Search
Close this search box.

Ketika Sastra Berbicara Konflik Agama

Oleh : Rudy Rinaldi*

Ourvoice.or.id – “Maryam”, adalah novel karya Okky Mandasari yang menceritakan kisah hidup seorang perempuan yang terusir (gw hapus “rumahnya” karena si maryam ini diusir dari rumah mertua, rumah ortu, dan kampungnya juga) karena iman. Cerita bermula ketika Maryam hendak pulang ke kampung halamannya di Gerapuk, Lombok untuk menemui keluarga yang ia tinggalkan sejak 5 tahun lalu, karena ia menikahi seorang pria asal Jakarta.

Dalam perjalanan pulang, Maryam mengingat kembali apa yang pernah terjadi selama hidupnya. Ketika masa kuliah dan mengalami cinta pertama yang sirna, hingga pertemuannya dengan seorang pria yang membuatnya terpaksa menikah tanpa restu dan meninggalkan keluarganya. Namun, tak berapa lama setelah pernikahannya, Maryam harus memilih jalan perceraian oleh sebab ketidak percayaan sang mertua yang menganggapnya belum berada di jalan yang ‘benar’ karena dulunya, ia penganut Ahmadiyah. Ia pun pulang ke kampung halamannya. Hanya untuk menemukan bahwa keluarganya telah terusir dari rumah milik mereka. Dari kampung tempat mereka hidup rukun bertetangga, turun temurun. Apa sebab? Karena sekelompok pendatang, yang menghasut warga kampung, untuk mengusir penganut Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Novel ini mengangkat sebagian kecil kisah pilu warga Ahmadiyah yang memperjuangkan hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Hanya karena perbedaan pemahaman agama, mereka menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Pengarang berhasil mengangkat isu konflik agama ini ke dalam sebuah cerita yang apik, dan dikemas menyerupai sebuah dokumenter. Dimana dalam novel begitu tergambar tentang kronologis kasus pengusiran yang terjadi di Lombok, apa yang dirasakan oleh warga Ahmadi, dan bagaimana mereka tabah memperjuangkan hidup.

Selain itu, novel ini juga mengingatkan kita akan kondisi keberagamaan di Indonesia yang semakin hari semakin jauh dari harmoni dan toleransi. Sehari-hari kita banyak melihat benturan antar umat beragama, yang tidak selayaknya dijadikan cermin oleh kita. Bagi pembaca yang apik, novel ini bisa memukul kesadaran kita akan pentingnya kebe-ragam-an yang patut kita hormati dalam menjalankan keber-agama-an.

Sejak awal kemunculannya, “Maryam” telah menarik perhatian di kalangan pecinta buku hingga akhirnya bisa memenangkan Anugerah Sastra Khatulistiwa 2012. Bahkan ketika mengumumkan pemenangnya, ketua dewan juri, Hilmar Farid mengatakan, para juri tak ragu untuk memilih “Maryam”, karena telah berhasil mengangkat masalah kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah dari hiruk-pikuk berita media dan kontroversi di sekitarnya ke tingkatan yang lebih jauh.

“Ia menjadi kritik terhadap penindasan yang dilakukan pihak yang kuat terhadap yang lemah atas nama agama,” ujarnya.

Okky Madasari usai menerima penghargaan mengungkapkan, kemenangan novelnya merupakan dukungan bagi kaum minoritas yang disuarakannya. “Ini bukan sebatas untuk jemaah Ahmadiyah, tapi kemenangan ini mudah-mudahan bisa semakin meluaskan keberpihakan bagi orang-orang yang tertindas,” harap Okky.

Memang, pada akhirnya ‘Jalan kebenaran’ yang ditempuh setiap manusia hendaknya hanya Tuhan saja yang menentukan, bukan manusia yang menghakimi.

*Mahasiswa Jurusan Hubungan International, Universitas Pasoendan Bandung