Ourvoice.or.id – Jika agama-agama Samawi, seperti Islam, Yahudi, Kristen dan Khatolik ada semangat “misionaris” tidak begitu adanya semangat agama-agama Timur, ungkap Saras Dewi dalam “Kuliah Umum Sejarah Seksualitas Dalam Agama Timur” di Mess 55 Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu, 21/4/2013.
“Berbeda dengan agama Samawi, karena agama Timur tidak mempunyai semangat misionaris sehingga makna hubungan seksualitaspun tidak selalu mengacu pada tujuan reproduksi (menghasilkan anak),” tutur Saras Dewi dosen Filsafat Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Agama Hindu. Walau Saras mengakui sekarang ini mulai ada sebagian umat Hindu ada yang mempunyai semangat misionaris tersebut.
Karena konsep teologinya seperti itu, maka agama-agama Timur khususnya Hindu dan Budha memahami seksualitas tidak hanya dilihat sebagai sebuah praktek seksual untuk reproduksi belaka. Seksualitas dalam ajaran Timur menekankan pada “kemauan” tubuh untuk kenikmatannya. Apa yang tubuh mau, itulah penekanannya.
Dalam praktek seksual bukan hasil akhir tetapi proses yang menjadi pilar penting, jelas Saras. Kalau sekarang ini proses itu biasa disebut dengan foreplay atau pemanasan dalam berhubungan seks. Itulah yang perlu atau penting dipikirkan dalam konsep ajaran agama Timur ketika bicara soal seksualitas.
Ada sepuluh tahap atau macam dalam foreplay tersebut dalam prakteks seksual di ajaran agama Timur, diantaranya ; jenis hubungannya (dapat sejenis atau berbeda jenis kelamin), gaya pelukan, ciuman, percakapan, gigitan, berbaring, pelukan erotis, permainan peran, oral sex dan relasi hubungan sex.
Menurut Saras Dewi ke-supuluh tahapan foreplay itu sangat jelas disampaikan dalam kitab Kamasutra. Bukan hanya dalam praktek seksual heteroseksual tetapi juga mengajarkan praktek seksual dalam hubungan homoseksual, biseksual dan transgender. Semua dijelaskan secara terbuka.
Kamasutra sendiri menurut Saras Dewi adalah sebuah cara memahami atau tafsir manusia terhadap kitab Veda (kitab ajaran agama Hindu). Tetapi sayangnya Kamasutra justru yang berkembang di Indonesia lebih mengedepankan “kevulgarannya” dibandingkan dengan makna seksualitas dalam ajaran tersebut, ungkap Saras.
Sehingga ada sebagian umat Hindu mengingkari bahwa Kamasutra bagian dari ajaran Hindu, mungkin karena kitab Kamasutra dipahami secara “banal” bukan seksualitas sebagai sesuatu yang suci untuk sang pencipta.
Dalam ajaran Timur ada lima tahap untuk mencapai kehidupan manusia (Catur Purusarthas). Didalam tingkatan Catur Purusarthas bahwa kehidupan dimulai dari tahap; Dharma (Kebaikan), Artha (Kesejahteraan), Kama (Cinta kasih dan kepuasan indrawi) dan Moksa (Pembebasan). Kelima tahapan itulah yang harus dilalui atau dimaknai dalam ajaran Timur jika ingin mencapai kehidupan yang “hakiki” dan seksualitas ada didalamnya. Kamasutra masuk dalam soal cinta dan kepuasan indrawi.
Seksualitas jelas disana tidak hanya soal kebutuhan kenikmatan saja tetapi ada unsur spitualitas didalam untuk pencapaian kebebasan diri menuju Moksa. Seksualitas yang dimaksudpun tidak ada kaitan dengan jenis kelamin apa dan berapa orang kita melakukannya, yang penting bagaimana seksualitas mengandung unsur kelimanya, setara, adil, bebas untuk penyerahan pada sang pencipta.
Tentunya tidak berarti dalam ajaran Timur bahwa praktek seksual “bebas” dilakukan dengan siapa dan dimana saja, tetapi ada “aturan” yang harus dilewati. Karena seksualitas untuk tujuan spitualitas yang paling tinggi tanpa mengenal batas, maka praktek seksualitas bisa dilakukan sendiri, berdua, bertiga bahkan beramai-ramai. Misalnya masa raja Kartanegara di kerajaan Singosari juga melakukan praktek seksual secara “orgy” (sex lebih dari dua orang) sebagai bagian dari makna spritualitas.
Kalau dipahami masing-masing kelima tingkatan tersebut maka kita akan bisa memahami yang sangat dalam makna seksualitas sebagai bagian dari spitualitas. Artinya prakteks-prakteks seksual yang menekankan pada penundukan, pemaksaan, eksploitasi, ketidakadilan dan kekerasan bukan yang dimaksud dalam ajaran Kamasutra.
Menurut penulis tentu bisa kita kontekskan dalam kondisi sekarang ini, apakah praktek paedofil, poligami dan perkawinan yang banyak melakukan kekerasan dalam rumah tangga dapat mencapai sesualitas yang spitualitas itu? Tetapi bagaimana dengan hubungan homoseksual yang dilakukan atas dasar cinta kasih dan kesetaraan?
Karena ajaran agama Timur tidak mengharuskan praktek seksual untuk menghasilkan anak, walau menghasilkan anak bukan hal yang buruk. Tetapi level yang tinggi dalam prakteks seksual adalah ketika melakukannya dan “sang pencipta” hadir bersama dengan wujud tidak laki-laki maupun tidak perempuan, itu yang disebut dengan dewa/i ” Ardha Nara Swari”. Saat itulah Yoni (vagina) dan Lingga (penis) menyatu, tak beridentitas kelamin lagi.
Tentu untuk mencapai seksualitas yang dimaksud tidak semudah yang dibayangkan, ada banyak syarat yang harus dilakukan dan tidak semua praktek seksual bisa mencapai apa yang dimaksud itu. Tentu dalam praktek seksual itu tidak lagi melihat manusia dengan jenis kelamin atau orientasi seksualnya tetapi manusia dipandang sebagai bagian spitualitas itu.
Menurut Saras Dewi dalam seksualitas ala Timur banyak diulas oleh filosof Michel Foucault asal Perancis, walau dia tidak menyebutkan secara eksplisit soal seksualitas ala Timur. Tetapi kalau dipelajari dengan seksama apa yang dimaksud oleh Foucault tentang seksualitas, kita akan menemukan praktek seksual dan spiitualitas dalam ajaran Timur. Tentu kalau kita melihat dari kaca mata “moral” Barat atau agama-agama Samawi hal itu akan dianggap sangat “banal” dan amoral, jelas Saras.
Tubuh dalam pandangan agama-agama Samawi sering dianggap sebagai tubuh yang kotor sekaligus tubuh yang suci. Tubuh begitu dikontrol dan dikuasai untuk diatur sedemikian rupa untuk tunduk dalam genggaman kuasa. Kuasa yang dimaksud bisa berasal dari pandangan agama maupun negara yang mengambil peran yang sangat luar biasa mengerikan, ungkap Saras.
Saras sendiri mengakui bahwa sebenarnya konsep kontrol atas tubuh bukan hanya terjadi pada agama-agama Samawi tetapi di agama Timur sendiri juga mempunyai semangat yang sama untuk mengontrol, tutur Saras Dewi. Walau caranya yang berbeda-beda. Penulis meyimpulkan mungkin memang ini “ciri” dari agama-agama, baik Samawi maupun agama Timur. Mengontrol setiap tubuh untuk selalu “tunduk” pada kekuasaan.
Kuliah Umum ini merupakan rangkaian kegiatan meyambut peringatan Internasional Day Against Homophobia (IDAHO), 17 Mei 2013. Rangkaian kuliah umumnya antara lain; 21 April 2013 bersama : Saras Dewi tentang “Sejarah Seksualitas Dalam Agama Timur”. Tanggal 28 April 2013 bersama Stephen Suleeman (Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta) Tema : “Sejarah Seksualitas Dalam Agama Kristen”, 5 Mei 2013 bersama Muhamad Guntur Romli (Alumni Universitas Al- Azhar, Cairo, Mesir) tema “Sejarah Seksualitas Dalam Agama Islam”. Semua kegiatan akan dilaksanakan pada pukul 16.00-18.00 di Mess 55-Kalibata-Jakarta Selatan.
Kemudian pada puncak peringatan IDAHO, 17 Mei 2013 pukul 14.00 WIB akan diadakan kuliah umum kerjasama Our Voice dengan Pusat Study Gender Dan Seksualitas UI bersama Rocky Gerung (Dosen filsafat UI) dengan tema “Teori Queer”.
Semua kegiatan ini dilaksanakan gratis, untuk konfirmasi kehadiran di email : ourvoice.lgbtiq@gmail.com atau SMS di 0815 1926 2223 dan Pin BB : 2394591D. (Hartoyo)
Makalah lengkap dapat didownload disini dan makalah ini akan diterbitkan dalam edisi terbaru Jurnal Perempuan