Search
Close this search box.
Mantan wanita penghibur Korea Selatan, Kim Bok-dong, saat protes anti Jepang di Seoul, April 2013. Foto : AP
Mantan wanita penghibur Korea Selatan, Kim Bok-dong, saat protes anti Jepang di Seoul, April 2013. Foto : AP

Ourvoice.or.id- Jepang berjuang menghadapi hujan kritik dari komunitas internasional atas aksi tentaranya di masa perang

Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan lalu mendesak pemerintah Jepang untuk tidak membangkitkan trauma “wanita penghibur” atau Jugun Ianfu yang dipaksa menjadi budak seks semasa Perang Dunia II. Dewan Perwakilan Rakyat negara bagian New York, Amerika Serikat (AS) bulan lalu mengesahkan resolusi bagi sebuah monumen peringatan di kota Westbury dan mengecam militer Jepang karena dianggap melakukan “kejahatan kemanusiaan.” Kota Glendale di California dijadwalkan membuka monumen serupa pada 30 Juli, yang oleh dewan kota dinyatakan sebagai “Hari Wanita Penghibur Korea”.

Fakta bahwa Tokyo masih mendapatkan kritik atas aksi kejahatan yang dilakukan 70 tahun lalu menunjukkan isu”wanita penghibur” masih dipermasalahkan hingga saat ini. Sempat terlupakan selama bertahun-tahun, isu tersebut dihidupkan kembali oleh sebuah keputusan pengadilan Korea Selatan pada 2011.

Kritik semakin memanas dalam beberapa bulan terakhir lantaran serangkaian komentar kontroversial dari politisi Jepang, yang memperburuk hubungan Tokyo-Seoul dan mengganggu kebijakan Washington di Asia Timur.

Ketidakmampuan Jepang dalam meluruskan perbedaan pandangan dengan negara tetangganya terkait masalah dari Perang Dunia II berisiko mengisolasi Jepang dari kancah politik internasional dan juga bisa menciptakan ketegangan dengan AS. Ini menjadi catatan penting mengingat Jepang sedang menghadapi ambisi teritorial Cina dan ancaman nuklir Korea Utara. Sejak menjabat pada Desember, Perdana Menteri Shinzo Abe telah bertemu pemimpin dari berbagai negara, kecuali Korea Selatan dan Cina, yang keduanya telah mempertanyakan pandangan Abe atas sejarah kelam Jepang saat perang.

Ketika Korea Utara bersiap merilis rudal nuklirnya April lalu, petinggi militer AS dalam kunjungannya ke Jepang secara terbuka menyampaikan rasa frustrasinya atas ketidakmampuan militer Jepang dan Korea Selatan bekerja sama dalam menghadapi ancaman tersebut. Hal ini terjadi lantaran kedua negara bersitegang terkait masalah “wanita penghibur”. Panglima Angkatan Bersenjata AS Jenderal Martin Dempsey mengatakan militer AS memiliki “gambaran operasi bersama yang sempurna” dengan dua sekutu utamanya di Asia. Namun masalahnya, “dua gambar tersebut tidak bergabung”, demikian ujar Dempsey.

Kerjasama ini nampaknya tak akan terjadi dalam waktu dekat. Kedua negara tak lagi berupaya mewujudkan perundingan antar kementerian pertahanan yang ditunda tahun lalu. Berbicara di hadapan Kongres AS saat berkunjung ke Washington awal bulan ini, Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye berujar: “Perbedaan yang berakar dari sejarah kian melebar.”

“Hanya karena kita kalah perang, kita tak harus menutup mulut setiap kali dihadapkan pada kesalahpahaman,” ujar Walikota Osaka Toru Hashimoto dalam sebuah konferensi pers minggu lalu. Hashimoto mencoba meredam kemarahan negara Asia dan AS setelah ia mengatakan wanita penghibur saat itu dibutuhkan sebagai bagian dari perang. Ia menjadi gelisah dan memberikan penjelasan sebanyak 57 kali di Twitter pada 14 Mei dan 54 kali pada 15 Mei untuk membela diri dan mengklarifikasi komentarnya.

Sumber : WSJ