Search
Close this search box.

Suarakita.org-Jakarta, Ourvoice – Membaca surat terbuka dari saudara Robert Sihombing (Koord.JSG-Papua) yang ditujukan kepada Komisi Penanggulangan Aids Propinsi(KPAP) Papua.  Perihal  tidak dilibatkannya secara aktif masyarakat sipil khususnya populasi “gembok”.  Sebenarnyanya hal ini bukan hanya  terjadi di Papua saja tetapi hampir disemua propinsi di Indonesia.  Bahkan ditingkat nasional juga tidak jauh berbeda.

Kalau ditarik lebih jauh lagi bukan cuma digerakan penanggulangan HIV dan AIDS saja,  mental-mental pemerintah seperti ini juga terjadi digerakan lainnya.  Seperti gerakan HAM maupun hak perempuan. Hanya saja yang membedanya kalau digerakan HAM dan hak perempuan “batas” antara masyarakat sipil dan pemerintah sangat jelas.  Pemerintah sebagai pelayan rakyat dan masyarakat sipil yang mengontrol kerja-kerja pemerintah.  Tetapi kalau digerakan HIV dan AIDS  hubungan antara masyarakat sipil dan pemerintah sangat “harmonis” . Walau sebenarnya kalau dilihat lebih jauh sebagai alat kontrol pemerintah kepada masyarakat sipil khususnya populasi “gembok”.

Sebenarnya apa yang terjadi di gerakan HIV dan AIDS pernah juga terjadi dimasa orde baru (1966-1998). Pada saat itu semua masyarakat sipil dalam kontrol pemerintahan orde baru.   Misalnya gerakan perempuan yang kritis (seperti  Gerwani) diubah menjadi  Dharma wanita/PKK, ada kelompok-kelompok agama seperti  PGI, KWI, MUI, Walubi, dan kelompok pemuda seperti Karang Taruna.  Semua kelompok-kelompok itu sangat dekat hubungannya dengan orde baru,  malah terkesan sangat baik dengan pemerintah.   Tetapi  semua itu sebagai salah satu cara pemerintah melakukan kontrol atas rakyatnya.  Sehingga kalau ada yang kritis akan ditinggalkan malah yang lebih tragis akan dibunuh, anti pemerintah (subversif) atau biasanya dicap sebagai PKI.  Itulah cara-cara orde baru selama 32 tahun berlangsung di Indonesia.  Sehingga demokratisasi dan kesadaran kritis rakyat benar-benar “mati” dan tertekan pada saat itu.   Sistem pendidikan yang feodal dibentuk sedemikian rupa sehingga melahirkan generasi yang “penurut” terhadap kebijakan pemerintah.

Pasca runtuhnya rezim orde baru tahun 1998, suana demokratis mulai tumbuh.  Rakyat mulai pelan-pelan bisa mengambil perannya semestinya.  Masyarakat sipil mulai dapat bebas menentukan sikap kritisnya terhadap kinerja pemerintah.  Walau kasus-kasus intimidasi bahkan pembunuhan masih saja terjadi, seperti pada kasus Munir.

Situasi reformasi ini sayangnya tidak banyak dirasakan oleh gerakan penanggulangan HIV dan AIDS.  Sikap pemerintah masih banyak yang belum sadar kalau sekarang hidup dalam alam reformasi .  Sikap-sikap yang terjadi di Papua menunjukkan bukti bahwa pemerintah dalam hal ini belum siap menerima masukan dan kritikan dari masyarakat sipil. Sistem pembodohan masih terus dikembangkan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS.   Pola-pola dan cara kooptasi sebagai alat kontrol rakyat masih terus berlangsung dilakukan oleh pemerintah.  Seperti kebijakan kebijakan pemerintah  akses sumberdaya.  Siapa yang  “nurut/tunduk” dengan pemerintah maka akan mendapatkan akses sumberdaya dengan mudah. Tetapi bagi yang kritis siap-siap akan “dibuang” oleh pemerintah.   Label sebagai perusuh selalu dilekatkan pada masyarakat sipil yang kritis. Seperti yang dipaparkan oleh saudara Robert dalam surat terbukanya tersebut.  Yang lebih parah malah terjadi konflik antar masyarakat sipil. Sehingga kalau boleh penulis simpulkan telah terjadi “politik adu domba”  yang dilakukan oleh penguasa (baca pemerintah) dalam hal ini.

Situasi inilah yang sebenarnya diinginkan oleh penguasa dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS.  Masyarakat sipil bukanya bersatu tetapi tetapi malah saling sikut sana sikut sini.  Yang semestinya harus bersama-sama bersatu mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi teman-teman populasi “gembok”.

Pemisahan yang jelas antara LSM dan populasi “gembok” terus digulirkan oleh pemerintah.  Sehingga masyarakat sipil terprovokasi dan akhirnya terpecah menjadi dua bagian itu, LSM dan populasi “gembok”.  Situasi konflik antar masyarakat sipil inilah yang ditangkap sebagai alat kontrol yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Sehingga saatnya untuk dapat  membangun jaringan masyarakat sipil yang kuat dan kritis. Yang tugasnya untuk mengkritisi kebijakan dan kinerja pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS kedepannya.  Tidak lagi terjebak pada pemisahan antara LSM dan populasi “gembok”.  Tetapi semuanya bersatu dalam “payung” masyarakat sipil.  Karena hanya dengan cara inilah perubahan menjadi lebih baik yang terjadi di Indonesia dalam pencegahan HIV dan AIDS.   Masyarakat sipil yang kritis bukan hanya berguna bagi rakyat umumnya tetapi juga untuk kebaikan kinerja pemerintah.   Yang akhirnya Indonesa akan dinilai sebagai negara yang berhasil membangun bangsa yang demokratis, baik dimata rakyatnya maupun dimata International.  Sehingga sikap kritis masyarakat sipil bukanlah sesuatu yang membahayakan  tetapi justru memberikan sumbangsih bagi  masa depan bangsa yang lebih baik. (Toyo/OV)