Search
Close this search box.

Menjadi Terang Bagi “Dunia”: Pluralisme Bukan “hanya” diucapkan Tapi Dipraktekan

Oki Hajiansyah Wahab (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab*
Ourvoice.or.id – Saya meminjam kutipan seorang narasumber Sekolah Pluralisme Kewargaan , Salim jika tak salah . Pendapat ini menurut saya mengandung filosofi yang mendalam ditengah erdebtan dan kontroversi isu pluralisme di Indonesia. Perdebatan tentang isu Pluralisme memang sarat dengan “stigma” antek-antek barat, kaki tangan donor dan sebagainya.

Terus terang, sebenarnya saya termasuk orang awam yang terpengaruh dengan “stigma” pluralism yang menjadi pemahaman masyarakat di Indonesia pada umumnya. Keingintahuan tentang apa sesungguhnya yang menjadi pokok-pokok pikiran aliran inilah yang mendorong saya untuk engikuti Sekoah Pluralisme Kewargaan yang diselenggarakan oleh CRCS UGM selama dua minggu.

Saya bertemu banyak orang-orang luar biasa dari berbagai latar belakang, saya mendapatan banyak kesempatan untuk medengar, memahami apa yang menjadi kegelisahan para peserta selama dua minggu. Hartoyo adalah seorang peserta yang istimewa dimata saya, ditengah masyarakat yang cenderung mendiskreditkan kelompok LGBT, ia tak kenal lelah untuk memberikan pemahaman tentang apa yang menjadi kegelisahan dan perjuangannya kaum-nya.

Awalnya, agak sulit bagi saya menerima argument-argumen membabi buta Toyo -begitu saya memanggilnya-. Argumen yang menurut saya lebih mengandalkan pengalaman subyektif dan kurang kontekstual dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Meski saya memiliki sudut pandang yang berbeda dengannya, saya melihat bahwa isu keadilan dan perlindungan hak-hak warga negara menjadi titik temu pikiran-pikiran yang serba multi dan serba tidak seragam.

Saya hendak mengutip apa yag dikatakan Berthold Brecht dalam Three Penny Opera “ Beberapa orang ada di dalam kegelapan, Sementara beberapa lainnya ditempat yang terang. Orang tentu melihat mereka yang ada di tempat terang, Sedangkan mereka yang di kegelapan tetap tidak terlihat.”

Buat saya Toyo adalah orang yang terus berusaha menyalakan api ditengah ruang gelap yang menyelimutinnya dan kaum LGBT lainnya. Meski saya tidak bersepakat pada beberapa argumennya, saya tetap menaruh hormat pada perjuanganya. Diluar sana tentunnya masih banyak Toyo-toyo lainya, masih banyak orang-orang yang hidup dalam suasana kegelapan ditengah negara yang memiliki konstitusi yang sarat dengan perlindungan hak-hak warganegarannya.

Secara umum, harus jujur saya akui tidak banyak hal baru yang saya dapatkan, tapi jika belajar dimaknai tidak hanya sebuah proses belajar mengenai ilmu pengetahuan tapi juga sebuah proses untuk mendengar dan memahami perilaku, ya saya mendapatkan banyak hal. Saya mendapatkan banyak inspirasi ketika mengunjungi pesantren waria, saya melihat sebuah usaha kecil yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan bahwa keberhargaan sebagai manusia membuat mereka tetap tegak berdiri.

Prof. Wertheim mengingatkan kita semua pentingnya untuk mengkaji dan memahami massa rakyat dengan cara yang empatik, partisipasitoris, dan berpihak. Wertheim juga berpesan agar para cendekiawan melawan “Sosiologi Ketidaktahuan” (sociology of ignorance). Wertheim juga mengingatkan para elit untuk membuka mata untuk melihat kebutuhan massa, memenuhi hak hidup rakyat.

Sadar atau tak sadar para elit seringkali mengabaikan dan menyingkirkan keberadaan massa rakyat. Para elit baik pejabat, ilmuwan dewasa ini secara sadar maupun tak sadar serigkali menganggap rakyat dan kaum yang paling miskin dan terpinggirkan dianggap sebagai “orang biasa yang tak perlu dianggap penting dan massa rakyat yang bodoh dan tak tahu apa-apa”.

Tanpa bermaksud mensimplifikasi , pluralisme, penghargaan atas perbedaan bagi saya adalah pergulatan praktek hidup keseharian. Nilai-nilai terinternalisasi dari hubungan sosial baru yang menghargai perbedaan, menjunjung tinggi keadilan. Sebuah keniscayaan ditegah masyarakat yang terus bergerak dan bertransformasi. Singkat kata “bukan pluralisme untuk manusia tapi manusia untuk pluralisme”.

*Kandidat Doktor Universitas Dipenogoro-Semarang Dan Peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan-CRCS UGM