Suarakita.org– Dalam rangka turut merayakan hari melawan kebencian terhadap kelompok homoseksual atau yang sering disebut IDAHOT, Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Mengadakan diskusi dengan tajuk “ Heteronormatifitas dan Kekerasan berbasis SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression).
Kegiatan diskusi dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2014, bertempat di Sekretariat ASB, Jalan Jamin Ginting, Medan – Sumatra Utara. Tepat pukul 15.00 Wib diskusi dimulai. Dalam kesempatan ini Juwita Manurung (aktifis lgbt) menjadi pembicara. Kurang lebih dua puluh orang hadir dalam diskusi yang diadakan ini, diantaranya : Kreatif UNIMED, Universitas Simalungun, Universitas Nomensen Medan, Perempuan Mahardika, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial USU, serta beberapa komunitas gay
Walaupun pada saat dilaksanakan diskusi mati lampu dan kepanasan namun para peserta yang hadir dalam diskusi ini tetap semangat dan aktif mengikuti kegiatan yang dilaksanakan.
Dalam diskusi ini Juwita menjelaskan bahwa heteronormatifitas merupakan nilai-nilai yang dibangun di dalam masyarakat yang diyakini heteroseksual adalah merupakan orientasi seksual satu-satunya yang ada dalam masyarakat dan tidak mengenal orientasi seksual lainnya.
Juwita juga menjelaskan tentang orientasi seksual dan Identitas Gender (SOGI) menurut Juwita orientasi seksual terbagi menjadi tiga: Heteroseksual, Homoseksual (gay dan lesbian) dan Biseksual sedangkan Identitas Gender dikelompokan menjadi empat yaitu : Laki-laki , Perempuan, Transgender (FtM atau priawan dan MtF atau Waria) dan Undefiniate.
Dalam diskusi ini isu coming in juga tak luput dari sorotan oleh Juwita. Ia mengatakan bahwa memiliki orientasi seksual yang berbeda bukanlah hal yang patut ditakutkan, tapi justru harus bangga menjadi diri sendiri. Sedangkan untuk coming out (membuka diri tentang orientasi seksual) bukanlah suatu kewajiban, karena membuka diri bukanlah hal yang mudah, perlu pertimbangan yang matang.
Pada kesempatan kawan-kawan mahasiswi dan mahasiswa juga turut berbagi tentang pengalaman mereka berteman dengan lesbian dan gay dikampus. Mereka mengatakan bahwa sebagian mahasiswi dan mahasiswa ada yang terbuka menerima keberagaman orientasi seksual. Namun tak bisa dipungkiri bahwa masih ada sebagaian yang belum bisa menerima kawan-kawan lesbian dan gay.
“ Tidak ada yang perlu ditakuti dengan lesbian dan gay, karena lesbian, gay dan waria bukanlah suatu penyakit, aib ataupun dosa. penerimaan dan penghargaan akan perbedaan itulah yang terpenting, dan perlu dicatat bahwa perbedaan orientasi seksual dan identitas gender sering menimbulkan kekerasan. Komunitas lgbti seringkali dianggap menyimpang, sakit dipaksa untuk sembuh, dan bertobat. Dan bahkan perempuan yang orientasi seksual nya berbeda dari heteroseksual mengalami beban dan kekerasan lebih banyak dari laki-laki karena budaya patriarki” ungkap Juwita.
Diakhir diskusi peserta juga mengungkapkan bahwa negara juga turut andil dalam melangengkan diskriminasi terhadap kelompok lgbti dengan dilahirkanya perda-perda diskriminatif yang makin menyudutkan lgbti. (Aliansi Sumut Bersatu)