Lance Weyer (24) menjadi pemenang Mr. Gay Afrika Selatan tahun ini. Gelar yang ia raih bukan didapatkan dari langit. Tetapi, Weyer sebelumnya terlibat di kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan kelompok Lesbian, Gay, Biseks, dan Transjender/Transeksual (LGBT) dan kelompok minoritas lainnya di Afrika Selatan.
Wayer sempat menjadi juru bicara untuk isu kesehatan reproduksi di Buffalo, Afrika Selatan. Selain itu, ia juga didaulat menjadi Komite Strategis Kesehatan & Komite Keselamatan Publik untuk Program isu-isu seperti HIV/AIDS, TBC perempuan, anak, dan difable.
“Menggengam predikat sebagai orang terbaik dalam sebuah kontes bukan hanya sekadar eksistensi. Tetapi, dibutuhkan kerja keras untuk mendorong perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Wayer dalam wawancara seusai kontes.
Wayer juga mengungkapkan sangat sulit bagi dirinya meninggalkan Afrika Selatan. Di sana banyak kawan-kawan LGBT mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya karena mereka tidak bisa berdamai pada diri sendiri.
“Saya ingin menunjukkan, memiliki orientasi seksual yang berbeda bukan halangan meraih impian dan cita-cita,”. lanjut Wayer.
Perjuangan Wayer untuk memenangkan kontes memang tidak mudah. Begitu pun, upaya pemerintah Afrika Selatan di dalam melindungi hak atas orientasi seksual dan identitas jender kaum LGBT. Semua berawal dari perjuangan kesetaraan melalui gerakan anti-Apartheid yang dipimpin Nelson Mandela.
Meski demikian, ada saja sekelompok masyarakat yang menolak hak-hak LGBT. Mereka yang menolak terdoktrin oleh pandangan lama dari budaya dan agama. Padahal, perjuangan anti-Apartheid merupakan pembaharuan dari pandangan-pandangan lama. Artinya, pandangan lama yang menolak keberadaan dan hak-hak LGBT juga mesti diperbaharui secara maju.
Lantas, bagaimana pandangan masyarakat Indonesia atas keberadaan LGBT?
Masyarakat Indonesia masih bersikap abu-abu. Ada yang cukup terbuka, ada juga yang menolak keras. Persoalannya bukan hanya penerimaan masyarakat tentang LGBT, tetapi juga bagaimana kaum LGBT terbuka di tengah masyarakat dan menyadari hak-haknya sebagai warga negara.
Masyarakat tidak akan tahu apa yang diinginkan LGBT dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, jika LGBT sendiri masih ‘bersembunyi di balik topengnya’. Yang dibutuhkan kemudian adalah ruang dialog yang adil, setara, dan partisipatif.
(www.advocate.com/Yatna pelangi)