Suarakita.org- Tidak banyak orang Indonesia yang mau mengakui bahwa Indonesia masa lalu sangat kaya akan budaya erotika. Terlebih lagi ketika Majapahit berada pada puncak kejayaannya di abad keempat-belas.
“Kebudayaan Nusantara sesungguhnya sarat akan dimensi erotis” ungkap Saras Dewi pada Kuliah Umum Our Voice bertema Makna Seksualitas Dalam Tantra, Minggu 24 November 2013.
Saras Dewi memulai pemaparan dengan mengamati fenomena spiritualitas bangsa Indonesia tempo dulu yang unik. Dibilang unik karena bangsa Indonesia di zaman itu mampu mendamaikan dua kepercayaan untuk tidak saling ganggu, malah mampu menyatukan dua kepercayaan itu menjadi satu dan menjadi aliran baru yang sangat khas Indonesia di masa itu. Saras pun mengambil contoh Siwa Budha Tatwa. Hakikatnya, Siwa Budha Tatwa adalah sinkretisme antara Hindu dengan Budha. “Di negara asalnya Hindu dan Budha tidak bisa menyatu, tapi di Indonesia bisa” kata Saras Dewi.
Spiritualitas Tantra adalah salah satu penyebab dapat bersatunya agama Hindu dan Budha. Perbedaan yang tajam antara Hindu dan Budha dipersatukan dalam ajaran Tantra. Ditinjau dari akar kata, Tantra berasal dari kata tan, dalam bahasa Sanserkerta tan memiliki makna menyebar, mengembang. Ajaran Tantra menekankan pada meditasi untuk menyerap energi kosmik dan menyatu dengan alam semesta.
Dalam agama-agama masa kini, agama arus-utama, definisi kebaikan adalah moralitas. Sedangkan dalam Tantra, kebaikan diartikan sebagai dinamika, yang wujudnya adalah kreatifitas. Tubuh dan pikiran adalah satu. Melalui tubuh, pikiran dapat diolah.
Salah satu poin penting dalam ajaran Tantra, seorang penganut Tantra harus mampu mengalihkan energi berlandasan nafsu dan cenderung negatif, menjadi rasa cinta kosmik yang menyebar dan meliputi seluruh alam. Seks yang awalnya profan atau rendah, dialihkan menjadi suatu relasi yang suci. Transformasi inilah yang sulit dicapai.
Bukti yang sulit untuk disangsikan bahwa pengaruh Tantra cukup kuat, dapat dilihat pada banyak candi. Candi Sukuh dan Candi Cetho contohnya. Candi Sukuh yang terletak di kaki Gunung Lawu dapat diartikan sebagai kuil suci, tempat persembahyangan, seperti yang tertulis dalam essai Saras dewi, Tempat di mana pemuja datang dan menyembah penyatuan agung dari dua energi maskulin dan feminim. Hal ini membuktikan bahwa pernah ada suatu era di Indonesia yang menghormati tubuh manusia sebagai persemayaman Ilahi bukan hanya sebagai sesuatu yang mekanik tanpa makna. (Gusti Bayu)
Makalah lengkap dapat diunduh di sini