian. Jadwal ditentukan Tuhan. “Tanpa Ibu, hidup tak ada artinya lagi,” ratap Ayah putus asa. Ayah, arti hidup dimaknai manusia itu sendiri, bukan orang lain. Ayah, pulanglah pada kenyataan. Relakan masa lalu, tatap masa depan. Ibu tak mungkin kembali, ikhlaskan pergi.
Setiap hari, Ayah bekerja pagi pulang malam. Di rumah, sibuk dengan laptopnya. Saya sekolah pagi pulang sore. Di rumah, asyik menonton televisi. Bahkan di hari libur, Ayah menenggelamkan diri mengutak-atik mobil atau merenovasi rumah. Saya bermain dengan teman-teman sekolah. Tak ada obrolan, apalagi tawa-canda. Bicara seperlunya saja. Saya dan Ayah tinggal bersama, tapi terpisah. Entah apa yang memisahkan.

Lambat laun, saya merasakan ruang kosong di hati, yang seharusnya terisi. Seringkali, dada sesak, kepala pusing, dan air mata menetes di luar kendali. Saya merasa sedih dan terluka, tanpa tahu menawarkannya. Di titik kerentanan, saya menyadari kenyataan, telah kehilangan Ibu sekaligus Ayah, tanpa tahu mengembalikannya.
***

Ajaib. Ayah tersenyum lagi.

Malam itu, saya mengerjakan pekerjaan rumah di ruang tamu, Ayah menelepon di teras. Saya pikir, lima menit selesai. Ternyata lama sekali, nyaris satu jam. Saya meninggalkan buku pelajaran, mengintip Ayah dari balik jendela, terkaget luar biasa. Ayah bicara sambil tersenyum manis. Seolah cairan madu menetes dari bibirnya. Kabut hitam di wajahnya sirna, berganti terang bulan purnama. Untuk pertama kali, sejak kematian Ibu, saya merasa lega. Harapan, Ayah kembali, seindah matahari membelai bumi.
Ayah menutup teleponnya, saya bergerak cepat menekuri buku pelajaran. Ayah masuk ke ruang tamu, sinar matanya cerah, lalu berucap ringan,”Miky, yuk masak nasi goreng.” Saya kaget. Entah kapan terakhir kali masak nasi goreng bersama, bertahun lalu. Hati saya bungah. Ayah telah benar-benar kembali. Saya mengangguk, lalu mengikuti Ayah ke dapur.

Seperti dulu, saya menyiapkan lombok, bawang merah, bawang putih, garam, dan telur. Ayah tak suka bumbu instan, juga saos dan kecap. Tidak alami dan kurang sedap, katanya. Saya berikan semua bumbu itu, Ayah meraciknya. Saya menyalakan kompor, memasang wajan, lalu memasukkan margarin. Saya lebih suka margarin daripada minyak goreng. Lebih nikmat. Saya memasak nasi goreng, Ayah menyiapkan kocokan telur untuk omelet. Ayah jago bikin omelet, enak sekali.

Dua piring nasi goreng dan dua piring omelet tersaji di meja makan. Saya dan Ayah duduk berhadapan. Di sela-sela makan, Ayah bertanya ringan,”Kalau Miky punya Ibu baru, mau nggak? Saya menjawab santai,”Mau banget, Yah.”
Usai makan malam, Ayah mengajak main playstation. Saya girang sekali. Saya dan Ayah duduk menghadap televisi. Tak berapa lama, tawa-canda pecah menghidupkan suasana rumah. Saya kian yakin, Ayah telah kembali. Apalagi ditambah Ibu baru. Wah, keceriaan masa lalu akan hadir lagi di masa depan. Semoga.

Sebelum tidur, Ayah bilang,”Minggu depan, Ibu baru kamu main ke rumah. Semoga kamu senang.” Saya membalas,”Kalau Ayah senang, Miky juga senang. Selamat tidur, Yah.” Malam itu, saya tidur nyenyak sekali. Bermimpi tentang Ibu baru yang digandeng Ayah, dan saya diajak jalan-jalan ke pantai, menikmati debur ombak dalam harmoni keluarga utuh.
***

Saya telah berpakaian rapi, lengkap dengan semprotan minyak wangi. Ayah berlama-lama memacak di depan cermin. Saya perhatikan, penampilannya berubah. Ayah memakai celana jeans biru, kaos berkerah putih, dan sandal kulit. Berulangkali menyisir rambutnya. Awalnya dibelah samping, diubah lagi diluruskan ke belakang. Ah, sudah waktunya Ayah potong rambut. Terakhir, Ayah menyemprotkan minyak wangi. Lalu mematut-matur lagi.

Mobil hitam datang. Saya berteriak,”Yah, Ibu sudah datang.”
“Iya, tunggu sebentar,” sahut Ayah.

Yang turun dari mobil bukan perempuan, tapi lelaki. Terlihat lebih muda dari Ayah. Penampilannya licin dari atas sampai bawah, seperti artis sinetron. Dia menyapa lebih dulu,”Oh, ini yang namanya Miky ya. Ganteng sekali.” Saya mengangguk. Dia menambahkan,”Miky suka film animasi ya?” Saya membalas riang,”Suka sekali, Om.” Dia tergelak,”Saya kelihatan tua ya kok dipanggil Om. Panggil saja Miko.” Saya membatin. Kok namanya mirip, Miky-Miko.

Ayah mengunci pintu rumah. “Yuk, berangkat,” ajak Ayah sambil menggandeng saya dan merangkul Miko, lalu masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Miko tak henti menebar perhatian. Bertanya tentang sekolah, hobi saya main bola, sampai kegemaran makan bebek goreng. Pasti Ayah yang memberi tahu. Saya senang mendapatkan perhatiannya. Tetapi, lebih senang lagi melihat Ayah bersiul-siul gembira mengikuti irama lagu di mobil.

Di bioskop, saya duduk di antara Ayah dan Miko. Diam-diam saya perhatikan Ayah yang tertawa-tawa lepas. Lalu berpaling ke Miko yang mengelus-elus rambut saya. Kulitnya putih dan bersih sekali. Aroma tubuhnya sangat wangi. Entah kenapa, Miko mengingatkan saya pada kehangatan Ibu..

Kebahagiaan itu dilanjutkan di rumah. Saya, Ayah, dan Miko menyantap bebek goreng. Sambil lalu, Ayah bilang,”Miko, kamu tidur sini saja. Besok kan libur kerja.” Miko menyahut singkat,”Nggak ah.” Saya menyambar,”Iya, Miko tidur sini saja. Biar Miky ada temannya.” Ayah tersenyum-senyum. “Oke, deh. Ayah sama anak kompak ya,” jawab Miko sambil mengusap mulutnya dengan tisu.

Selesai makan, saya, Ayah, dan Miko tiduran menghadap televisi. Kekenyangan. Saya mengantuk sekali. Lelucon Soimah di televisi tak lucu lagi. Pelan-pelan, saya menutup mata, tidur, menjemput mimpi. Lagi-lagi, saya bermimpi tentang keceriaan di taman bunga. Ayah bikin lanjaran bambu. Miko menyiram tanaman. Saya memetik bunga. Indahnya.

Dini hari, saya terjaga. Dorongan pipis tak bisa ditahan lagi. Oh, Ayah dan Miko tak ada. Saya berjalan ke kamar mandi dengan malas. Saat melewati kamar Ayah, saya berhenti, mendengar deru nafas dan erangan tertahan. Saya tak kuat lagi menahan pipis, berlari tergesa ke kamar mandi, mengucurkan air seni, sambil memikirkan yang dilakukan Ayah dan Miko di kamar sana.
***

Kehadiran Miko mengubah Ayah.
“Miky, yuk ikut Ayah ke salon.”
“Ke tukang cukur rambut, Yah?”
“Bukan. Ke salon. Kata Miko, Ayah harus dipermak biar tak ketinggalan zaman hehe…”
“Oh gitu.”

Saya menurut saja. Sampai di salon, Miko menyambut hangat. Saya dan Ayah duduk bersisian. “Dibikin kayak rambut saya ya, Jeng,” ujar Miko pada lelaki gemulai yang memegang gunting. Saya menatap gaya rambut Miko dari cermin. Oh, dibikin kayak penyanyi dangdut Beniqno. Jambul tebal di tengah, kanan-kiri tipis.

Pulang dari salon, saya, Ayah, dan Miko seperti tiga penjahat berjambul. Semangat menyerbu mal yang banjir diskon. Miko sibuk memilihkan baju Ayah. Bukan hem, celana kain, dan sepatu kulit. Tapi, kaos ketat di badan, jeans sobek-sobek, dan sepatu ked. Saya juga dipilihkan kaos bergambar Kungfu Panda, celana pendek biru, dan sepatu putih.

Pulang dari mal, saya, Ayah, dan Miko seperti tiga pahlawan berjambul. Siap menghadapi hidup baru. Oh, rupanya tak berhenti sampai di situ. Di depan mal, Miko meminta satpam mengambil foto. Saya bergaya di antara Ayah dan Miko. Satu, dua, tiga. Cekrek! Pahlawan berjambul berubah menjadi supermodel. Siap eksis memukau mata dunia.

***

Tak terasa, setahun berlalu. Miko menjadi bagian tak terpisahkan. Suatu malam, Ayah dan Miko mengajak bicara. Ayah menyeruput teh hangat, terlihat gelisah. Miko yang membuka percakapan.

“Miky, kamu suka nggak sama Miko?”
“Suka banget. Gara-gara Miko, Ayah tak lagi cemberut dan ngumpet saja di rumah.”
Ayah tersenyum saja.

Miko melanjutkan,”Ada nggak yang Miky nggak suka dari Miko?”
“Cerewet kayak Ibu-ibu arisan hehe…”
Ayah tergelak. Lalu diam, bicaranya jadi serius.
“Seandainya Miko tinggal bareng dengan kita, Miky keberatan nggak?”
“Nggak. Malah senang sekali.”
“Kalau begitu, mulai besok, Miko akan tinggal bersama kita. Setuju?”
Saya melonjak dari kursi,”Horeee, Miko punya Ibu baru!”

Ayah memeluk saya erat-erat, Miko juga ikutan memeluk. Kami bertiga berpelukan. Tiga supermodel berubah lagi ke asalnya. Ayah, anak, dan ibu-lelaki.
***

Madiun, 17.06.2014, 23.00 WIB

*Antok Serean, penulis. Blog pribadinya www.kampunglanang.wordpress.com

 

 

Bagikan

Cerpen Lainnya