Presiden Yudhoyono dinilai gagal menggunakan kekuasaannya guna membela kaum minoritas agama di Indonesia, serta tidak pernah efektif mendisiplinkan anggota kabinet yang menganjurkan tindakan intoleransi, ungkap Human Right Watch.
Ourvoice.or.id- Phelim Kine, aktivis Human Right Watch (HRW), dalam temu wartawan di Kamis, 28 Februari 2013 mengatakan bahwa ketidak-tegasan pemerintah akan kasus kekerasan yang menimpa kelompok minoritas agama membuat kelompok agama garis keras semakin gencar melakukan aksinya. “Kata kuncinya adalah Political Will (Kehendak politik)” ungkap Kyne ketika ditanya bagaimana mengurangi angka kekerasan terhadap kelompok agama minoritas.
Dalam temu wartawan kali ini, HRW menghadirkan kesaksian dua orang yang mengalami kekerasan atas nama agama. Mereka adalah Dewi Kanti, seorang penganut Sunda Wiwitan, dan Ahmad Masihuddin, seorang penganut Ahmadiyah.
“Pintu masuk kekerasan melalui pintu administrasi kependudukan” ujar Kanti. Berdasarkan kesaksian Kanti, Indonesia hanya mengakui agama yang datang dari luar nusantara, sementara agama lokal yang telah lama tumbuh tidak diberikan pengakuan, dampaknya dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), penganut agama lokal dianggap tidak beragama sehingga tidak dibolehkan untuk mendapat KTP. Dimulai dari ketidak-punyaan KTP, pernikahan agama lokal pun dianggap sebagai pernikahan liar dan anak yang lahir tidak diberikan akta kelahiran karena dianggap anak di luar nikah. Anak penganut agama lokal pun mesti mengikuti pelajaran agama yang diakui oleh negara. “Negara lalai memenuhi hak sipil politik Kami” kata Kanti.
Selanjutnya, kesaksian seorang penganut ahmadiyah yang selamat dari tindak anarkis massa di Cikeusik. Ahmad Masihuddin, seorang pemuda berumur 25 tahun, bersama tiga temannya pergi ke Cikeusik setelah mendengar kabar bahwa tokoh agama Ahmadiyah ditangkap polisi. Setelah sampai di Cikeusik, Masihuddin beserta rekan dihadang oleh sekelompok lelaki berjubah putih, kemudian mereka dianiaya. Masihuddin selamat namun sayang ketiga rekannya tidak, mereka tewas disiksa oleh fundamentalis agama.”Saya harus menjalani operasi hidung dan sampai hari ini mata saya tidak berfungsi dengan baik” ujar Masihuddin, menjelaskan dampak dari aksi kekerasan tersebut.
Tahun 2014 Indonesia akan menggelar perhelatan akbar tiap lima tahun sekali, yakni pemilihan umum legislatif dan presiden. “Lebih baik menuntaskan kasus kekerasan saat ini dari pada menyerahkan kasus ini ke pemerintahan selanjutnya” ungkap Kine, sebagai bentuk rekomendasi untuk Presiden Yudhoyono. (Gusti Bayu)