Ourvoice.or.id. [Penulis : Nurhadi]. – Dalam kisah Mahabharata yang pernah ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta pada 1990-an, terdapat sebuah episode yang sangat memilukan, yakni kematian Bhisma, tokoh yang sangat dihormati baik oleh Pandawa maupun Kurawa. Sebelumnya, Bhisma yang kala itu tengah memimpin pasukan Kurawa, dikejutkan dengan kemunculan seorang ksatria yang berpenampilan perempuan.
Dia teringat Dewi Amba yang dulu pernah “dibunuhnya”, yang bersupata akan menitis kepada seorang ksatria perempuan, dan menuntut balas nyawanya. Begitu melihat Srikandi, Bhisma terkesima sehingga tidak bisa menghindari anak panah yang ditujukan kepadanya, atau mungkin dia sengaja membiarkan dirinya agar terkena panah Srikandi sebagai wujud karmanya. Setelah panah Srikandi, Bhisma diterjang puluhan panah Arjuna yang menembus badannya sehingga terjungkal, meski tubuhnya tidak mengenai tanah karena tertopang puluhan anak panah. Arjuna turut menangis menyaksikan penderitaan Bhisma, kakeknya itu.
Kita tidak berbicara tentang Mahabharata dalam kesempatan kali ini. Akan tetapi, ada sebuah kisah menarik dari Mahabharata versi asli India ini. Srikandi dalam kisah ini digambarkan sebagai seorang waria, dia seorang lelaki yang bersikap dan berpenampilan seperti perempuan. Saya lupa, apakah dalam versi itu Srikandi dikisahkan sebagai istri Arjuna seperti dalam kisah pewayangan atau tidak.
Di Jawa, Srikandi adalah istri Arjuna yang sangat cantik, kenes, dan cekatan memainkan panah. Rupanya telah ada “pembelokan” versi Mahabharata sesampainya di Jawa. Mungkin pembelokan karakter Srikandi ini belum seberapa jika dibandingkan dengan posisi Drupadi yang kita kenal sebagai istri Yudhistira sebenarnya dalam versi India merupakan istri kelima Pandawa. Artinya, Drupadi telah melakukan poliandri, seorang istri yang punya banyak suami. Waria bukan sesuatu yang muncul belakangan ini sebagai sebuah fenomena akibat modernisasi, tetapi telah dikenal masyarakat kuno, bahkan tertera dalam Mahabharata.
Buku Waria, Laknat atau Kodrat!?yang ditulis oleh Zunly Nadia dalam salah satu bagiannya malah mengisahkan waria dalam lintasan sejarah. Al-Quran juga menyebut kaum Luth yang melakukan hubungan seks sejenis, homoseksual. Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choisy duta besar Prancis di Siam, dan Lord Cornbury gubernur New York 1702 merupakan contoh-contoh waria, laki-laki yang berdadan layaknya perempuan.
Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dalam Negarakertagama juga dikisahkan gemar menari dalam pakaian perempuan di hadapan menterinya. Dalam tradisi warok di Ponorogo, dikenal istilah gemblakan, lelaki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah keluarga hingga kebutuhan seksual warok. Keadaan tersebut merupakan jalan keluar bagi setiap perguruan warok yang ingin mematangkan ilmunya karena larangan untuk “menggauli” perempuan.
Warok sering memperlakukan gemblakan-nya sebagaimana perempuan, baik dalam perilaku maupun dandanannya. Bahkan, konon, bagi warok yang telah beristri malah lebih memperhatikan gemblakan-nya daripada istrinya. Kalau ada lelaki yang menggoda istrinya, sang warok tidak akan semarah kalau yang digoda itu gemblakan-nya.
Di Indonesia, budaya waria selain dapat ditemui dalam tradisi warok di Ponorogo, jugadapat ditemukan dalam ludruk (termasuk tari ngremo dan gandrung) di Jawa Timur; dalam suku Dayak Ngaju yang mengenal medium-priest, perantara yang berpakaian perempuan; dalam suku Makasar yang dikenal dengan nama bisu; juga di Toraja ada laki-laki yang karena suatu hal tidak dapat bertempur kemudian diberi jalan keluar dengan berpakaian perempuan sebagai seorang bajasa.
Meskipun dalam kitab suci dan tradisi masyarakat kita budaya waria cukup dikenal
seringkali pemahaman kita tentang waria hanyalah sebatas pemahaman yang bersifat stereotip.
Sejumlah narasi dan bahasa turut membentuk atau mengkonstruksi stereotip tersebut yang
seringkali memunculkan mitos tentang waria yang bernada melecehkan.
Kata “banci” telah dipergunakan dalam bahasa Indonesia sebagai karakter yang berlawanan dengan kepahlawanan, keberanian, kejantanan, sesuatu yang selalu melekat pada seorang laki-laki. Seorang pejabat (misalnya kejaksaan) yang tidak berani menindak tegas pejabat koleganya yang koruptor bisa disumpahserapahi sebagai seorang “banci” dan dikirimi ayam betina yang dalam bahasa Inggris kata chiken bermakna kurang lebih sama, menggambarkan “kepengecutan”.
Pada tahun 1980-an Doel Sumbang pernah mempopuler lagu yang berjudul “Martini”. Liriknya kurang lebih begini. Dia menganggap ayahnya nekad sekali menamainya Martini, padahal dia itu lelaki tulen. Kemana-mana menanggung malu gara-gara namanya Martini, merek minuman dari Itali. Di sekolah pun dia sering berantem dengan temannya yang selalumengejeknya. Dia akhirnya menanyakan perihal itu kepada ayahnya, tapi ayahnya cuma menjawab “Nanti engkau bakal paham, anakku.” Kini dia telah tumbuh dewasa, badannya kekar, tampangnya berewokan. Hanya sayang, namanya masih tetap Martini. Suatu hari dia terlibat perkelahian karena ada orang yang mengejeknya. Merasa dirinya dihina, akhirnya dia menusuk lawannya hingga terkapar mati. Dia pun dipenjara. Selama di penjara, ayahnya datang menjenguk sambil tertawa-tawa bangga. “Kini engkau benar-benar paham, anakku. Ternyata anak lelaki yang bernama Martini itu dapat berkelahi, dapat membunuh dan sekarang benar-benar di penjara, ha ha ha.” Lirik lagu ini terkesan nakal dan lucu. Akan tetapi di dalamnya memuat suatu pesan akan sikap kejantanan yang harus dilengkapi dengan sikap kekerasan.
Lirik ini sekaligus men-subordinat-kan posisi waria atau banci atau bencong di hadapan dominasi laki-laki. Lagu Doel Sumbang turut mengukuhkan stereotip tentang banci. Bahkan, kata banci sendiri kini telah memiliki konotasi peyoratif.
Ketiga buku ini secara konsisten memakai kata waria (yang kini bermakna amelioratif) dan tidak memakai kata “banci” atau “bencong” bahkan “wadam” (wanita Adam). Ini sekali lagi menunjukkan betapa berpengaruhnya konstruksi bahasa dalam membentuk sebuah diskursus.
Mungkin kita juga masih mengenal berubahan pemakaian kata dari: sundal, lonte, kupu-kupu malam, pelacur, WTS dan kini PSK. Suatu saat ketika kata PSK sudah bermakna peyoratif, mungkin akan ada kata lain sebagai penggantinya. Seringkali kita menganggap bahwa waria itu sama dengan homoseksual atau gay atau hombreng bahkan sebagai penjaja seks khusus (selain WTS dan gigolo) yang menawarkan oral seks, dan lain-lain. Merlyn Sopjan dalam Jangan Lihat Kelaminku! pernah merasakan penghinaan semacam itu. Dalam “Surat Ketiga Puluh Delapan”, surat yang ditujukan kepada seorang laki-laki imajiner yang disebutnya dengan “Boy” itu, Merlyn menulis, “Kenapa sih semua orang selalu menganggap semua Waria itu Pelacur, Boy?”. Dalam suratnya yang pertama yang dilabeli “Surat-Surat Rekaman Hidup”, Ratu Waria 1995 yang lahir di Kediri 1973 ini menuliskan pengalamannya di sebuah angkot.
“Sumpah siang ini gue bete abis. Waktu naik angkot mau ke warnet tadi, angkotnya berhenti pas lampu merah. Gak ada yang salah ama angkotnya sih. Kebetulan gue duduk di sebelah sopir. Eh, dari seberang jalan ada mas-mas teriak ke gue sok akrab, katanya siang-siang gini gue mau ke mana. Katanya kepagian. Boy, lo ngerti maksud perkataan tadi gak? Ato lo pura-pura bodo untuk ngertiin? Mas-mas itu tau gue Waria. So what? Dia pikir gue waria jalanan. Yang cuma berani nongol malam hari dengan make up tebal (Sopjan, 2005:107-108)
Zunly Nadia dalam bukunya secara tegas membedakan sejumlah pengertian yang sering rancu seperti halnya penyamaan antara waria dan homoseksual. Dalam psikologi (Nadia, 2005:3), dikenal beberapa gejala kewariaan.
Pertama, transeksualis, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Kedua, tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Ketiga, hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak kedua-duanya. Sementara di pihak lain, homoseksual yaitu relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama secara emosional atau secara erotik.
Isitlah homoseksual lebih diperuntukkan kepada kaum lelaki yang tertarik pada lelaki, sementara kaum perempuan yang tertarik pada perempuan dinamakan lesbianisme. Secara fisik, waria baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan adalah bagian dari homoseksual. Namun demikian, ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria, misalnya saja dalam berpakaian.
Seorang homoseks tidak merasa perlu berpenampilan pakaian perempuan, sehingga ia harus berpenampilan sebagaimana seorang perempuan. Meski ada seorang homoseks berpenampilan halus, sebagaimana perempuan, namun dalam dirinya tidak ada satu dorongan keinginan pun untuk menjadi perempuan (Nadia, 2005:32-33).
Waria termasuk kaum minoritas secara seksual, selain kaum perempuan. Sebagaimana umumnya kaum minoritas lainnya (baik berdasarkan ras atau etnis, agama, maupun ekonomi) seringkali mengalami penindasan.
Tindak penindasan terhadap kaum minoritas itu seringkali didasarkan atas konstruksi naratif yang menghasilkan stereotip dan sejumlah mitos. Bangsabangsa Asia Afrika (Timur) secara stereotif dianggap sebagai bangsa yang masih biadab sehingga perlu diberadabkan oleh bangsa Eropa yang kulit putih (Barat) lewat kolonialisasi. Islam sebagai salah satu ancaman budaya Barat, sehingga sama dengan teroris. Kopor seorang penumpang pesawat di Amerika dapat digeledah, siapa tahu ada bom di dalamnya, hanya garagara pemiliknya bernama Muhamad seperti yang pernah dialami Goenawan Mohamad. Demikian halnya dengan seorang waria yang berpakaian perempuan, juga dapat dipaksa menukar pakaiannya dengan pakaian laki-laki karena dalam formulir hanya terdapat dua pilihan jenis kelamin, kalau tidak laki-laki ya perempuan.
Seseorang yang secara dokumentatif laki-laki dapat dianggap melanggar tata kesopanan manakala ia berpakaian perempuan, apalagi berjilbab. Hal itulah yang pernah dialami Shuniyya Ruhama Habiiballah sebagaimana dituturkan dalam catatan hariannya yang berjudul Jangan Lepas Jilbabku!.
Kejadiannya terjadi di UNY manakala ia mengembalikan formulir ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku udah siap dengan pensil 2B dan stip atu karet penghapus untuk mengubah secepat mungkin tanpa harus keluar dari barisan antri.4 sampai di ujung serambi aku Sampai di ujung serambi aku ditegur oleh seorang pengawas. Aku udah lupa ama wajahnya. Dia mengenaliku kalau secara fisik aku adalah laki-laki.
“Anda laki-laki?”
“Ya!” jawabku singkat.
“Tolong tutup kepalanya dilepas.”
“Sori, saya sudah biasa memakainya.”
“Tolong tutup kepalanya dilepas. Itu tidak sopan!”
“Mengapa?”
“Itu ruang gantinya, silakan masuk ke sana dan dilepas kalau mau dilayani.”
“Kalau tidak?”
“Silakan Anda ke sana dan melepaskannya. Nanti setelah keluar dari sini boleh dipakai lagi.”
Aku merasa sangat terpukul. Inilah penghinaan pertama kali yang aku rasakan sangat menyakitkan sampai ulu hatiku. Jika saja detak jantung bekerja atas kendaliku, maka saat itu juga aku mati, karena spontan berhenti mengendalikannya (Habiiballah, 2005:66) Selain itu juga ada kisah yang menarik dari sejumlah diari yang ditulis mantan mahasiswa Sosiologi UGM yang lulus pada 2004 ini. Dalam diarinya yang tulis pada awal 2003, Shuniyya menuliskan pengalamannya ditanya seseorang mengenai di mana mangkalnya, berapa tarifnya, bahkan sempat diajak kawin oleh seseorang (Habiiballah, 2005:241-248).
Terbitnya buku-buku tentang waria yang ditulis oleh kaum waria seperti Jangan Lihat Kelaminku! oleh Marlyn Sopjan dan Jangan Lepas Jilbabku! oleh Shuniyya Ruhama Habiiballah merupakan usaha pembelaan diri atas sejumlah stereotip maupun justifikasi orang-orang atas kelompok waria. Lewat catatan harian (sebagaimana buku Shuniyya yang secara eksplisit dinyatakan dalam kover depan sebagai “Catatan Harian Seorang Waria”) maupun surat-surat (sebagaimana dieksplisitkan dalam kover depan buku Merlyn, “Suara Hati Seorang Waria”) pembaca diajak melihat persoalan waria dari sudut pandang pelakunya.
Pembaca diajak untuk mengetahui betapa seringkali senyuman (bukannya cibiran atau cemoohan) atas kedirian mereka sudah dianggap sebuah sikap yang luar biasa menghargai. Masyarakat umum seringkali memperhatikan waria dengan pandangan mata yang curiga atau tertawa yang cenderung menertawai mereka.
Tidak hanya itu, stereotip waria sebagai pelacur jalanan merupakan suatu pandangan umum masyarakat yang dicobasingkirkan lewat terbitnya buku-buku ini. Meski tidak dapat dikatakan sebagai karya fiksi, mengingat adanya ciri-ciri faktualitas atas catatan harian dan surat-surat para waria, buku-buku ini bisa dikategorikan sebagai kelanjutan atas booming-nya penerbitan buku-buku fiksi yang ditulis oleh pengarang-pengarang perempuan Indonesia. Dalam penerbitan terakhir, karya-karya pengarang perempuan (konon
disebut dengan istilah sastrawangi) kemudian malah bergeser dari fiksi-fiksi dewasa yang mempermasalahkan seksualitas ke arah chiklit dan teenlit yang lebih berorietasi pada kisah-kisah remaja perempuan.
Model penerbitan buku berupa diari dan surat merupakan alternatif yang menarik mengingat gaya tulisan-tulisan semacam itu enak dibaca seperti fiksi tetapi menampilkan pengalaman atau kisah realitas seseorang
Berbeda dengan buku Merlyn maupun Shuniyya, buku Zunly Nadia, Waria (dengan subjudul Laknat atau Kodrat!?) yang diangkat dari skripsi pada Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lebih berupa kajian akademik. Sebagai penulis yang berjenis kelamin perempuan, Zunly boleh dikatakan telah mengambil jarak, artinya dia bukan sebagai waria yang membela dirinya. Dengan demikian, kajian hadis atas hal-hal yang berkaitan dengan waria (mukhannats) terasa lebih adil dan seimbang, bahkan bisa dikatakan objektif. Dalam hal ini, keobjektifan interpretasi Zunly terhadap kaum waria memang sesuai dengan kaidah akademik yang dilakukannya lewat pendekatan hermeneutik. Kajian Zunly sebenarnya berangkat dari realitas kehidupan waria yang tidak atau belum nampak di depan mata telanjang kita yang masih cukup banyak dan beragam. Namun yang pasti, di antara keragaman realitas kehidupan waria itu, Zunly yakin akan adanya penindasan terhadap waria.
Penindasan adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan realitas objektif kehidupan waria. Hanya karena jenis kelamin mereka yang dianggap tidak jelas, mereka pun harus dikucilkan dari kehidupan sosial masyarakat, bahkan keluarganya (Nadia, 2005:xxiv). Ada lima hadis yang dibahas dalam buku yang ditulis mahasiswa S2 di Center for Religious and Cross Cultural Studies UGM kelahiran Ponorogo 1980 ini, yaitu hadis tentang: 1) pengusiran waria dari rumah istri Nabi saw, 2) larangan memanggil seseorang dengan sebutan waria, 3) laknat bagi mukhannats, 4) hak waris waria, dan 5) perlindungan terhadap waria. Masing-masing hadis diteliti kualitas periwayatnya dan juga kritik terhadap matan hadis-hadis tersebut.
Pada bagian akhir buku ini, Zunly menggarisbawahi bahwa dalam konteks waria, yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana kita mampu memandang dan mengakui keberadaan waria sebagai manusia yang mempunyai hak-hak yang sama: hak untuk merdeka, hak dalam beragama, hak dalam pendidikan, dalam politik, bahkan hak mendapat penghargaan dalam ruang sosial. Menurut Zunly, dibandingkan produk agama, negara relatif lebih lentur dalam melihat dunia waria, meskipun belum menyentuh permasalahan yang substansial di bidang hukum.
Posisi waria hanya diletakkan paralel bersama individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kejahatan. Waria diposisikan sebagai kelompok marjinal yang tidak memiliki atau menghambat pembangunan (Nadia, 2005:188).
Pencalonan Merlyn Sopjan sebagai kandidat walikota Malang 2003-2008 oleh PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) merupakan salah satu bentuk partisipasi kaum waria dalam menjalankan hak politiknya sebagai warga negara (Sopjan, 2005:75-87). Kehadiran buku-buku ini patut mendapat sambutan. Buku ini dapat memberikan wawasan dan sudut pandang yang berbeda terhadap penyetereotipan atau generalisasi perihal waria. Dengan makin banyaknya cara pandang kita terhadap berbagai permasalahan, dalam topik ini yaitu mengenai waria, kita akan makin toleran dan tidak menganggap diri kita yang paling benar sendiri.
Nama “Martini” seperti yang terdapat dalam lagu Doel Sumbang selalu mematri pikiran kita pada nama seorang perempuan seperti Kartini, Suprapti, Suharti, Sunarti, Rumini yang berlawanan (jenis kelamin) dengan Kartono, Suprapto, Suharto, Sunarto maupun Rumono. Sehingga tokoh dalam lagu Doel Sumbang yang kemudian tumbuh menjadi laki-laki perkasa dan berewokan itu merasa malu dan keki ketika namanya tetap “Martini”, sebuah stereotip terhadap anekdot waria yang sering dikisahkan siang bernama Tono dan malam bernama Tince.
Padahal di Italia, kebanyakan laki-laki bernama dengan suku akhir /i/ seperti Luciani, Signori, Berluci, Mancini, Paparoti, Pauli, Erni, termasuk Martini. Saya kurang yakin apakah di Italia ada seseorang yang bernama: Merlyni Sopjani, Shuniyyani Ruhamani, dan Zunlyni Nadiani. Dan berjenis kelamin apa ketiga nama itu?
Sumber : staff.uny.ac.id