Ourvoice.or.id. Sebut saja namanya Nick, seorang pria yang berusia mendekati 30-an dengan wajah yang rupawan. Aku mengenalnya secara tidak sengaja ketika saat itu aku sendirian berada di dalam lift melihat dia hendak masuk ketika pintu sedang menutup dan aku pun menahan pintu agar tetap terbuka.
“Thanks,” katanya sambil tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyum kecil dan sebuah anggukan. Secara kebetulan kita keluar di lantai yang sama, bedanya dia menuju ke sebelah kiri sedangkan aku melenggang ke arah sebaliknya.
Sorenya ketika aku akan pulang, lagi – lagi bertemu dengan dia. Kembali senyum kecil tersunging di bibirnya. Dan sembari menunggu pintu lift terbuka, kita terlibat obrolan ringan. Dari obrolan inilah aku tahu kalau dia bekerja di perusahaan financing dan hari itu adalah hari pertama dia masuk kerja di kantor yang berseberangan dengan kantor tempatku bekerja.
Karena sering bertemu setiap hari, jadilah kita akrab. Makan siang dan ngopi pun menjadi salah satu kegiatan yang sering kita lakukan. Hingga pada suatu hari terbukalah pengakuan dia kalau dia adalah seorang gay Shock mendengarnya, aku pun terdiam. Dengan wajah yang diatas rata-rata dan kelihatan jantan sekali, tak sulit baginya untuk menggaet gadis cantik manapun. Tingkah lakunya pun sopan dengan senyuman yang sering tersunging di bibirnya.
Secara fisik sama sekali tidak kelihatan gerak-geriknya yang menunjukkan kalau dia ternyata penyuka sesama jenis. Terus terang sejak pengakuannya saat itu aku mencoba untuk membatasi bertemu dengan dia. Entah mengapa yang jelas ada perasaan tidak nyaman saja. Satu hal yang menjadi salah satu alasanku saat itu untuk menghindar darinya adalah aku takut untuk terseret dalam dunianya.
Aku juga takut kalau istriku beranggapan aku seorang gay. Satu bulan kemudian aku menerima pesan singkat darinya yang mengajak untuk ngopi bareng sepulang kerja. Dan pesan singkat itupun aku balas dengan kalimat singkat berisi dua huruf, Ok.
“Mas aku tahu, kamu berusaha menghindar dariku sejak aku mengungkapkan jati diriku,” demikian kata pembuka setelah kita berada dalam tempat nongkrong yang biasa kita kunjungi.
“Hmmm, nggak juga, aku lagi banyak kerjaan,” jawabku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya. “Aku berani mengungkapkan semua itu, karena aku yakin Mas gak akan keberatan dengan kondisiku,” lanjutnya. “Mas jangan kuatir, aku tidak akan merusak keluarga Mas dengan menarik Mas untuk menjadi gay.
Aku hanya merasa nyaman ngobrol dan mendengarkan nasehat-nasehat yang Mas berikan. Tidak lebih, itu saja.” Katanya kemudian. “Satu hal yang mengganggu pikiranku, dengan wajah dan personality yang kamu miliki, mengapa kamu memilih menjadi gay?” tanyaku. “Mas, kalau aku bisa memilih, aku akan memilih menjadi pria heteroseksual seperti mas, mempunyai istri yang selalu menyambut pada saat pulang kerja dan bermain dengan anak pada saat weekend. Siapa sih yang mau dengan kondisi seperti ini?” jawabnya.
“Kan kamu bisa mencoba?”
“Mas, bukannya aku tidak pernah mencoba, 3 kali aku mencoba untuk menjalin hubungan dengan perempuan, tapi perasaanku hampa. Kalau aku paksakan untuk menikah dengannya, apakah aku tidak menambah dosa? Aku tidak bahagia dan dia juga tersiksa. Aku tidak tega untuk menyakiti perempuan hanya gara – gara demi status, jika aku paksakan untuk menikah.” Jawabnya dengan pandangan kosong.Terlihat kesedihan terpancar dari sorot matanya.
“Kalau boleh tahu, apakah keluargamu tahu kalau kamu gay?” Nick tersenyum kecil mendengar pertanyaanku tadi. Gelengan kecil sebagai jawabannya.
“Jujur Mas, aku berharap bisa mengatakan yang sebenarnya kepada keluargaku, terutama kepada kakakku, tapi aku tidak ada keberanian untuk terbuka kepada mereka. Aku terlalu sayang untuk merusak kebahagiaan mereka jika mereka tahu kondisiku. Itulah kenapa aku mengungkapkan kepada Mas. Aku menganggap Mas sebagai kakakku dan aku berharap Mas tidak keberatan dengan hal ini. Tapi jika Mas merasa terganggu, aku juga tidak akan memaksa, seperti yang aku katakan tadi, aku tidak ingin membuat orang yang aku sayangi kecewa atau tidak nyaman.
Aku sayang Mas seperti aku sayang kepada keluargaku, tidak lebih. Ya, I love you, but not as a boy friend. Cinta adik kepada kakaknya.”
Penuturannya tadi membuat aku terharu sekaligus bingung bagaimana harus bersikap. Di satu sisi aku tidak nyaman, disisi lain aku merasa cocok berteman dengannya. Dan sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama, sayangku ke dia adalah sayang seorang kakak kepada adiknya. Aku adalah anak bungsu yang dari dulu selalu merengek minta adik. Usianya yang terpaut 4 tahun denganku membuat aku menganggap dia seperti adikku sendiri.
Sejak pertemuan itu kita tidak pernah bertemu kembali dan Nick juga tidak berusaha untuk menghubungiku. Perasaan seperti ini terus bertengger di pikiranku sampai dengan dua minggu kemudian aku mengirimkan pesan singkat kepadanya : ”Nick, ngopi yuk?” “Ayo,” jawabnya singkat. Kita pun bertemu kembali di tempat nongkrong biasanya dan duduk di tempat favorit di ujung dekat dengan pohon.
Tidak seperti biasanya kali asap rokok mengepul dengan kencangnya dari bibir Nick, pertanda dia sedang nervous. “Sorry Nick kalau selama ini aku diam dan berusaha menghindar darimu. Aku tahu kamu merasa kalau aku berusaha menghindar. Beberapa hari ini aku berusaha berpikir, bagaimana aku harus bersikap.” Kalimat pembuka dari ku membuat dia semakin kencang dengan kepulan asap rokoknya.
“Semakin aku menghindar dari mu, semakin aku sayang sama kamu. Nick aku sayang kamu sebagai seorang adik. Dari kecil aku ingin sekali punya seorang adik dan itu aku dapatkan dari kamu. Tenang aja Nick, sebagai seorang kakak, aku akan menjaga adikku dan berusaha untuk menasehatinya. Mungkin Tuhan telah menjawab doaku bertahun – tahun silam dan mengirimkan seorang adik kepadaku sekarang.” Aku mengakhiri kata-kataku dengan senyum.