Search
Close this search box.

Inilah Jawaban Film “?”

Usai nonton film Tanda Tanya (?), saya tercenung lama sekali. Tersadar, saat asin merembes di lidah. Ah, mrebes mili (air mata meleleh). Memang, saya orangnya peka (eufemisme cengeng). Bodohnya, saya tak tahu alasan tangis itu. Lampu bioskop menyala. Saya buru-buru mengusapnya dengan punggung jemari. Peka boleh, tapi image ‘kan harus tetap dijaga. Masak Antok Serean mewek di tempat umum. Memalukan!

Tiba di kos, saya buka dua kitab suci para penulis, mencari definisi plural. Kitab pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Plural: jamak, lebih dari satu. Pluralisme: bersifat jamak (banyak). Kitab kedua, Thesaurus. Plural: beragam, beraneka macam, beraneka ragam, beraneka rupa, berbagai macam, berbagai ragam, berbagai rupa, berjenis-jenis, berlain-lainan, bermacam-macam, bermacam rupa, beroncet-roncet, bervariasi, bineka, heterogen, majemuk, multipel, puspawarna. Pluralitas: diversitas, heterogenitas, keanekaragaman, keberbagaian, kebinekaan, kemajemukan, keragaman, multiplisitas, variabilitas. Saya tercenung lagi. Mencari logika masuk akal dan bisa menjelaskan fakta: MUI menyatakan fatwa haram paham plural (pluralisme, pluralitas) di Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Kesimpulan saya, itu tidak masuk akal, tidak logis.

Baiklah. Biar kalian tak menuduh ini esai copy paste, numpang popularitas kontroversi film ?, atau kehabisan ide, saya akan berkisah plural di luar agama, yakni bahasa. Di Madiun, saya bicara dengan bahasa Jawa bertingkat: ngoko, kromo, dan kromo inggil. Setiap kata dibebani kesopanan. Misal, kata makan punya tiga versi. Ngoko: mangan. Kromo: nedha. Krama inggil: dhahar. Saya yang lugu menganggap itu kebenaran mutlak dan wajib diterapkan kapan pun, di mana pun. Lalu, saya hijrah ke Gresik, lanjut ke Surabaya. Anggapan itu berantakan. Bahasa Jawa bertingkat tak bisa diterapkan. Meski di sini juga ada tingkatan, semisal kamu: kon, peno, tapi beban kesopanan tidak berat, lebih ke penunjukan sikap. Paling susah melafalkan jancuk, kata kasar ukuran Madiun. Tetapi, toh, sekarang fasih, meski tetap medok. Tahun lalu dua kali ke Jakarta. Sempat latihan lu, gue. Bukannya sukses, lidah malah tergigit. Sial. Repotnya, bahasa Jawa dan Suroboyoan tak laku. Sudahlah. Pakai standar aman saja, bahasa Indonesia.

Jelas, Indonesia plural bahasa. Masing-masing tak berdiri sendiri, tapi saling mempengaruhi. Bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Mandarin dll serap-menyerap—contohnya cari sendiri ya, jangan malas—. Bahasa Indonesia tetap bahasa ibu dan terbuka bahasa lain. Ini bukti, keragaman tak bisa dikotak-kotakkan, tapi saling menguatkan. Kekuatan seperti ini yang sebetulnya memperkaya, membuat hidup lebih bermakna. Sebab hidup tidak tetap, selalu berproses terus-menerus. Dan manusia, tumbuh-kembang di dalamnya. Perasaan tak bisa dibungkam, terus mencari sesuatu yang hakiki. Pikiran tak bisa dicekal, terus kritis merumuskan kebenaran. Dan plural, semesta hidup, memungkinkan manusia dewasa, melihat hidup tidak satu-dua warna.

Aquarian Conspiracy, sistem kerja berdasarkan jaringan. Istilah yang saya temukan di Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee (hal. 139). Bagi saya, ini tak hanya berlaku bagi Amnesty International atau Greenpeace. Tapi, juga cara pandang manusia. Manusia abad ini dihadapkan pada serentak kenyataan yang tak bisa ditampik: serangan beragam informasi setiap detik, nilai lama nilai baru saling berkelindan, batas teritorial menyusut, beragam fakta mencuat dari penjuru dunia. Di tengah kondisi seperti ini, hanya ada dua pilihan: terlindas zaman atau kritis menyikapi keadaan, sebab ini menentukan masa depan. Tentu, saya memilih kritis, menerima plural sebagai fakta tak terelakkan, dengan tetap berpijak pada nilai kemanusiaan—menghormati dan menghargai sesama, menebarkan toleransi, menyuarakan kesetaraan hak asasi manusia, legawa pada perbedaan dll—. Tanpa ini, mustahil manusia arif, karena akan terjebak pada “aku”, bukan “kita”.

Itu yang saya suka dari film “?”, menyeret penonton memikirkan, tidak hanya “aku”, lebih luas “kita”. Apa yang mesti diributkan dari perempuan berjilbab kerja di restoran babi, muslim berperan Yesus, seorang pindah agama demi iman, banser NU menjaga gereja?—sayang sekali tak ada tokoh LGBT, andai tokoh ustadz itu gay pasti seru—. Bukankah itu indah. Seorang kerdil pikir akan ketakutan melihat perbedaan menghentak matanya. Tapi, seorang berhati dan berpikir seluas samudera, pasti bijaksana. Rasanya, itu alasan fatwa haram MUI, yang di awal saya bilang tidak masuk akal, tidak logis.

Sebentar, saya buka kitab suci lagi. KBBI dulu ya. Fatwa: keputusan perkara agama Islam yang diberikan oleh mufti atau alim ulama tentang suatu masalah; nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah. Berfatwa: memberi fatwa. Memfatwakan: memberikan fatwa; menasihatkan; memberikan petuah. Lalu Thesaurus. Fatwa: advis, ajaran, amanat, ceramah, jawaban, khotbah, kuliah, masukan, nasihat, panduan, pedoman, penerangan, pengarahan, penjelasan, peringatan, petuah.

Saya ambil satu padanan kata, petuah. Sudikah kalian mendengarkan petuah mengerdilkan itu? Oh, rasanya saya tidak bodoh, karena menemukan alasan tangis di bioskop. Banyak orang masih mendengarkan petuah itu, sedangkan saya tidak.

Plemahan Surabaya, 01 Mei 2011, 01:17 AM