Suarakita.org– Tontonan film gratis yang diadakan oleh Arthouse Cinema di Goethe-Institut pada Selasa, 25 Maret 2014, memenuhi banyak kursi yang disediakan. Tak heran karena film yang berjudul panjang, What They Don’t Talk About When They Talk About Love (Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta) merupakan salah satu karya terbaik Mouly Surya yang patut dibanggakan sebagai karya anak bangsa. Berbagai penghargaan dan nominasi bergengsi telah diraih melalui film tersebut, diantaranya penghargaan Jati Emas 2014 dan dinominasikan pada ajang bergengsi Sundance Film Festival 2013.
Ide cerita diilhami oleh pengalaman masa kecil Mouly di mana ia memiliki saudara angkat yang disable. Dari pengalaman terdekatnya itu ia hendak berbagi mengenai bagaimana seseorang yang dengan keterbatasan fisik mengalami cinta pertama. Dalam film tersebut tak tanggung-tanggung Mouly menggandeng Nicholas Saputra berperan sebagai Edo, lelaki tunarungu-wicara yang jatuh cinta pada gadis tunanetra, Fitri, yang dimainkan oleh Ayushita. Kemudian ada Diana (Karina Salim) yang hidup dalam dominasi ibunya yang memperlakukannya seperti gadis kebanyakan terlepas bahwa putrinya tunanetra. Diana juga diam-diam menaruh hati pertama kali pada Andhika (Anggun Priambodo) teman sekelasnya di sekolah berkebutuhan khusus. Lalu ada Maya (Lupita Jennifer) gadis tunarungu yang terobsesi menjadi seorang artis. Tokoh-tokoh tersebut berkolaborasi dalam adegan-adegan yang mencengangkan sekaligus membuat penulis merenung bagaimana cara mereka mengungkapkan rasa cintanya begitu sederhana tetapi berkesan, bahkan ada adegan ciuman antara Edo dan Fitri yang terjadi di kolam renang dan di kamar mandi yang memesona terlepas keduanya punya kekurangan fisik.
Sisi seksualitas disable itu pun dikemas secara apik oleh Mouly. Seperti ketika Fitri dimanfaatkan oleh lelaki bertompel yang menjadikannya pacar tetapi hanya untuk pelampiasan seksual semata, atau saat Edo menyamar sebagai hantu dokter dikarenakan Fitri sangat memercayai takhyul hantu dokter di sekolahnya yang bekas rumah sakit itu. Ada Diana yang betapa riang menelepon ibunya ketika pertama kali menstruasi dan ini menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan dewasa. Lalu Andhika yang akhirnya berterus terang tentang isi hatinya pada Diana. Dari setiap alur kita jadi banyak tahu bahwa sebenarnya hidup mereka sama seperti kita yang memiliki kesempurnaan secara fisik. Ada rasa cemburu, persaingan, kekecewaan, dan kesedihan.
Kita yang sempurna fisik ini bila menonton film tersebut seperti dijewer tentang makna memanusiakan manusia. Kita terkadang suka lupa dan boleh jadi meremehkan teman-teman disable, tapi film tersebut memberi pelajaran bahwa setiap manusia memiliki cinta kasih dan darinya kita mencintai tanpa memandang bentuk rupa. Dan yang membedakannya ialah sifat buruk, seperti lelaki bertompel yang memanfaatkan Fitri.
Mungkin bagi beberapa penonton agak heran ketika pada sebuah adegan Edo dapat bicara, atau film membisu beberapa menit ketika ada gadis kecil berbahasa isyarat. Pada sesi diskusi lepas film itu berakhir, salah satu penonton menanyakan hal itu pada Mouly dan adegan-adegan itu justru sebenarnya menjadi salah satu keunikan dari film tersebut. Sehingga tepat kiranya berbagai nominasi dan penghargaan diraih karena film itu menawarkan warna baru yang layak untuk ditonton. (Jane Maryam)
Jane Maryam, Psikolog dan pengamat seni, silahkan kunjungi blognya di : janeontheblog.wordpress.com