Search
Close this search box.

[cerpen] : Semesta Senja

Foto : Adellia Rosa : Twitter.com

Semesta Senja 

Karya : Adellia Rosa

Ada sepasang kaki telanjang yang menjejak pasir, kemudian mencelupkan jari-jemarinya di antara lidah-lidah ombak yang mengecup bibir pantai. Matahari membulat oranye di hadapannya, Sang Raja Hari tampak agung, dihiasi selendang jingga keunguan yang terhampar di sisi-sisinya.

Pemilik kaki itu merentangkan kedua lengannya, menyambut angin yang tiba-tiba merengkuh tubuhnya. Rambutnya meliuk-liuk seiring aroma amis lautan yang mengambang di udara. Satu tangannya merengkuh botol-botol cat air yang mengering, sekering hatinya. Sebelah hatinya pedih menatap senja yang tak lagi setia. Lukisan-lukisannya mati di rahim senja. Hasratnya melayu di semesta senja.

Ia melangkahkan kaki-kakinya, menimbulkan bunyi berkecipak di air yang berbuih, menuju sepasang camar yang sedang bercengkrama di atas karang. Salah satu camar mendelik menatapnya, kemudian memekik, mengagetkan pasangannya. Seekor ikan terjatuh dari cengkeraman cakarnya. Keduanya membubung, menjauh. Ia hanya tersenyum iri.

Langit mulai berubah rupa, mengganti riasannya dengan meluruhkan selendang jingga keunguan milik sang Raja. Langit kehilangan kebiruannya, bertransformasi menjadi selimut maha luas berwarna oranye, dengan satu bulatan sempurna sebagai pusat tata surya. Sejenak hening menyergap, sebatang nyiur mendadak enggan gemulai, seolah pergantian waktu yang ditandai dengan munculnya senja, berubah menjadi ritual sakral maha suci.

Sang Raja Hari yang masih mempertahankan sisa-sisa kegarangannya mulai meremang, menyerah. Selimut senja telah meninabobokannya, melesakkannya ke dalam bantalan langit yang temaram, hitam. Cahaya oranye itu memudar, sebentar lagi bulan yang rapuh akan muncul, berpendar perak, menggantung rendah ke arah lambaian nyiur. Gemerisik angin kembali menggelitik, wanita itu, pemilik kaki itu, mengatupkan kedua matanya. Di telinganya, lautan bersorak nyaring, rindunya akan segera tuntas. Selepas senja, sang pemilik gelegar ombak akan berpuas mengecup bibir pantai beberapa meter lebih jauh ke daratan.

Ia cemburu pada pantai. Pada kesetiaan ombak. Pada keceriaan para camar. Pada semarak angin yang menampar pipinya. Ia cemburu pada alam yang memiliki ritme harmoninya sendiri. Pada semesta, ia cemburu karena ia telah lama kehilangan harmoni.

Baginya, semestanya telah runtuh. Baginya, ia bukan lagi bagian dari semesta. Baginya, ia hanya selongsong hampa tanpa jiwa. Ia memungut kulit kerang yang terinjak kakinya. Kerang yang telah lama mati.

Ia hanya menatap lama, pikirannya mengembara kemana-mana. Kulit kerang itu cantik, namun kosong, terabai begitu saja di bibir pantai. Sementara harmoni lainnya masih bernyanyi beriringan di dalam semesta, kulit kerang itu berkilauan seorang diri.

Ia membelalak melihat matanya mengedip di dalam kulit kerang, tersadar ia serupa denganya. Ia melemparnya jauh, lautan menertawainya dengan mengirim ombak kecil yang menciprati wajahnya. Ia kembali berkabung dengan kesedihan yang purba.

**

Ia tersenyum, memainkan kuas dengan tangan kirinya, menatap lautan yang berpendar tertimpa cahaya sore matahari. Ia begitu mengagumi dan memuja semesta. Menumpahkannya dalam sehelai kanvas yang terpampang di hadapannya. Ia melukis langit yang oranye, matahari yang membulat sempurna, dan iringan camar yang berarak menuju sarangnya. Ia bersiul-siul sesekali. Hatinya girang bisa menikmati keindahan semesta.

Matanya mendadak menangkap siluet seorang gadis yang sedang tercenung di bibir pantai. Rambut sang gadis berkibar karena liukan angin yang menggoda. Ia terperangah, senja-nya biasanya sepi. Senja-nya biasanya seorang diri. Ia beringsut mendekat, meninggalkan peralatan lukisnya berceceran di bawah nyiur, menyisakan jejak yang panjang di hamparan pasir yang kini sudah tidak terasa hangat. Ia menatap lurus punggung sang gadis, penasaran.

“Aku tidak pernah melihatmu disini.”

Ia berbasa-basi. Sang gadis menolehkan kepalanya, matanya dipenuhi air mata. Ada gurat kesedihan terpancar di wajahnya.

“Apa yang membuatmu demikian sedih?” Ujarnya lagi, menatap sang gadis yang semakin terisak.

“Aku baru saja kehilangan semestaku.” Sang gadis menjawab lirih. Langit benar-benar sudah gelap sekarang, dan bulan belum juga menampakkan wajahnya.

“Semesta tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau dan aku adalah bagian darinya.” Ia mencoba menghibur. Sang gadis menyeka air mata yang terus-menerus bergulir di pipinya.

“Aku hanya kehilangan seseorang, rasanya seluruh semesta runtuh karenanya.”

Jarak mereka hanya satu rentangan tangan saja sekarang. Kaki-kaki mereka terendam di air yang dingin.

“Namaku Rossy.”

Gadis itu tersenyum, menerima uluran tangannya.

“Aku Connie.”

Malam itu, mereka berbagi kisah. Butiran pasir tak lagi terasa keras dan dingin di kaki mereka.

***

“Tidak bisa seperti ini, Rossy.”

“Kenapa?”

“Karena kita perempuan.”

***

Mereka bertemu setiap hari. Setelah perkenalan di suatu senja yang aneh, Connie yang saat itu sedang patah hati, menyambut uluran tangan Rossy untuk mengembalikan semestanya berputar seperti semula. Connie mengajarinya mencintai matahari, lautan, para camar, serta angin yang menggoda batang nyiur. Cerita tentang para ombak yang begitu setia menciumi bibir pantai hingga tak pernah kering, membuat mereka berdua iri. Connie menemukan harmoninya kembali bersama Rossy. Rossy menemukan semesta-nya lengkap dengan kehadiran Connie.

Di bibir pantai itu mereka bergandengan tangan, saling tertawa, dan merasa bahagia.

“Terima kasih, Rossy.”

Rossy menolehkan kepalanya, mereka sedang berbaring berjajar menatap langit yang mulai temaram.

“Untuk?”

Connie menegakkan badannya, memandang lautan yang terus menggelora dengan deburannya.

“Untuk mengenalkanku pada semesta-mu.”

Rossy bangkit, menyentuhkan ujung jemarinya ke tangan Connie.

“Aku sudah mengatakan padamu, kita bagian dari semesta. Tidak adil rasanya membenci dunia hanya karena kehilangan.”

Malam itu, untuk waktu yang sangat lama, Connie menumpahkan air matanya di dada Rossy. Malam itu, sesuatu yang hangat bertumbuh di dada mereka.

**

“Namanya Pedro..”

Connie mengawali kisahnya, Rossy menyilangkan kakinya, pasir yang di dudukinya mulai terasa nyaman.

“Aku mengenalnya sudah sangat lama. Aku melihatnya, dan jatuh cinta. Sesederhana itu.”

Rossy berdeham, tidak hendak menyela.

“Kau mungkin memang sangat naïf, caramu memandang dunia dengan segala keindahannya. Caramu menyukai Senja, dan kau tidak pernah kesepian walaupun tinggal seorang diri karena kau menganggap semesta selalu bersamamu.”

Connie menyulut batang rokoknya yang kedua, melanjutkan ceritanya sambil menghembus asapnya perlahan.

“Tapi, jika kau tahu betapa naifnya aku, kau akan menertawai kebodohanku. Aku mencintai Pedro, sama seperti kau mencintai semesta. Bagiku, Pedro-lah semestaku. Dan aku adalah bagian darinya. Sesuatu yang bodoh, karena ia tidak pernah merasakan hal yang sama denganku.”

Rossy tersenyum menenangkan, malam itu adalah malam pertama mereka berkenalan. Senja tadi, Rossy melihatnya bercucuran air mata menatap lautan. Kini, mata bulat Connie seperti terus menerus menahan air mata yang hendak melesak keluar.

“Aku mendekati Pedro, seperti bumi yang terus-menerus mengelilingi matahari. Ia selalu bersinar, dan ia adalah pusat tata surya-ku. Tapi tentu saja, bumi yang bodoh tidak akan pernah bisa bersatu dengan matahari.”

“Apa yang terjadi, Connie?”

“Aku berencana mengatakan semua padanya pagi tadi. Terlambat. Aku hanya menemukan hatiku remuk dan aku berlari kesini.”

“Ia menolakmu?”

“Dengan menyakitkan. Dia mencium bibir ibuku tadi pagi. Dia ayah tiriku.

Mereka berdua berpandangan, debur ombak menjadi irama yang begitu getir.

**

Malam itu udara sarat akan kegelisahan. Connie tak henti-hentinya mengetuk-ngetukujung jarinya ke atas meja. Rossy memandangnya dari seberang, menyodorkan coklat panas kegemaran Connie. Entah apa yang sedang Connie pikirkan, Rossy tidak tahu. Beberapa minggu telah mereka lalui bersama. Pondok Rossy kini menjadi benderang dengan keceriaan yang ia bagi bersama Connie. Connie menyesap cokelat itu dalam hening, matanya beradu pandang dengan Rossy. Tatapan sekilas itu membakar sesuatu di dalam dada mereka.

Bibir mereka sontak membeku. Tangan-tangan Connie dengan kasar menyentakkan jemari Rossy yang menari di atas tubuhnya. Keduanya terengah. Malam mulai kehilangan anggurnya yang memabukkan.

“Tapi aku cinta padamu!”

“Aku tahu, tapi kita tidak bisa seperti ini, Rossy.”

“Kenapa?”

“Karena kita berdua perempuan.”

“Jadi ini yang kau risaukan sedari tadi?” Rossy hanya mampu berucap lirih.

Sesuatu pecah di hati Rossy, serpihannya membanjir di mata Connie saat langkahnya menghentak pergi.

**

Ia hanya menatap murung lukisan lansekap senja yang telah ia selesaikan. Pondok itu begitu kosong, bahkan lambaian nyiur di ujung matanya tidak mampu membuatnya menemukan cintanya kepada semesta. Ia merasa kosong, sesuatu terenggut di kedalaman dirinya.

Sejak awal ia melihat perempuan yang menangis di bibir pantai itu, ia telah mengingatkan dirinya. Hanya semesta mungilnya yang bisa menerimanya. Hanya pada hamparan langit luas di beranda rumahnya ia bisa mengadu. Hanya pada lansekap senja ia bisa bercerita dan jatuh cinta. Hanya kepada ombak ia bisa bersenandung.

Ia merasa kehilangan untuk kesekian kalinya. Kali ini bukan ia yang pergi. Kali ini ialah yang ditinggal pergi. Ia selalu seorang diri, semenjak meninggalkan keluarganya. Ia memilih terasing, setelah menyadari dunia di seberang sana belum –atau- bahkan tidak bisa menerimanya. Ia masih mengingat dengan jelas ucapan para pendeta. Final dan merupakan harga mati.

Segala sesuatu tercipta berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan.

Senja itu, ia ingin mengutuk semesta.

**

Pada suatu hari saat senja, saat matahari sedang membulat sempurna, dan sinarnya tidak lagi membutakan matanya, Rossy berdiri di bibir pantai yang tidak pernah kering dijilati lidah-lidah ombak yang setia. Satu tangannya memeluk botol-botol cat air yang telah kering, sekering hatinya. Kedua matanya nanar menatap sepasang camar yang sedang kasmaran, dan hanya angin yang lagi-lagi memeluk tubuhnya.

Senja itu ia menjauh dari semesta yang dikenalnya. Semestanya runtuh. Ia bahkan tidak ingat pernah mengatakan bahwa tidak adil untuk membenci semesta hanya karena kehilangan. Ia membelalak melihat matanya mengedip di dalam kulit kerang, tersadar dialah kulit kerang itu. Ia melemparnya jauh, Lautan menertawainya dengan mengirim ombak kecil yang menciprati wajahnya.

Sebelah hatinya pedih melihat senja yang tidak lagi setia. Senja itu, ia melihat perempuan yang dikenalnya karena sedang menangis di bibir pantai, mengalamatkan sebuah ciuman. Pada lelaki pemilik kaki lain, yang menawarkan senja yang lain. Dengan pantai yang lain. Dengan matahari oranye yang lain. Senja itu, ia hanya merasa terluka.

Sumber : adelliarosa.wordpress.com /

Twitter : @adelliarosa

Bagikan