Search
Close this search box.

[Opini] Rezim Heteronormativitas, Adat Ketimuran, dan Nasionalisme

SuaraKita.org – Bulan November selain dikenal sebagai bulan paling romantis sepanjang tahun juga dikenal sebagai bulan perayaan toleransi dan kenangan atas perjuangan transgender di seluruh dunia. Romantisme ini terpotret pada peristiwa-peristiwa solidaritas yang diadakan di jalanan kota seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kendati beberapa minggu sebelumnya Indonesia tengah mengalami kemerosotan potret diri karena adanya selebrasi intoleransi, namun beberapa lapisan warga negara yang lain rupanya tidak mau kalah menyampaikan sepenggal harapan dan solidaritasnya kepada kelompok minoritas seperti transgender pada tanggal 20 November kemarin.

[Liputan] Dede Oetomo: Politik Diskriminasi LGBT Berakar Dari Heteronormativitas

SuaraKita.org – Hak-hak minoritas gender dan seksual di Indonesia selama satu dekade terakhir telah mengalami dekadensi atau penurunan akibat tekanan sosial yang bertubi-tubi. Sekalipun kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) telah secara sporadik menghadapi retorika penuh kebencian dan serangan kekerasan selama hampir dua dekade sebelum sekarang, sekalipun tidak pernah ada undang-undang nasional yang secara spesifik melindungi mereka dari diskriminasi itu sendiri. Hal ini menurut Dede Oetomo, seorang intelektual yang menghabiskan sepanjang hidupnya pada kajian seksualitas, berakar dari struktur pengetahuan masyarakat yang heteronormatif – yang muaranya dapat dipotret pula melalui kebijakan.

[Opini] Kemerdekaan Yang Gagu

SuaraKita.org – Merdeka. Terminologi ini pada dasarnya memiliki tradisi pemaknaknaan yang universal. Ada yang memaknai sebagai hilangnya tali penyekat absolutisme, ada pula yang mendebatkannya sebagai kebebasan yang kebablasan. Merdeka adalah something in between. Yang abu-abu dan yang relatif. Lalu bagaimana bila tiba-tiba merdeka diejawantahkan sebagai kebebasan yang membikin orang malas jadi abai dan terlena? Contohnya, seperti mereka yang tengah meminta mahmakah konstitusi menguji ulang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 284 ayat (1) sampai (5) perihal perzinahan, pemerkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis bersama ormas-ormas yang menepuk dada sebagai pengusung misi keluarga beradab. Dunia yang banyak berubah konteks rupanya gagal memberikan kaca mata baru bagi deretan manusia yang bergelar master, doktor dan profesional ini.

[Opini] Persahabatan Feminisme dan LGBT

SuaraKita.org – Tidaklah terlalu eksesif jika dikatakan bahwa feminisme telah menjadi salah satu gerakan yang berkembang paling progresif abad ini. Feminisme pada dasarnya adalah leksikon akademis yang secara pesat muncul pasca revolusi industri setelah kompleksitas masyarakat mulai diramaikan oleh pembagian kerja yang mendiskriminasi legitimasi perempuan. Berkaca pada gerakan-gerakan awal feminisme sendiri, aktivisme ini kemudian melahirkan konsepsi bahwa untuk mengubah masyarakat, kita patut melibatkan dua aksi, yakni argumentasi teoritis dan advokasi.

[Liputan] Pandangan Islam Tentang Keberagaman Seksualitas dan Identitas Gender

Suarakita.org – Pro-kontra terkait LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) rupanya menjadi diskursus yang senantiasa memantik pendapat khalayak. Jika beragam sudut pandang yang dilayangkan oleh masyarakat dunia dewasa ini tertuju pada penghargaan hak-hak dasar mereka sebagai manusia, yang terjadi Indonesia justru tidak demikian.

[Liputan] Peran LGBT Dalam Kondisi Darurat Kekerasan Seksual

SuaraKita.org – Dewasa ini, kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Berita pemerkosaan hampir setiap jam muncul di berbagai media massa. Hal ini menandakan bahwa situasi kekerasan seksual tengah menempuh situasi daruratnya. Melihat kondisi yang sudah semakin parah ini, bertempat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Gerakan Keberagaman Seksualitas Indonesia yang terdiri dari Ardhanary Institute, Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), Suara Kita dan Perempuan Mahardika mengadakan diskusi publik pada Selasa (31/5). Diskusi ini fokus mengkritisi kondisi kekerasan seksual yang kian genting serta peran LGBT sebagai jaringan masyarakat sipil yang memiliki andil dalam mengkampanyekan gerakan anti kekerasan.

[Liputan] Pernyataan Sikap Terhadap Kekerasan Seksual Melalui Teater Multi Monolog

Suarakita.org – Seni memang memiliki banyak rupa dan dimensi. Banyak orang telah menggunakannya sebagai media untuk menyampaikan sikap atau bahkan perlawanan. Dalam rangka menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual dan kritik atas kurangnya kepedulian pada isu kemanusiaan, Teater Sastra Universitas Indonesia, pada Kamis malam (26/5) mempersembahkan sebuah pertunjukkan seni teater dengan konsep multi monolog berjudul “Namaku Yuyun, Aku Korban Kebodohan” yang disutradarai oleh I. Yudi Soenarto.