Search
Close this search box.

RINGKASAN KULIAH UMUM “POLITIK SEKSUALITAS” SERI III

 

Hujan Emas Di Negeri Orang, Hujan Batu Di Negeri Sendiri

Tanti Noor Said (kiri) bersama sang moderator Luna PeA (dok.foto Ourvoice)

Baiknya kebijakan di negeri Belanda dan Belgia, tidak menjamin bahwa setiap orang yang tinggal di sana menjadi terbebas dari perlakuan diskriminasi. Hal inilah yang dialami oleh sebagian gay dan transjender Asia khususnya yang berasal dari Indonesia yang bermigrasi ke Eropa Barat (Belanda dan Belgia). Berikut beberapa sekelumit pemaparan mengenai Kuliah Umum Politik dan Seksualitas (Kulum Polsek) bagian terakhir (III) di Ourvoice, Selasa, 8/01/2013.

Menurut Tanti Noor Said, narasumber Kulum Polsek Ourvoice banyak faktor menyebabkan itu semua, di antara pandangan orientalisme dan oksidentalisme, yaitu cara pandang suatu masyarakat terhadap masyarakat lain yang dinilai lebih rendah (orientalisme) dan cara pandang satu masyarakat dalam melihat masyarakat lain lebih baik (oksidentalisme).

Konsep orientalisme sendiri dikembangkan oleh pemikir filsafat timur yang secara definisi adalah cara pandang masyarakat Timur yang digambarkan oleh masyarakat Barat sebagai kebalikan dari kebudayaan Barat itu sendiri, misalnya anggapan orang Timur eksotis, tradisional, tidak beradab, penurut, bodoh dan lain sebagainya.

Sedangkan oksidentalisme adalah proyeksi masyarakat Timur terhadap masyarakat Barat. Seperti masyarakat Barat digambarkan oleh masyarakat Timur sebagai peradaban modern, kuat, kaya dan inovatif. Menurut Tanti Noor Said atas temuan kedua cara pandang inilah yang memberikan pengaruh pada relasi hubungan antara kelompok gay dan transjender Indonesia dengan pasangan laki-laki Belanda-Belgia. Walau bukan hanya satu faktor tunggal saja yang menentukan pola relasi tersebut.

Persoalan heteronormativitas juga memberikan pengaruh dalam pola relasi tersebut. Konsep heteronormativitas memang sangat mengental dipahami secara ketat oleh gay dan transjender Indonesia dibandingkan dengan pasangan mereka yang berasal dari Belanda-Belgia. Pandangan yang ketat bahwa dalam berhubungan harus ada yang bermain sebagai“laki-laki dan perempuan” sangat diyakini oleh gay dan transjender Indonesia. Sedangkan laki-laki Belanda-Belgia sendiri tidak mempersoalkan hal itu, bahkan dianggap sesuatu yang “aneh” dengan adanya pemisahan itu, fakta ini dijumpai Tanti saat dia mewancarai (informan) laki-laki Belanda-Belgia.

Walau mereka (laki-laki Belanda-Belgia) masih sangat ketat pemisahan soal penampilan fisik (baca maskulin atau feminin). Tetapi pemisahan maskulin lebih pada soal ketertarikan secara “seksual” saja bukan dalam peran-peran relasi sosial dalam berhubungan sehari-hari (seperti memasak, melayani-dilayani lebih cair). Dan tetap maskulin yang melekat pada laki-laki gay Indonesia tetap mempunyai nilai lebih daripada yang feminin.

Konsep heteronormativitas menurut Tanti dipengaruhi oleh norma agama, tradisi lokal/budaya, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Misalnya salah satu informan penelitian Tanti masih kesulitan mengekspresikan seksualitasnya di negara Belanda-Belgia di dalam lingkup dunia kerja. Masih ada yang belum berani secara terus terang memperkenalkan pasangan laki-laki Belanda di tempat kerja, terutama di tempat kerja yang model pekerjaaannya masih sangat “macho” seperti bidang teknik, ungkap Tanti.

Sehingga gay atau transjender Indonesia yang bekerja di Belanda-Belgia, cara mengekspresikannya dilakukan setelah keluar dari dunia kerja formal (bersama teman-teman atau dirumahnya). Inilah situasi yang terjadi di Belanda yang dialami oleh informan Tanti, walau Belanda dianggap sebagai negara (surga)-nya kelompok gay, lesbian maupun transjender di dunia. Tetapi fakta di lapangan masih ada banyak persoalan diskriminasi.

(dok.foto Ourvoice)

Dalam sesi diskusi, salah satu peserta, mahasiswa filsafat Universitas Indonesia, menyatakan bahwa diskriminasi sebenarnya terjadi dimulai dari kata yang dibangun. Kata mempunyai makna dan kemudian membangun wacana politis dan secara sistematis dikonstruksikan oleh sistem budaya, agama maupun masyarakat. Jadi, diskriminasi itu justru dimulai dari kata atau bahasa.

“Selain itu dari hasil temuan pola relasi antara pasangan gay-transjender juga banyak dipengaruhi oleh peraturan imigrasi setempat (Belanda-Belgia). Misalnya pandangan pria Barat merasa memiliki otoritas atas gay atau transjender asal Indonesia yang mereka undang datang ke Eropa, walau ini tidak bisa disamakan semua informan,” ungkap Tanti.

Situasi ini tidak hanya terjadi pada gay dan transjender Indonesia, tetapi sebagian gay dan transjender di Asia masih dianggap sang “liyan” oleh pasangannya di Belanda dan Belgia. Dan sebagian gay dan transjender Asia umumnya menyadari adanya tekanan itu, sehingga beberapa dari mereka merasa kurang kepercayaan diri, hingga ada yang mengalami depresi atau kembali ke Indonesia.

Fantasi indah hidup di negeri orang menurut Tanti tidak selalu indah ketika dialami, ini dikarenakan oleh praktek diskriminasi atas dasar ras masih sangat kental terjadi di Eropa Barat, walau Negara tersebut menurut Tanti telah mempunyai kebijakan penghapusan diskriminasi.

Menurut Tanti, perbedaan kelas sosial dan ekonomi serta pendidikan cukup memberikan pengaruh yang signifikan dari tindakan diskriminasi yang dialami oleh kelompok gay dan transjender Indonesia di Belanda-Belgia.

Akhir kata, ada pepatah yang menyatakan, “Hujan emas di negeri orang, tetap lebih baik hujan batu di negeri sendiri”, mungkin sangat tepat untuk menggambarkan kehidupan imigran dari kelompok gay dan transjender Indonesia di wilayah Eropa.

(dok.foto Ourvoice)

Tentunya bukan hanya gay, transjender yang mengalami itu saja tetapi tenaga kerja Indonesia lainnya juga mengalami hal yang hampir sama. Jika sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya ramah atau non-diskriminasi, tentu akan mengurangi migrasi “terpaksa” ke negeri lain. Tapi sayangnya ada jutaan rakyat Indonesia, termasuk gay dan transjender “terpaksa” harus keluar dari negeri ini karena sistem politik dan ekonomi yang tidak adil dan korup di Indonesia. Tidak ada pilihan kecuali hengkang dari negeri ini dan mengeksekusi fantasi “indah” di negeri orang.

Tentu kita tetap berharap Indonesia akan menjadi negeri yang adil untuk siapapun tanpa melihat ras, suku, jenis kelamin, identitas jender maupun orientasi seksual seseorang. Salam keberagaman. (Hartoyo Dan Gusti)

 

Makalah untuk seri kuliah umum “Politik Seksualitas” seri 3 di Ourvoice, 8 Januari 2013, 17.00 WIB bisa diunduh Di sini